Keterangan Ahli Ini Disampaikan Pada Sidang Mahkamah Konstitusi Terhadap Permohonan Uji Materi UU No. 24 Tahun 2000 Tanggal 30 April 2018
Yang Mulia Hakim Ketua dan Yang Mulia Para Anggota
Mejelis, yang terhormat para wakil Termohon dan Pemohon. Para hadirin sekalian.
Terimakasih atas kesempatan dan waktu yang diberikan. Izinkan saya untuk memulai
memberikan keterangan ini. Pada prinsipnya keterangan ini akan terbagi ke dalam
dua bagian. Bagian pertama tentang permasalahan perundang-undanan dan konstitusionalitas
UU a quo dan bagian kedua tentang hak
dan kerugian konstitusionalitas yang diakibatkan oleh UU yang diujimaterikan.
Maksud Dan Tujuan Pembentukan
1.
Maksud dan tujuan pembentukan
UU ini yang terlihat secara normatif termaktub dalam konsiderannya bahwa:
pertama, ketentuan tentang kekuasaan pembuatan dan prosedur internal pengikatan
(atau dalam bahasa UU a quo disebut
pengesahan) kepada perjanjian
internasional dalam UUD 45 sangat singkat. Kedua, Surat Presiden
Republik Indonesia No. 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960 tentang
"Pembuatan Perjanjian‑Perjanjian dengan Negara Lain" yang dijadikan pedoman bahkan hukum kebiasaan pada waktu itu dinilai “tidak
sesuai lagi dengan semangat reformasi” dan ketiga, sifat pedoman tadi yang berupa surat presiden dari
segi bentuk hukumnya atau dari segi perundang-undangan dianggap kurang kuat dan
tidak jelas. Padahal, pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional adalah
hal yang sangat penting. Sehingga, perlu dibuat UU a quo. Juga, dalam bagian Penjelasan Umum UU ini disebutkan bahwa Undang‑undang
a quo “merupakan
pelaksanaan Pasal 11 Undang‑Undang Dasar 1945 yang memberikan kewenangan kepada
Presiden untuk membuat perjanjian internasional dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat. Ketentuan Pasal 11 Undang‑undang Dasar 1945 bersifat ringkas
sehingga memerlukan penjabaran lebih lanjut.” Semua alasan ini dapat diterima. Persoalan kemudian
adalah apakah maksud dan tujuan tadi terwujud dalam keseluruhan norma yang
termaktub dalam UU itu atau tidak bukan? Paparan di bawah ini akan menjawab
pertanyaan itu.
Tidak Menjabarkan Malah Mengganti Persetujuan Menjadi
Pengesahan
2.
Seperti disebutkan, UU a quo bertujuan menjabarkan ketentuan
Pasal 11 UUD. Namun, alih-alih menjabarkan, UU a quo malah membuat
ketentuan yang berbeda dan menimbulkan pertentangan dengan Pasal 11 UUD itu
sendiri. Seperti yang dapat dibaca, Pasal 11 UUD menentukan kewenangan DPR
untuk menyetujui atau tidak menyetujui tindakan presiden dalam membuat
perjanjian internasional (baca: mengikatkan diri kepada perjanjian
internasional). Tetapi, sebagaimana dapat dilihat dalam batang tubuh UU a quo, persetujuan DPR tidak ada lagi
disebut-sebut. UU a quo malah
menentukan kewenangan lain bagi DPR yakni kewenangan untuk mengesahkan suatu
perjanjian internasional tertentu sebagaimana diatur di dalam Pasal 9 Ayat (2).
Uniknya, kekuasaan itu harus pula dibagi dengan Presiden karena kekuasan
mengesahkan itu harus diwujudkan dalam bentuk UU. Sebagaimana kita semua tahu,
UU adalah produk bersama antara Presiden dengan DPR. Sementara itu, tentang kekuasaaan
pengesahan sebagaimana dimuat di dalam Pasal 9 Ayat (2) dan Pasal-Pasal
setelahnya terkait pengesahan juga menimbulkan persoalan lain. Persoalan ini
akan dibahas dalam paragrap 4.
Pengesahan Tidak Dapat Disamakan Dengan Persetujuan
3.
