Surat Untuk Pak Jokowi,
Presidenku.
Assalamualaikum,
Surat ini kutulis karena gelisah dan takut Pak.
Gelisah yang diawali permintaan Bapak kepada DPR untuk menyetujui Pak Budi
Gunawan jadi Kapolri. Awalnya saya tidak percaya. Ketika hendak memilih menteri, Bapakkan pernah minta
clearance dari KPK/PPATK. Dan nama
Pak Budi adalah salah satu nama yang tidak direkomendasikan, diberi tanda merah
oleh lembaga yg kita hormati itu, bukan? Dan Bapak manut untuk tak mengangkatnya jadi menteri. Lah, kog Bapak mau
angkat dia jadi Kapolri? Ada apa Pak? Apa betul, Pak Budi ini kesayangan Bu
Mega dan beliau minta dia dijadikan Kapolri tapi Bapak sungkan menampiknya?
Taruhlah itu betul, tapi kan Bapak juga sayang sama Bu Mega. Kalau demikian,
bukankah tak elok untuk nuruti kata
beliau padahal itu keliru? Ya kan Pak? Keliru dong menjadikan orang jadi Kapolri
padahal punya catatan buruk di KPK/PPATK?
Ketika Bapak akhirnya secara resmi menandatangani
usulan pencalonan Pak Budi dan menyerahkannya ke DPR untuk disetujui,
kegelisahan saya semakin membuncah. Lalu kita tergoncang dengan pengumuman KPK.
Pak Budi jadi tersangka. Tapi sejurus kemudian, saya jadi terhibur. Ada analisis
yang berkembang di media sosial, Bapak minjam suara KPK untuk menolak Pak Budi
ke Bu Mega. Alhamdulillah, saya benar terhibur Pak, walau agak getir juga. Ya mosok Pak Presiden RI ra wani bicara terus terang ke Bu Mega? Tapi
yo wis yang penting Pak Budi gak jadi Kapolri. Tapi loh, di media kog
Bapak dibilang ikut kaget? Bukankah Bapak dah tau sebetulnya sikap KPK/PPATK
bagaimana? Bukankah stabilo merah berarti tinggal satu, dua langkah lagi jadi
tersangka? Lalu, Bapak tidak menarik
surat pencalonan ke DPR itu, membiarkan proses fit and proper tes terus belangsung. Intinya Bapak bilang
menghormati putusan KPK dan sementara juga menghormati proses di DPR. Waduh, piye Pak. Apa gunanya di-fit and proper kalau orangnya dah jadi
tersangka, Bukankah dengan demikian Pak Budi sudah tidak fit dan mutlah tidak proper
lagi pak? Surat pencalonan yang jadi dasar adanya tes itu kan sudah seharusnya
dibatalkan Pak, ditarik? Dan akhirnya,
seiring buyarnya analisis itu mencul ketakutan saya: Pencalonan Pak Budi ya
karena maunya Bapak. Waduh!
Wah saya jadi takut, Pak. Takut kalau Bapak
sungguh-sungguh akan melantiknya jadi Kapolri. Saya tak bisa membayangkan
betapa kecewa dan marahnya rakyat Indonesia, secara khusus pendukung dan
pemilih Bapak di Pilpres lalu. Mereka milih Bapak karena Bapak adalah harapan
baru Indonesia. Harapan akan Indonesia yang bersih dari korupsi. Harapan akan
Indonesia yang Presidennya mau bekerja dan mendengar rakyat jelata. Ingatkan
Pak sama semboyan Jokowi Adalah Kita
? Artinya, rakyat melihat diri mereka ada pada Bapak: Jujur, Sederhana, dan Bekerja. Dalam sejarah bangsa kita, rasanya belum
pernah Pak, rakyat merefleksikan dirinya sedalam itu terhadap pemimpinnya, presidennya. Bapak
tentu juga ingat, rakyat tidak hanya berbondong-bondong kepanasan di bulan yang
suci menunggu Bapak hadir di arena kampanye, tapi juga rela sambil ngantri
menyumbangkan duitnya yang tak seberapa untuk pendanaan kampannye Bapak. Saya
masih merinding Pak, saat mengingat
lautan manusia di Senayan pada hari terkahir kampanye, lautan manusia di
sepanjang Semanggi sampai Monas, dan Syukuran salam tiga jari itu. Kejadian ini
juga belum penah terjadi dalam sejarah bangsa kita. Sebelumnya, di media
sosial, pendukung-pendukung Bapak bersahut-sahutan membantah fitnah keji
terhadap Bapak lewat cerita bohong sampai foto rekayasa. Bahkan ini masih
berlanjut sampai sekarang. Bayangkan Pak, apa kata tukang fitnah itu kini kalau
akhirnya Bapak melantik Kapolri yang jadi tersangka? Tidakkah nantinya gagasan revolusi mental yang
Bapak usung akan jadi bahan olok-olok. Tidakkah semua kredibilitas Bapak akan
hancur seketika? Bagaimana Bapak bisa memenuhi harapan-harapan rakyat kalau
sudah begini?
Pak Jokowi, jangan hancurkan harapan Indonesia.
Jangan pernah lantik Pak Budi Gunawan.
Salam hormat,
Irfan Hutagalung,
Rakyatmu, pemilihmu yang mendoakanmu
agar selalu berada di jalan yang lurus.