RSBI/SBI Legal Fact
Pasal 50 (3) Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang berbunyi: Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional adalah dasar eksistensi apa yang sekarang disebut sebagai rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI). Setelah memenuhi persyaratan dan kriteria tertentu, RSBI akan menjadi sekolah bertaraf internasional (SBI). RSBI pertama dibentuk pada tahun ajaran 2006/2007.
Menurut Pasal 1 butir 8 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 78 tahun 2009, tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, SBI adalah sekolah yang sudah memenuhi seluruh standar nasional pendididkan (SNP) yang diperkaya dengan keunggulan mutu tertentu yang berasal dari negara anggota OECD atau negara maju lainnya. Sebelum lahir Permendiknas itu, ketentuan-ketentuan dan kriteria teknis tentang RSBI/SBI pada umumnya dituangkan dalam bentuk Kebijakan Departemen Pendidikan Nasional (yang kemudian diubah menjadi Kementerian Pendidikan Nasional, Kemendiknas). Belakangan, Permendiknas -yang diterbitkan beberapa tahun setelah RSBI pertama dibentuk- menegaskan secara hukum ketentuan-ketentuan teknis dan kriteria RSBI/SBI itu ke dalamnya. Ini seperti kriteria delapan unsur SNP bagi penyelenggaran SBI semisal standar proses pembelajaran, sarana dan prasarana, pendidik dan tenaga kependidikan, dan seterusnya yang semuanya harus diperkaya dengan standar negara anggota negara OECD atau negara maju di luar negara anggota OECD. Juga persyaratan calon peserta didik, pembiayaan, perizinan penyelenggaraan, sampai kultur sekolah. Pemuatan defenisi dan kriteria SBI pada Permendiknas ini dapatlah dinilai sebagai interprestasi resmi pemerintah dalam hal ini Kemendiknas akan frasa satuan pendidikan yang bertaraf internasional dari Pasal 5 (3) UU Sisdiknas.
RSBI/SBI diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah atau keduanya. Dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah pula, sekolah ini mendapat dana khusus di luar dana yang didapat oleh sekolah pada umumnya sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.48 tahun 2008. Selain dana hibah dari pemerintah ini, sekolah juga memungut biaya pendidikan dari peserta didik yang besarnya secara normatif umumnya ditentukan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah. Biaya pendidikan yang dibebankan kepada orang tua untuk SPP terendah dari SD hingga SMA/SMK sebesar Rp 0. dan SPP tertinggi berkisar antara Rp 150.000 hingga Rp 600.000. Sumbangan sukarela pertama masuk terendah dari SD hingga SMA/SMK sebesar Rp 0. dan tertinggi berkisar antara Rp 1.000.000 sampai Rp 15.000.000. (“Sekolah Bertaraf Internasional”, dikutip dari salah satu publikasi yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan Nasional, tanpa tahun.). Selain itu, sekolah juga menerima donasi dari pihak lain.
Secara singkat kriteria SBI itu dapat dideskripsikan sebagai berikut:
1. Telah memenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang terdiri dari delapan unsur: a. standar isi; b. standar proses; c. standar kompetensi lulusan; d. standar pendidik dan tenaga kependidikan; e. standar sarana dan prasarana; f. standar pengelolaan; g. standar pembiayaan;dan h. standar penilaian pendidikan sebagaimana diatur dalam PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Standar ini ditambah dengan standar pendidikan dari salah satu negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) atau negara yang tidak tergabung ke dalam negara-negara anggota/peserta Konvensi OECD tapi merupakan negara maju;
2. Berakreditasi A dari BAN Sekolah/Madrasah;
3. Pembelajaran Matematika, IPA, dan kejuruan (SMK) dilakukan dalam bahasa Indonesia dan/atau bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya yang digunakan dalam forum internasional;