Sebagian pihak mengatakan bahwa
Pasal 9 Ayat (2) yang menyebutkan pengesahan perjanjian tertentu yang dilakukan
dengan UU harus dibaca sebagai bentuk permintaan persetujuan yang diajukan Presiden
(pemerintah) kepada DPR sebagaimana dikehendaki Pasal 11 UUD. Saya menolak
pandangan ini. Berikut alasannya. Pertama, persetujuan DPR patutlah tidak diwujudkan
dalam bentuk UU karena persetujuan haruslah produk tindakan sepihak DPR bukan
tindakan dua belah pihak sebagaimana UU. Kedua, sebagian pihak mungkin
mengatakan bahwa UU dalam konteks ini harus dibaca sebagai UU formal (lawan
dari UU materil). Pandangan ini juga tidak tepat karena secara normatif dan
praktik, proses pembuatan UU dimaksud sama saja dengan proses pembuatan UU
materil. Ketiga, jika dibaca secara seksama, walau dirumuskan secara keliru,
Pasal 9 UU a quo itu sesungguhnya
mengatur tentang cara pengikatan (consent
to be bound) terhadap perjanjian internasional. Ini karena di dalam Pasal
itu mengatur tentang ‘pengesahan perjanjian internasional. Sementara kata ‘pengesahan’
sendiri artinya menurut Pasal 1 butir 2 UU a
quo adalah: “perbuatan hukum untuk mengikatkan
diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification)
aksesi (accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval).” Sehingga, sekali lagi, Pasal 9 Ayat (2) adalah tentang
pernyataan pengikatan diri kepada perjanjian internasional bukan permintaan persetujuan
pemerintah kepada DPR. Namun, pernyataan pengikatan diri itu dirumuskan secara
keliru karena mencampuradukkan proses internal yang tunduk pada hukum nasional
dengan proses eksternal yang tunduk pada hukum internasional.
Pengesahan Merupakan Pernyataaan Pengikatan Diri
4.
Dalam Paragrap 2, saya telah
menyebutkan bahwa kekuasaan mengesahkan perjanjian internasional bermasalah.
Berikut penjelasannya. Jika diperhatikan, Pasal 1 butir 2 UU a quo tentang pengertian ‘pengesahan’, pengesahan adalah suatu
perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian
internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification)
aksesi (accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval). Namun,
pengertian pengesahan yang dijelaskan dalam Pasal 1 butir 2 ini berubah
maknanya ketika diaplikasikan dalam pasal-pasal yang termaktub dalam Bab 3
Tentang Pengesahan. Misalnya, Dalam
Pasal 9 Ayat (1) disebutkan: Pengesahan perjanjian internasional oleh
Pemerintah Republik Indonesia dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh
perjanjian internasional tersebut. Lalu, Ayat (2)
berbunyi “Pengesahan
perjanjian internasional sebagaimana dimaksud pada Ayat
(1) dilakukan dengan undang‑undang atau keputusan presiden.” Penjelasan Pasal Demi Pasal terkait ayat ini meneguhkan norma Pasal 9
Ayat (2) itu bahwa perbuatan hukum untuk mengikatkan
diri pada suatu perjanjian internasional dilakukan dengan
UU atau Kepres (sekarang Perpres). Jika pengertian kata ‘pengesahan’
sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 butir 2 di atas diterapkan dalam Pasal 9 Ayat
(2) ini, maka Pasal 9 Ayat (2) ini menjadi tidak masuk akal dan tidak mungkin
dilaksanakan karena tidak pernah dan tidak mungkin pemerintah menggunakan UU,
Kepres, atau Perpres sebagai suatu bentuk perbuatan hukum untuk mengikatkan
diri kepada perjanjian internasional sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 11 Vienna
Convention on the Law of Treaties atau Konvensi Wina 1969 terkait aturan
tentang consent to be bound. Dengan
pengertian ini berarti, peran DPR yang seharusnya menyetujui atau menolak
tindakan pemerintah yang akan mengikatkan negara kepada suatu kesepakatan
internasional tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 UUD berubah perannya
menjadi pembuat pernyataan pengikatan (consent
to be bound) bersama-sama dengan Presiden (pemerintah) melalui suatu
undang-undang. Ini tentu membingungkan dan tidak mungkin diaplikasikan karena
memang DPR dan Presiden tidak mungkin melakukan itu dan rasanya tidak pula
lembaga perwakilan manapun di dunia ini melakukannya. Menyatakan terikat
(meratifikasi) kepada perjanjian internasional adalah pekerjaannya pemerintah
semata sebagaimana disebut dalam Pasal 9 Ayat (1) UU a quo yang dilakukan dengan
mendepositkan atau mempertukarkan kepada pihak peserta perjanjian apa yang
disebut sebagai instrumen ratifikasi (instrument
of ratification). Instrumen ini bukan undang-undang, bukan pula produk DPR.
