Perppu
No. 1 Tahun 2017 dan Perjanjian Internasional
IRFAN R HUTAGALUNG
Dosen Hukum Internasional FISIP UIN Jakarta dan Mengajar di Sekolah Tinggi Hukum Jentera
(Dimuat dalam Rubrik Opini Konstitusi pada Majalah Konstitusi Terbitan Mahkamah Konstitusi Nomor 126 Agustus 2017)
Pemerintah kembali menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perppu). Kali ini Perppu berjudul Akses Informasi Keuangan
Untuk Kepentingan Perpajakan yang bernomor 1 Tahun 2017. Perppu ini memberikan
kewenangan kepada otoritas perpajakan untuk mendapatkan dan menerima informasi
keuangan guna
kepentingan perpajakan dari lembaga jasa keuangan yang melaksanakan kegiatan perbankan,
pasar modal, perasuransian, atau lembaga/entitas jasa keuangan lainnya. Setelah informasi ini diperoleh, Menteri Keuangan
berwenang mempertukarkannya dengan otoritas keuangan negara atau yurisdiksi
lain. Ini dilakukan sebagai bagian dari upaya Indonesia dalam kerangka
kerjasama internasional untuk memerangi penghindaran/penggelapan pajak termasuk
penyucian uang. Juga untuk memaksimalkan penerimaan pajak nasional. Sebelum
Perppu ini lahir, Direktorat Jenderal Pajak secara umum tidak berwenang untuk
meminta dan memperoleh informasi keuangan dimaksud karena informasi itu
dilindungi atau dirahasiakan oleh Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang
Perbankan Syariah, Undang-Undang Pasar Modal, Undang-Undang Perdagangan
Berjangka Komoditi. Dan bagi mereka yang mengungkapkan informasi itu tanpa alas
hukum dapat dikenai sanksi pidana.
Persoalannya,
mengapa pemerintah menerbitkan Perppu? Mengapa tidak mengajukan suatu
rancangan undang-undang (RUU) atau rancangan perubahan undang-undang yang
menganulir kerahasian informasi perbankan, pasar modal, dan bidang lain?
Jawabannya adalah pemerintah terikat kepada suatu perjanjian internasional,
yakni
“Convention On Mutual
Administrative Assistance In Tax Matters” dan “The Multilateral Competent Authority Agreement” (MCAA). Konvensi itu
meminta negara pihak membuat legislasi yang memungkikan terjadinya perolehan
dan pertukaran informasi keuangan terkait perpajakan. Dan melalui MCAA,
Indonesia berkomitmen merealisasikan pertukaran itu pada September 2018. Lalu,
untuk mengimplementasikan kedua komitmen hukum internasional ini, pemerintah
menerbitkan Perppu. Karena jika dengan undang-undang, tenggat implementasi
diyakini tidak akan tercapai.
Tulisan ini tidak membahas apakah penerbitan Perppu memenuhi kegentingan memaksa atau tidak. Melainkan, menunjukkan praktik pengikatan Indonesia
kepada perjanjian internasional dalam kasus perjanjian internasional di atas bermasalah
serius.
Ratifikasi
dengan Perpres
Sebagaimana hukum di negara lain pada umumnya, setelah
ditandatangani pemerintah dan sebelum perjanjian internasional yang penting
mengikat negara, suatu bentuk persetujuan yang lajim disebut ratifikasi perlu
dilakukan. Untuk perjanjian yang sangat penting, persetujuan diberikan parlemen
atau lembaga perwakilan rakyat. Sementara untuk perjanjian yang kurang penting,
persetujuan cukup diberikan oleh kepala negara atau kepala pemerintahan. Pasal
11 Ayat (2) Undang-Undang Dasar antara lain mengatur, jika presiden (pemerintah)
membuat suatu perjanjian internasional yang mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang,
persetujuan (ratifikasi) DPR harus diminta sebelum Indonesia menyatakan keterikatannya
kepada perjanjian internasional dimaksud. Senada dengan itu, Pasal
10 UU Perjanjian Internasional juga mensyaratkan perlunya pengesahan atau
ratifikasi DPR terhadap perjanjian internasional yang mengakibatkan pembentukan
kaidah hukum baru.
Konvensi dan persetujuan tersebut di atas memaksa
Indonesia membentuk hukum baru dan mengubah setidaknya lima undang-undang
sebagaimana terbaca di dalam Pasal 8 Perppu itu. Tetapi, Konvensi itu sendiri
ternyata diratifikasi hanya dengan peraturan presiden, yakni Perpres Nomor 159 Tahun
2014. Lalu, tahun berikutnya, Menteri Keuangan ketika itu menandatangani “The
Multilateral Competent Authority Agreement”.
Apakah ini bentuk keteledoran pemerintah ketika itu yang
tidak menyadari bahwa Konvensi dan
Persetujuan dimaksud mengakibatkan perlunya perubahan atau pembentukan
undang-undang baru sehingga seharusnya diratifikasi dengan undang-undang?
Fait Accompli DPR
Sekarang, Perppu telah di tangan DPR.
Bagaimana jika DPR menolaknya karena misalnya menganggap pertukaran informasi
tidak membawa manfaat justru malah merugikan kepentingan nasional? Menurut
Pasal 22 UUD, pemerintah harus mencabutnya. Namun, Perppu ini bukan sembarang
Perppu. Jika DPR tidak menyetujui Perppu dimaksud, Indonesia berpotensi melanggar
hukum internasional karena Indonesia tidak memenuhi komitmennya sebagaimana
termaktub di dalam Konvensi dan Persetujuan tersebut di atas. Pemerintah tidak bisa
menyatakan kepada para pihak bahwa Indonesia tidak menjalankan janji terhadap
Konvensi dan Persetujuan itu karena DPR tidak sependapat dengannya. Pasal 27 Konvensi
Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional melarang negara mendalilkan
hukum nasional sebagai dasar kealpaannya melaksanakan perjanjian internasional.
Memang, Indonesia dimungkinkan untuk mundur dari Konvensi dan Persetujuan itu. Tapi,
itu pasti langkah yang sangat sulit karena akan mempermalukan diri sendiri.
Walaupun besar kemungkinan DPR
tidak akan menolak Perppu itu, tapi jelas pemerintah telah mem-fait accompli-nya. Artinya, Pasal 11 UUD
telah dikebiri. Praktik ini hanya dapat dihindari jika DPR sendiri aktif dalam
menjalankan fungsi kontrol dan menyelia setiap perjanjian internasional yang dilakukan
pemerintah serta menilai apakah bentuk ratifikasi yang dilakukan dengan
peraturan presiden telah sesuai dengan prinsip yang diatur di dalam Pasal 11
Ayat (2) UUD sebelum ratifikasi itu dilakukan. Untuk itu, langkah pertama yang
harus dilakukan DPR adalah menuntaskan perubahan UU Perjanjian Internasional yang
walaupun sudah dijadikan program legislasi nasional (Prolegnas) tahun 2015-2019
tetapi belum dimasukkan ke dalam Prolegnas Prioritas tahun ini. Salah satu
kelemahan dari UU Perjanjian Internasional adalah dominannya peran pemerintah
dalam menentukan mana perjanjian internasional yang perlu persetujuan DPR dan
mana yang tidak. Kelemahan ini sebagian sudah ditambal melalui UU Perdagangan
Nomor 7 Tahun 2014 yang mewajibkan pemerintah mengirimkan kepada DPR setiap
perjanjian internasional di bidang perdagangan yang ditandatanganinya. Lalu,
DPR yang akan menentukan mana perjanjian yang memerlukan pengesahan dengan perpres
dan mana yang dengan undang-undang.