Beberapa waktu
lalu, Ustad Abdul Somad kembali membuat berita. Kali ini tentang ditolaknya beliau
masuk ke Hong-Kong Special Administration Region (SAR). Padahal, yang
bersangkutan diyakini telah memenuhi persyaratan masuk ke wilayah khusus
Tiongkok itu. Ketua MPR dan Pimpinan DPR bereaksi keras terhadap penolakan itu.
Bahkan disebutkan, larangan masuk itu sebagai bentuk pelecehan kepada warga
negara Indonesia dan seharusnya Konsulat Jenderal Indonesia di sana memberikan
perlindungan. Tulisan ini tidak akan membicarakan isi dakwah Sang Ustad, melainkan soal aspek hukum
tentang larangan/izin masuk warga negara asing ke suatu negara atau teritori
khusus seperti Hong Kong.
Izin Masuk Adalah Rezim Hukum Nasional
Kecuali dalam
situasi transit dan pencari suaka atau berstatus pengungsi, sebelum masuk ke
suatu negara asing, setiap warga negara asing harus memiliki visa atau
sejenisnya yang diberikan oleh negara yang dikunjungi. Ini tidak terkecuali
bagi para duta besar dan diplomat perwakilan negara atau organisasi internasional
seperti PBB atau ASEAN. Bahkan, kepala negara pun dalam kunjungan ke negara
asing memerlukan visa. Tidak ada satu
orang asing pun secara otomatis dapat masuk ke negara lain tanpa izin masuk.
Memang, dalam beberapa perjanjian
internasional, seperti Konvensi tentang Hak-Hak Istimewa dan Kekebalan PBB 1946
(Convention on the Priveleges and Immunities of the United Nations) dan perjanjian
internasional antara PPB dengan negara anggota (headquarter agreement) diatur tentang kemudahan pemberian visa dari
negara anggota kepada para perwakilan PBB dan organisasi afiliasinya. Demikian
juga bagi utusan PBB seperti Pelapor Khusus yang memiliki mandat untuk
mengunjungi suatu negara. Bagi negara yang menjadi tuan rumah peristiwa
internasional seperti olahraga dan pertemuan organisasi internasional,
kemudahan perolehan visa juga diberikan kepada para delegasi.
Terkait kemudahan
pemberian visa, negara baik secara unilateral, multilateral, atau timbal balik dapat
membuat kemudahan atau pembebasan visa kepada warganegara dari negara tertentu.
Sehingga, warga negara dari negara yang dikehendaki dapat masuk ke negara asing
tanpa visa atau pemberian visa itu dilakukan pada saat kedatangan. Hong Kong
juga memberikan kebebasan visa ini bagi warga negara Indonesia yang datang ke
sana untuk maksud kunjungan, bukan bekerja, berusaha, atau studi.
Tidak seperti yang
dipahami awam, perolehan visa dan pemenuhan kelengkapan dokumen perjalanan
bukanlah berarti suatu jaminan masuk ke negara pemberi visa. Visa adalah
prasyarat untuk masuk. Pemegang visa dapat ditolak masuk untuk alasan yang
sepenuhnya diserahkan pada negara yang dikunjungi.
Dalam Ordonansi
Imigrasi Hong Kong (Immigration Ordinance) Bab 115 Bagian 3 Pasal 7 (1) diatur bahwa tidak seorang pun dapat masuk ke sana
tanpa izin dari pejabat atau assisten pejabat imigrasi kecuali bagi orang yang
menurut Ordinance itu berhak tinggal
di Hong Kong. Jadi, kelengkapan dokumen perjalanan dan visa
bukanlah jaminan masuk ke wilayah itu. Memutuskan menolak atau menerima
merupakan bentuk kewenangan negara berdaulat atau teritori seperti Hong Kong. Senada
dengan itu, dalam Undang-Undang Keimigrasian RI Nomor 6 Tahun 2011 misalnya
menyebutkan bahwa orang asing yang memasuki Indonesia harus memiliki dokumen
perjalanan dan visa (Pasal 8). Orang asing yang memenuhi ketentuan dimaksud pada
Pasal 8, hanya bisa masuk jika telah diberikan Tanda Masuk (Pasal 10). Sehingga,
dalam hukum Indonesiapun, orang asing yang sudah berada di bandar udara atau
pelabuhan kedatangan internasional (port of entry) dengan dokumen yang
lengkap tidak dapat masuk ke Indonesia karena tidak mendapatkan Tanda Masuk. Penolakan
dapat dilakukan dengan atau tanpa didahului pemeriksaan terhadap yang
bersangkutan. Persis seperti posisi Ustad Abdul Somad di Hong Kong.
Dalam hukum
internasionalpun, seperti Kerangka Persetujuan ASEAN tentang Pembebasan
Visa Tahun 2006 (ASEAN Framework
Agreement on Visa Exemption), juga
diakui hak negara anggota ASEAN untuk menolak masuk warga negara anggota ASEAN
peratifikasi persetujuan itu walau sudah mendapat pembebasan visa. Penolakan
bisa didasarkan hanya karena yang bersangkutan tidak diinginkan (undesirable) untuk masuk ke negara itu
sebagaimana diatur di dalam Pasal 3 (2).
Mengingat izin
masuk suatu negara adalah kewenangan dari suatu negara maka, penolakan
pemberian izin masuk bagi Ustad Abdul Somad bukanlah obyek yang dapat digugat
atau dipersoalkan oleh negara lain sepanjang tindakan negara atau teritori itu
tidak bertentangan dengan hukum internasional. Dan oleh karena itu, penolakan
pemberian izin masuk bukanlah tindakan pelecehan kepada yang bersangkutan.
Sehingga, tidaklah tepat meminta konsul Indonesia di sana untuk memberikan
perlindungan kepada yang bersangkutan. Memang, dalam Konvensi Wina Tentang
Hubungan Konsulat 1963 (Viena Convention on Consular Relations) diatur tentang
kewenangan perwakilan negara asing untuk memberikan bantuan kepada warganegaranya
jika warga negara dimaksud menghadapi permasalahan hukum. Tetapi, membuat
negara asing untuk menerima kedatangan seorang warga negara dari negara yang
diwakilinya bukanlah tugas dari konsul atau perwakilan diplomatik.