Kesalahan Menentukan Wilayah Hukum Nasional dengan
Wilayah Hukum Internasional
5.
Ketentuan Pasal 9 Ayat (2) UU a quo ini berbunyi demikian patut diduga
karena ketidaktepatan dalam meletakkan dan menentukan mana wilayah keberlakuan
hukum nasional -dalam hal ini hukum administrasi negara dan hukum tata negara-
di satu sisi, dengan wilayah keberlakuan hukum internasional di sisi lain dalam
rentang proses tindakan meminta persetujuan untuk mengikatkan diri sebagaimana
dikehendaki Pasal 11 UUD dan tindakan mengikatkan diri itu sendiri sebagaimana
diatur di dalam Konvensi Wina. Persetujuan atau penolakan DPR adalah tindakan atau
perbuatan hukum dalam lingkup hukum nasional yang diatur menurut hukum
nasional, sementara pernyataan pengikatan yang dilakukan oleh pemerintah -berdasarkan
persetujuan DPR tadi, adalah tindakan atau perbuatan hukum internasional yang
dilakukan berdasarkan hukum internasional pula.[1]
Sehingga, prase “pengesahan perjanjian internasional dengan undang-undang”
tidak seharusnya ada, melainkan seharusnya prase “DPR menyetujui (tidak
menyetujui) pengikatan kepada perjanjian internasional” agar sejalan dengan Pasal
11 UUD. Lalu, setelah disetujui DPR barulah kemudian pemerintah memiliki dasar
untuk menyatakan keterikatannya dengan perjanjian itu.
Masih Tentang Kesalahan Menentukan Wilayah Hukum Nasional
dengan Wilayah Hukum Internasional
6.
Kembali ke persoalan penjabaran
dan kekeliruan menentukan wilayah keberlakukan hukum nasional dan
internasional. UU a quo menjabarkan
Pasal 11 UUD dengan membuat ketentuan tentang aspek-aspek sebagai berikut:
a. pembuatan perjanjian internasional seperti: siapa pejabat atau kementerian
yang berwenang untuk membuat perjanjian dan panduan bagi mereka dalam membuat
perjanjian itu;
b. pengesahan perjanjian internasional;
c. pemberlakuan perjanjian internasional;
d. penyimpanan perjanjian internasional; dan
e. pengakhiran perjanjian internasional.
Dari beberapa
substansi aturan yang dijabarkan itu, UU a
quo telah mencampuradukkan dimensi
wilayah keberlakukan hukum nasional dan wilayah keberlakuan hukum internasional
di luar dari apa yang saya sebut di paragrap sebelumnya. Hal ini misalnya terlihat pada aspek
pengaturan tentang pengakhiran perjanjian. Dalam UU a quo Pasal 18 butir huruf ‘h’ disebutkan: Perjanjian internasional
berakhir apabila terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.
Penentuan tentang kapan berakhirnya perjanjian internasional bukanlah wilayah
hukum nasional alias bukan wilayah UU a
quo, melainkan wilayah hukum internasional alias wilayah hukum perjanjian
internasional yang tersebut di dalam Konvensi Wina 1969 (Vienna Convention on
the Law of Treaties). Hal yang sama ditemukan juga pada bagian Penjelasan Pasal
Demi Pasal terkait Penjelasan Pasal 9 Ayat
(1) UU a quo Disebutkan: “ .... Perjanjian
internasional yang memerlukan pengesahan akan mulai berlaku setelah
terpenuhinya prosedur pengesahan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.” Sebagaimana ketentuan tentang saat dimulai berlakunya perjanjian
internasional, hukum internasional juga mengatur saat berakhirnya perjanjian
internasional. Hukum nasional tidak dapat mengatur sepihak kapan mulai
berlakunya perjanjian internasional. Hukum nasional hanya dapat memilih atau
menentukan kapan perjanjian internasional mengikat dirinya dengan menentukan
kapan suatu negara mau mengikatkan diri kepada perjanjian internasional. Hukum
nasional atau UU a quo bisa saja
menulis ulang isi konvensi itu tetapi tidak bisa mengatur berbeda dan bertentangan
dengan konvensi dimaksud, apalagi mengatur objek yang masuk dalam wilayah hukum
internasional.