4. Nilai rata-rata UN 8,0.
Sebelum menjadi SBI, sekolah terlebih dahulu berstatus RSBI yakni sekolah dengan:
1. Sudah menjadi Sekolah Standar Nasional (SSN);
2. Berakreditasi A dari BAN Sekolah/Madrasah;
3. Pembelajaran Matematika, IPA, dan kejuruan (SMK) dilakukan dalam bahasa Indonesia dan/atau bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya yang digunakan dalam forum internasional
4. Nilai rata-rata UN 7,0.
Selain memberikan sejumlah dana hibah, menentukan kriteria, serta memberi dan sekaligus mencabut izin penyelengaraan SBI, pemerintah secara khusus memberikan pembinaan, pengendalian, pengawasan, pemantauan, pada berbagai dimensi penyelenggaraan sekolah ini. Itu mulai dari proses pembelajaran; manajemen sekolah; pengendalian mutu; ujian nasional; jalin kerja sama dengan sekolah lain baik di dalam maupun di luar negeri; memfasilitasi sertifikasi sekolah baik dari dalam maupun luar negeri. Sementara itu, untuk dapat menjadi peserta didik di RSBI/SBI, calon peserta harus menempuh ujian seleksi masuk. Ini karena jumlah peminat jauh melebihi jumlah kapasitas daya tampung sekolah.
Legal Question
Dari deskripsi RSBI/SBI di atas, ada tiga isu dasar yang membedakan sekolah RSBI/SBI dengan sekolah non-RSBI/SBI. Pertama, penggunaan “standar pendidikan” dari salah satu negara anggota OECD atau negara maju di luar negara anggota OECD atau dalam ungkapan lain, “diperkaya dengan keunggulan mutu tertentu yang berasal dari negara anggota OECD atau negara maju lainnya” -selain standar pendidikan Indonesia- sehingga membuat sekolah itu ‘bertaraf internasional’. Kedua, pemberian dana negara secara khusus sekaligus pembebanan biaya pendidikan kepada peserta didik/orang tua yang secara umum lebih tinggi dari sekolah non-RSBI/SBI; Ketiga, penggunaan bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya -yang digunakan dalam forum internasional- selain bahasa Indonesia dalam pembelajaran mata ajar tertentu. Dari ketiga unsur pembeda ini, adakah penyelenggaraan RSBI/SBI masih sesuai dengan prinsip dan tujuan pendidikan sebagaimana disebut dalam UUD dan UU Sisdiknas atau UU lain terkait?
Discussion
A. Questioning the name and the qualification of bertaraf internasional
Pasal 50 (3) UU Sisdiknas yang menjadi dasar eksistensi SBI tidak memuat apa itu yang dimaksud dengan sekolah bertaraf internasional. Demikian juga dengan beberapa PP yang menyebut-nyebut satuan pendidikan bertaraf internasional tidak mendefinisikan jenis sekolah ini. Lewat Permendiknas No. 78 tahun 2009 pengertian SBI ini disebutkan yakni sekolah yang sudah memenuhi seluruh SNP yang diperkaya dengan keunggulan mutu tertentu yang berasal dari negara anggota OECD atau negara maju lainnya. Dengan demikian, Permendiknas ini menafsirkan frase satuan pendidikan bertaraf internasional sebagai sekolah (satuan pendidikan) yang sudah memenuhi seluruh SNP yang diperkaya dengan keunggulan mutu tertentu yang berasal dari negara anggota OECD atau negara maju lainnya.
Dengan mudah dapat dimengerti apa yang dimaksud dengan kata ‘sekolah’. Demikian juga dengan ‘SNP’ dan beberapa kriteria lainnya seperti tingkat akreditasi, penggunaan bilingual, dan nilai rata-rata hasil ujian nasional (UN) sebagaimana disebut di atas. Termasuk juga bisa ditentukan apakah suatu sekolah telah memenuhi SNP atau tidak. Namun, masalah muncul pada frasa keunggulan mutu tertentu yang berasal dari negara anggota OECD atau negara maju lainnya. Negara-negara anggota OECD dapat dengan mudah diidentifikasi. Ini adalah negara-negara yang telah meratifikasi Convention on Organisation for Economic Co-operation and Development. Selebihnya, frasa ini meninggalkan beberapa pertanyaan sebagai berikut:
1. Keunggulan mutu dari negara (beberapa negara) anggota OECD mana yang mau ditambahkan bagi masing-masing delapan unsur NSP yang sudah dimiliki sekolah itu?
