Konflik Palestina–Israel kembali menyita perhatian
dan keprihatinan dunia. Kutukan dan
kecaman bertubi-tubi diarahkan kepada Israel yang telah melakukan bombardemen
terhadap objek-objek sipil di Jalur Gaza, Palestina. Ini termasuk pemukiman
penduduk, sekolah PBB, dan tempat ibadah. Perempuan dan anak-anak palestina kemudian
menjadi korban terbesar dari ribuan korban jiwa dan luka serius dari konflik
ini. Navi Pillay, Komisioner Tinggi HAM
PBB menuduh Israel (walau dia juga menyebut
Hamas) melanggar hukum humaniter internasional. Dulu hukum ini disebut hukum perang.
Israel, sebagai negara, selama ini selalu lepas dari
pertanggung-jawaban atas dugaan kuat pelanggaran hukum perang setiap kali
berkonflik dengan Palestina dan negara lain. Demikian juga para serdadu dan
pengambil keputusan baik sipil maupun militer -yang secara pribadi juga dapat dimintai
pertanggung-jawaban menurut hukum pidana nasional dan internasional- hampir tidak pernah diadili. Sebagaimana
dugaan pelanggaran-pelanggaran sebelumnya, terhadap pelanggaran yang dilakukan
pada konflik kali ini, hampir mustahil mengharapkan Israel mengadili sendiri para
pelakunya. Impunitas tidak dapat dibiarkan, keadilan harus ditegakkan. Untuk
itu, banyak kalangan mendesak agar dugaan kejahatan perang Israel di Jalur Gaza
segera diadili di Mahkamah Kejahatan Internasional (ICC) di Belanda.
Persyaratan
Namun, mungkinkah mengadili para penjahat perang di
Gaza itu? Secara umum, untuk dapat diadili di ICC, perlu memenuhi persyaratan:
(1) dari sisi kejahatan, tuduhan kejahatan yang dapat diperiksa adalah
kejahatan genosida, kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, dan kejahatan
agresi; (2) dari sisi pelaku, pelaku yang dapat diadili adalah pelaku yang
negaranya peratifikasi (setuju mengikatkan diri) statuta ICC atau si pelaku
melakukan kejahatan di wilayah suatu negara peratifikasi statuta ICC; dan (3) dari
sisi waktu kejadian kejahatan, kejadian kejahatan yang dapat diperiksa adalah
kejahatan yang terjadi sejak ICC berlaku, yakni sejak Juli 2002 atau sejak saat
negara si pelaku atau negara tempat kejahatan berlangsung meratifikasi ICC
(kecuali negara dimaksud menentukan berlaku surut ke Juli 2002).
Bagaimana jika kejahatan dimaksud berlangsung tidak
di wilayah negara peratifikasi ICC dan oleh pelaku yang bukan dari warga negara
peratifikasi statuta ICC seperti Israel? Kejahatan masih bisa diperiksa di ICC
jika: (1) Dewan Keamanan PBB memintanya dan (2) Negara yang tidak meratifikasi
secara sukerela meminta ICC untuk mengadili kejahatan dalam lingkup yurisdiksi
ICC dalam rentang waktu tertentu sejak statuta ICC mulai berlaku.
Bagaimana jika suatu kejahatan itu tidak terjadi di
suatu wilayah yang bukan merupakan wilayah suatu negara berdaulat seperti di
Jalur Gaza, Palestina? Pada tahun 2009,
Otoritas Palestina pernah meminta Penuntut (Prosecutor) ICC menyelidiki
dugaan terjadinya kejahatan internasional dalam yurisdiksi ICC yang terjadi
wilayah Palestina sejak Juli 2002. Namun, permintaan ini ditolak. Penuntut
menjawab, ia tidak bisa menyelidiki dugaan kejahatan
dimaksud karena yang meminta adalah
Palestina yang bukan merupakan negara.
Sekitar tiga tahun kemudian, terjadi perkembangan
baru atas status negara Palestina. Pada
tahun 2012, lewat suatu resolusi, Majelis Umum PBB menerima peningkatkan
status Otoritas Palestina yang semula sebagai Peninjau (Observer) menjadi Negara Peninjau Bukan Anggota (Non-Member Observer State) di PBB. Artinya,
Palestina dalam hukum internasional mulai dapat disetarakan dengan
negara-negara pada umumnya. Lembaga PBB seperti UNESCO misalnya telah memberi
status keanggotaan penuh sebagaimana layaknya negara kepada Palestina.
Sejak status baru ini, Palestina belum memperbarui
kembali permintaannya di tahun 2009 itu. Namun, 5 Agustus lalu, Menteri Luar
Negeri Palestina, Riyad al-Malki, telah berkonsultasi dengan Penuntut ICC, Fatou
Bensouda tentang mekanisme yang
memungkinkan ICC dapat mengimplementasikan yurisdiksinya pada konflik di Gaza.
Artinya, Palestina siap mengajukan kembali permintaannya agar Penuntut ICC
menyelidiki dugaan pelanggaran hukum perang dan kejahatan lain di dalam
yurisdiksi ICC yang terjadi di wilayah Palestina untuk diajukan ke persidangan.
Jika permintaan ini jadi diajukan kembali, Penuntut
ICC masih akan melakukan pemeriksaan pendahuluan sebelum melakukan investigasi
(penyidikan). Ini mencakup: menilai besar dan seriusnya pelanggaran, ada
tidaknya penyelidikan yang sedang berlangsung terhadap dugaan kejahatan itu
oleh otoritas lain terutama oleh Israel, dan ada tidaknya desakan kepentingan
pemenuhan keadilan. Kemudian, setelah penyidikan dilakukan, barulah dibawa ke persidangan.
Dengan demikian, secara hukum internasional sangat terbuka
kemungkinan untuk menyeret pelaku yang diduga melakukan kejahatan perang dan
kejahatan lain di Gaza, mengingat syarat dimaksud dapat dipenuhi. Namun, harus
diakui menuntut dugaan kejahatan perang seperti di Gaza bukanlah soal hukum
semata. Ini juga soal politik internasional. Jika secara hukum telah memenuhi
syarat, secara politik pertanyaannya adalah mampukah ICC menghadapi tekanan
dari Israel dan sekutunya?