Sekali Lagi: Tidak Menjabarkan Malah Membuat Ketentuan
Yang Bertentangan Dengan UUD
7.
Selain dari kesalahkaprahan
Pasal 9 Ayat (2) terkait penjabaran konsep persetujuan yang berubah menjadi
pengesahan atau pernyataan pengikatan diri kepada perjanjian internasional sebagaimana
telah diuraikan sebelumnya, Pasal 10 UU a
quo melahirkan kontradiksi lain dengan UUD, walaupun pengesahan perjanjian
internasional itu dimaknai sebagai permintaan persetujuan pemerintah kepada
DPR. Pasal 10 UU a quo
menyebutkan: Pengesahan
perjanjian internasional dilakukan dengan undang‑undang apabila berkenaan
dengan :
1) masalah
politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
2) perubahan
wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia;
3) kedaulatan
atau hak berdaulat negara;
4) hak
asasi manusia dan lingkungan hidup;
5)
pembentukan
kaidah hukum baru;
6)
pinjaman dan/atau
hibah luar negeri.
Sekali lagi, walaupun pengesahan dimaknai persetujuan, Pasal 10 ini telah
menyimpangi UUD Pasal 11. Berikut alasannya: Pasal 10 UU a quo telah membuat kriteria atau kualifikasi yang tertutup (exhaustive) terbatas pada enam aspek
dimaksud, sementara Pasal 11 Ayat (2) UUD membuat kriteria yang terbuka. Pasal
11 Ayat (2) UUD menyebutkan: “Presiden
dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang
luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” Memang, Pasal 10 UU a quo ini lahir terlebih dahulu dari
Pasal 11 Ayat (2) UUD. Sehingga, sebagian pihak mungkin mengatakan tidaklah
tepat untuk menghadapkan Pasal 10 UU a
quo dengan Pasal 11 Ayat (2) UUD. Baiklah, untuk sementara saya akan kesampingkan
menghadap-hadapkan Pasal 10 UU a quo
dengan Pasal 11 Ayat (2) UUD.
Dengan demikian, Pasal 10 ini harus dihadapkan pada
Pasal 11 lama yang sekarang menjadi Pasal 11 Ayat (1). Artinya, sesuai dengan
maksud pembentukannya, Pasal 10 UU a quo akan menjabarkan lebih lanjut
ketentuan Pasal 11 Ayat (1) ini, bukan? Pertanyaannya kemudian adalah, apakah
Pasal 10 berhasil mencapai maksudnya untuk menjabarkan ketentuan Pasal 11 Ayat
(1). Untuk menjawab ini saya perlu kembali ke Surat Presiden Soekarno yang
disebutkan di awal. Surat ini punya maksud yang sama dengan UU a quo yakni bagaimana menjabarkan atau
mengimplementasikan Pasal 11 Ayat (1) itu karena jika semua perjanjian internasional
harus memerlukan persetujuan DPR maka akan merepotkan pemerintah sendiri dan
dapat menggangu kefektifitasan hubungan luar negeri sebagaimana pernah
disampaikan oleh Soekarno dalam suratnya itu. Lalu, dalam surat itu juga
Presiden Sokarno membuat kriteria perjanjian internasional yang memerlukan
persetujuan DPR yakni:
“... Soal-soal politik atau
soal-soal yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri Negara,...
Ikatan-ikatan yang sedemikian rupa sifatnya sehingga bisa mempengaruhi haluan
politik luar negeri Negara.... dan
Soal-soal yang menurut Undang-Undang Dasar atau menurut sistem
perundang-undangan kita harus diatur dengan undang-undang....”[2]
Jelas terlihat
bahwa kualifikasi yang dibuat oleh Presiden waktu itu sama karakternya dengan
Pasal 11 Ayat (2) yang dibuat 42 tahun kemudian, yakni sama-sama bersifat
terbuka. Dengan demikian, Surat Presiden itu lebih berhasil melaksanakan Pasal
11 (1) UUD.