2. Jika bukan negara anggota OECD, keunggulan mutu negara maju mana yang mau ditambahkan bagi delapan unsur NSP yang sudah dimiliki sekolah itu?
3. Lalu, apakah keunggulan mutu negara OECD atau negara maju lain itu menunjuk pada keunggulan mutu sekolah-sekolah tertentu? Lalu, sekolah-sekolah yang manakah? Dan bagaimana pula menentukan bahwa sekolah dari negara itu unggul dari sisi proses, kurikulum, pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolan, dan standar penilaian? (Jika dibandingkan dengan sekolah yang hendak di-SBI-kan?)
Dari pendefinisian SBI sebagaimana disebut dalam perundang-undangan di atas, terlihat SBI dirumuskan dengan kriteria yang kabur dan ambigu. Ini membawa konsekuensi ketidakpastian hukum terutama dalam memastikan kapan sekolah itu dapat disebut sebagai ‘SBI yang sesungguhnya’. Pihak yang berewenang tentu bisa saja memutuskan apakah suatu sekolah telah dapat dinyatakan sebagai SBI, tetapi sangat mungkin itu dilakukan secara arbitrary jika pertanyaan di atas tidak dapat dijawab dengan pasti.
B. Questioning the ideas
Dari kriteria SBI sebagaimana diatur dalam Permendiknas di atas, sekolah yang tidak memperkaya dirinya dengan standar pendidikan dari negara anggota OECD atau negara maju di luar OECD -apalagi yang tidak memenuhi SNP- diletakkan kualitasnya satu atau dua tingkat lebih rendah dari sekolah yang sudah SNP plus memperkaya dengan standar negara OECD alias SBI. Jadi, apapun makna dan ada atau tidaknya standar pendidikan OECD itu, konsep SBI cenderung menempatkan standar pendidikan Indonesia secara hirarkis inferior. Seterusnya, pendidikan Indonesia setidaknya pendidikan dasar dan menengah tidak akan pernah memiliki kualitas setara apalagi lebih tinggi dari pendidikan dasar dan menengah negara-negara itu kecuali jika pendidikan Indonesia menambahkan elemen internasional (OECD) di dalamnya. Lebih jauh lagi, menempatkan dan menggunakan ‘standard pendidikan asing’dalam hirarki seperti itu, bisa mendelegitimasi dan mendegradasi standar pendidikan negeri sendiri yang secara faktual belum tentu lebih rendah dari ‘standar internasional’ yang dipakai.
Gagasan ini tentu sulit sejalan dengan kandungan makna dari pengertian pendidikan nasional sebagaimana disebut dalam Pasal1 butir 2 UU Sisdiknas yang berbunyi: Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
C. Many more questions in the implementation
1. Mendapatkan pendidikan bermutu adalah hak asasi
Walau kriteria SBI ambigu, RSBI/SBI adalah sekolah yang telah memenuhi SNP. Secara normatif, dalam jenjang mutu sebagaimana ditentukan oleh Kemendiknas, tingkat standar/mutu sekolah ini lebih tinggi dari sekolah lain non-RSBI/SBI. Namun seiring dengan itu, RSBI/SBI membebankan biaya pendidikan kepada peserta didik/orang tua secara umum lebih tinggi dibandingkan dengan sekolah non-RSBI/SBI sebagaimana diindikasikan di atas. Ini berarti sekolah ini pada umumnya lebih sulit diakses bagi calon/peserta didik yang kurang mampu secara finansial walau syarat-syarat non-finansial telah dipenuhinya. Memang hukum alam menentukan, sesuatu yang lebih baik apalagi yang terbaik datang dengan jumlah terbatas, demikian juga halnya dengan sekolah berstandar tinggi. Persoalannya adalah pemerintah pusat atau pemerintah daerah -dengan program RSBI/SBI ini- secara sengaja menciptakan sekolah-sekolah bermutu itu tersedia dalam jumlah yang terbatas.