Sekarang, izinkan
saya untuk kembali membicaran Pasal 11 Ayat (2). Mengingat bahwa Pasal 11 Ayat
(2) ini lahir belakangan dibandingkan dengan Surat Presiden itu dan bahkan muncul
setelah lahirnya Pasal 10 UU a quo,
sangatlah fair untuk mengatakan Pasal
11 Ayat (2) UUD lebih memilih kriteria yang digunakan oleh Surat Presiden
dibandingkan dengan kriteria yang digunakan oleh Pasal 10 UU a quo. Artinya, jika norma UUD yang lahir
belakangan menyimpangi norma UU a quo
yang lahir lebih dahulu, dapatlah dipastikan norma UU itu bertentangan dengan
norma UUD. Jadi, andaipun dimungkinkan untuk menghindari menilai Pasal 10 UU a quo dengan Pasal 11 Ayat (2) UUD
karena Pasal 10 itu lahir terlebih dahulu, tetapi mutlak tidak dapat dihindari
untuk menghadapkan Pasal 11 Ayat (2) UUD dengan Pasal 10 UU itu. Selain adanya dimensi pertentangan ini, mungkin timbul
pertanyaan: Apa masalahnya jika Pasal 10 UU a
quo membuat kriteria atau kualifikasinya tertutup? Penjelasannya berikut ini.
Kriteria Problematis
8.
Enam kualifikasi substantif
perjanjian internasional yang disebut pada Pasal 10 UU a quo memiliki makna implisit bahwa enam kriteria perjanjian
internasional itu adalah jenis-jenis perjanjian internasional yang penting
karena memerlukan UU dalam pengesahannya (jika dimaknai pengesahan adalah
permintaan persetujuan DPR sebagaimana saya singgung di atas). Sementara secara
a contrario perjanjian internasional
di luar enam kualifikasi itu adalah kurang penting. Sehingga, cukuplah
pengesahannya dengan Perpres. Persoalannya adalah apakah perjanjian
internasional yang penting terbatas hanya pada enam kualifikasi tersebut?
Jawabannya: Tidak. Bukan saya yang
bilang ‘tidak’, tetapi UU Perdagangan yang bilang. UU Nomor 7 tahun 2014
Tentang Perdagangan dalam Pasal 84 Ayat (3) Huruf a dan b menyebutkan:
a.
Dalam hal perjanjian Perdagangan
internasional menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat
yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau
pembentukan undang-undang, pengesahannya dilakukan dengan undang-undang.
b. Dalam hal perjanjian Perdagangan internasional
tidak menimbulkan dampak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, pengesahannya
dilakukan dengan Peraturan Presiden.
Dari ketentuan ini, jelas terlihat bahwa selain enam kriteria itu, ada
kriteria lain yang juga penting. Yakni, perjanjian yang mengatur tentang perdagangan
internasional yang substansinya “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang ....” Sehingga,
pengesahannya harus dilakukan dengan UU.
Bercermin dari UU Perdagangan ini, dapat diketahui bahwa substansi
perjanjian internasional yang “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang” pasti banyak atau tidak
terbatas pada enam kriteria yang disebut di dalam Pasal 10 UU a quo dan Pasal 84 Ayat (3) huruf a UU
Perdagangan. Dari UU Perdagangan ini pula, secara sangat meyakinkan kita harus mengatakan
bahwa kriteria Pasal 10 UU a quo yang
bersifat tertutup tidak bisa diterima. UU Perdagangan menggunakan kriteria
Pasal 11 Ayat (2) UUD yang bersifat terbuka. Jangankan terhadap perjanjian
internasional yang spektrum substansinya sangat luas, bahkan terhadap
perjanjian perdagangan yang sangat spesifikpun substansi aturannya bisa sangat
terbuka: “ada yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan
rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan
perubahan atau pembentukan undang-undang” ada yang tidak- sehingga cukup
disahkan dengan Peraturan Presiden. Sementara itu, dari sisi kewenangan DPR,
enam kriteria tertutup ini jelas telah mengebiri lembaga perwakilan rakyat itu
mengontrol tindakan pemerintah dalam mengikatkan diri kepada perjanjian
internasional dan ini adalah persoalan yang sangat serius.
Contoh Perjanjian Internasional Yang Membawa Akibat Yang
Luas dan Mendasar
9.
Sejak
berlaku tahun 2000 dan dengan segala permasalahan yang telah saya paparkan di
atas, UU a quo dan secara spesifik
Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 telah menjadi dasar bagi Presiden (pemerintah)
dan juga DPR dalam mengikatkan diri kepada perjanjian internasional. Sejak
tahun 2000 itu pula, pemerintah telah membuat ratusan perjanjian internasional.
Di antara sekian banyak perjanjian itu ada perjanjian internasional “yang
menimbulkan dampak yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait
dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan
undang-undang” tetapi pengesahannya dilakukan dengan Peraturan Presiden seperti
perjanjian-perjanjian tersebut di atas. Saya tidak akan merinci satu persatu
perjanjian-perjanjian dimaksud. Namun jelas, hampir semua perjanjian kemitraan
ekonomi selalu diratifikasi setelah terbit Perpres atau dalam bahasa UU a quo disahkan melalui Perpres.