Ini dilakukan dengan menggelontorkan dana dalam jumlah yang signifikan kepada sekolah-sekolah yang sesungguhnya sudah bagus itu ketimbang mengalokasikan dana secara khusus ke sekolah-sekolah terbelakang. Ini berarti semakin tinggi standar kualitas suatu sekolah semakin besar pula peluang sekolah itu mendapatkan privelege dana khusus pemerintah dan semakin tinggi pula kesempatannya untuk menjadi sekolah yang lebih bermutu lagi dan sebaliknya bagi sekolah tertinggal. Bukankah sekolah-sekolah terbelakang seharusnya mendapatkan dana khusus dalam jumlah besar agar mereka dapat mengejar ketertinggalan? Bukankah ini artinya pendidikan bermutu disadari atau tidak hanya dapat dinikmati oleh sekelompok kecil warga negara tertentu? Bukankah ini tentu tidak senapas dengan Pasal 5 UU Sisdiknas yang berbunyi: Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu?
2. Membuka peluang segregasi antarsekolah dan antarpeserta didik
Terkait dengan butir 1. di atas, alih-alih menciptakan pemerataan kesempatan mendapatkan pendidikan bermutu bagi segenap warga negara Indonesia, secara sengaja atau tidak bukankah pemerintah telah menciptakan kesenjangan kualitas antarsekolah dan membuat iklim segregasi antarpeserta didik? Kenyatan ini juga tentu kurang sejalan dengan Pasal 4 UU Sisdiknas yang berbunyi: Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. (huruf tebal dari penulis).
3. Labelling atau Stigmatisasi
RSBI/SBI bisa menciptakan stigma bahwa sekolah bertaraf internasional adalah sekolah dengan jenjang standar kualitas tertinggi sementara sekolah tidak bertaraf internasional bermutu lebih rendah. Ini bisa mengingkari kebenaran faktual karena bisa saja sekolah yang telah memenuhi SNP tetapi enggan mengajukan diri untuk menjadi RSBI tetap akan dianggap sebagai sekolah kurang bermutu dibandingkan RSBI. Labelling ini menimbulkan ketidakadilan dalam pemberian credit mutu bagi suatu sekolah. Ketidakadilan ini bisa bertambah lagi karena peluang sekolah untuk mendapatkan dana hibah dari pemerintah mungkin sirna mengingat sekolah tidak masuk dalam skema pemberian hibah RSBI.
Dalam dimensi yang berbeda, stigmatisasi bisa menimbulkan moral hazard. Untuk mendapat dana, gengsi, atau mengejar label bertaraf internasional, sekolah atau pemerintah daerah berlomba-lomba untuk menciptakan RSBI/SBI walau kesiapan sekolah dan kriterianya belum mampu dipenuhi. Apalagi dengan kriteria RSBI/SBI yang kabur sebagaimana disebut di atas, peluang hanky-panky antara pihak sekolah dengan pihak yang berwenang memerifikasi persyaratan dan menentukan status bisa saja terjadi. Ini artinya bisa juga menimbulkan pintu baru bagi praktik korupsi.
4. Dua bahasa, dua standar, dua sistem?
Dalam konsep RSBI/SBI, sulit untuk tidak mengatakan bahwa model sekolah ini menggunakan dua bahasa: Bahasa Indonesia dan bahasa asing. Memakai dua standar pendidikan: Standar Nasional Pendidikan plus ‘standar internasional’ dari negara anggota OECD. Lalu apakah dapat segera dikatakan RSBI/SBI telah menunjukkan bahwa sistem pendidikan Indonesia bersistem dua? Lalu apakah dengan demikian Pasal 31 (3) UUD 45 yang menyebutkan: Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. (huruf tebal dari penulis) telah dilanggar?
Pasal 33 (3) UU Sisdiknas menyebutkan: Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada satuan pendidikan tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik. Selanjutnya UU No. 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan lambang Negara serta Lagu Kebangsaan yang lahir kemudian dalam Pasal 29 menyebutkan: (1) Bahasa Indonesia wajib digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan nasional. (2) Bahasa pengantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan bahasa asing untuk tujuan yang mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik (huruf tebal dari penulis). Penggunaan bahasa asing di RSBI/SBI dilegalisasi oleh dua pasal dari dua UU yang berbeda ini dengan syarat penggunaan bahasa asing dimaksud untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik bukan untuk mensubstitusi bahasa resmi negara dalam dunia pendidikan nasional, Bahasa Indonesia.
Sementara itu, UUD 45 tidak memberikan penjelasan apa yang dimaksud dengan penyelenggaraan satu sistem pendidikan nasional. UU Sisdiknas juga tidak menyediakan interpretasi harfiah terhadapnya. Walau UU Sisdiknas telah beberapa kali diujimaterilkan di Mahkamah Konstitusi, Para hakim pun belum pernah memberikan interpretasi akan maksud dari frasa di atas.
Sistem pendidikan suatu negara adalah suatu sistem yang kompleks yang terlihat dibangun dari rangkaian beberapa sistem lebih sederhana. UU Sisdiknas sendiri mengartikan sistem pendidikan sebagai suatu keseluruhan komponen yang saling terkait. Ini menunjukkan dalam sistem pendidikan nasional ada banyak komponen. Di sisi lain, UU ini juga menggunakan kata ‘sistem’ tidak selalu dilekatkan dengan kata ‘pendidikan nasional’. Ini seperti pada frasa ‘sistem terbuka dan multi makna’ menunjuk pada prinsip penyelenggaran pendidikan yang diatur dalam Pasal 4; ‘sistem penilaian’ pada Pasal 31 menunjuk pada penyelenggaraan pendidikan jarak jauh; ‘sistem evaluasi dan sertifikasi’ pada Pasal 62 menunjuk pada syarat-syarat pemberian izin satuan pendidikan. Dengan ini semua cukuplah untuk mengatakan bahwa dalam satu sistem pendidikan nasional bisa saja terdiri dari sistem-sistem lain sebagai bagian dari satu sistem tadi. Tetapi, satu hal yang pasti keseluruhan sistem tadi harus menjadi satu kesatuan dalam sistem pendidikan nasional untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Dari apa yang dapat digambarkan di atas, sulit untuk segera menyatakan bahwa penyelenggaraan RSBI/SBI telah membuat sistem pendidikan Indonesia bersistem dua.
D. Kesimpulan
Penyelenggaraan RSBI/SBI telah membawa implikasi negatif bagi terbukanya kesempatan dan pemerataan perolehan hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Sekolah model ini juga bisa menimbulkan segregasi kualitas pendidikan antarsatuan pendidikan dan peserta didik. Di sisi lain, sekolah bermutu ini telah pula mengambil alokasi dana pendidikan sedemikian rupa yang seharusnya patut diberikan kepada sekolah yang tertinggal agar tidak ada peserta didik yang tertinggal dari penikmatan pendidikan yang bermutu. Walau mungkin tidak menimbulkan sistem pendidikan nasional yang ganda, RSBI/SBI dapat mencitrakan ada dualisme penerapan standar pendidikan: standar nasional dan ‘standar internasional’. Ini juga bisa menimbulkan stigmatisasi bahwa sekolah yang tidak bertaraf internasional adalah sekolah yang kurang bermutu. Dan lebih jauh lagi, walau perumusan istilah standar/bertaraf internasional kabur dan ambigu sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap kriterianya, namun penggunaan istilah itu telah menempatkan standar pendidikan Indonesia cenderung secara hirarkis inferior.