Dalam lingkup ASEAN
misalnya, Indonesia terikat pada perjanjian perdagangan/investasi bebas melalui
ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) 1995 yang disahkan dengan
Keputusan Presiden No. 88 Tahun 1995 (untuk perjanjian ini, UU a quo memang belum lahir); ASEAN Trade
in Goods Agreement (ATIGA) 2009 yang disahkan pada tahun 2010 dengan Peraturan
Presiden No. 2 Tahun 2010; ASEAN Comprehensive Investment Agreement (ACIA)
tahun 2009 yang sahkan Indonesia pada tahun 2011 dengan Peraturan Presiden No.
49 Tahun 2011. Semua perjanjian dalam rangka mewujudkan masyarat ekonomi ASEAN
alias pasar bebas ASEAN itu -menurut bahasa UU a quo- disahkan dengan Peraturan Presiden bukan dengan UU. Yang
lain adalah perjanjian internasional yang
bernama: Agreement Between The Republic of Indonesia and Japan For An Economic
Partnership 2007 atau yang biasa disebut Indonesia-Japan Economic Partnership
(IJEPA), yang disahkan lewat Perpres No. 36 Tahun 2008.
Perjanjian ini adalah suatu perjanjian internasional tentang kemitraan
ekonomi antara Indonesia dengan Jepang. Perjanjian yang terdiri dari tidak kurang
154 pasal mengatur kerjasama ekonomi dua negara yang sangat luas. Mulai dari
aturan perdagangan berbagai jenis produk dan jasa, kepabeanan dan bea masuk,
pajak, investasi, hak atas kekayaan intelektual (hak cipta, merek dagang, disain
industri, paten) persaingan usaha, penyediaan barang pemerintah (government procurement) pergerakan
orang, sampai dengan penyelesaian sengketa. Luasnya cakupan perjanjian dan
mengingat besarnya nilai dan volume kerjasama ekonomi antara Indonesia dan
Jepang, terlihat jelas bahwa perjanjian ini memiliki dampak yang luas bagi
Indonesia dan oleh karenanya sangat penting. Jepang sendiri menganggap
perjanjian ini penting. Sehingga, Pemerintah Jepang memerlukan persetujuan
parlemennya terlebih dahulu sebelum menyatakan terikat dengan perjanjian ini.[3]
Namun, seperti disebutkan sebelumnya, Indonesia menyatakan keterikatannya
dengan perjanjian ini setelah diterbitkannya Perpres. Pemerintah tidak meminta
persetujuan dari DPR.
Contoh lain adalah berbagai Perjanjian Perdagangan bebas ASEAN-China
yang mulai dibentuk pada tahun 2002 melalui perjanjian internasional bernama Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation Between The Association Of South East Asia Nations and The People's Republic Of China (Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh Antara Negara-Negara Anggota Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Republik Rakyat China tahun 2002 yang disahkan melalui Keppres No. 48 Tahun 2004. Ada banyak perjanjian internasional lain yang dibuat antara negara-negara ASEAN termasuk Indonesia dengan China ini dalam mengimplementasikan framework agreement itu seperti Agreement on Trade in Goods of the Frameworks Agreement on Comprehensive Economic Co-operation Between The Association Of South East Asia Nations and The People's Republic Of China (Perpres No. 25/2011), Agreement on Investment of the Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation Between The Association Of South East Asia Nations and The People's Republic Of China (Perpres No. 57/2010), dan Agreement on Trade in Services of the Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation Between The Association Of South East Asia Nations and The People's Republic Of China (Perpres No. 18/2008) plus amandemen dan protokol-protokolnya. Indonesia ikut menjadi pihak dalam paket perjanjian internasional pasar bebas di bidang perdagangan dan investasi ini dan pengesahannya dilakukan tidak dengan UU walau dampak dari rangkaian perjanjian-perjanjian ini sangat besar. Menurut Serikat Petani Indonesia (SPI), pasar bebas antara ASEAN dengan China dimana Indonesia ikut di dalamnya membuat pertanian Indonesia terancam. Petani bawang putih kita misalnya adalah salah satu pihak yang paling terkena dampak buruk dari perjanjian internasional ini. [4]
Sementara itu, banyak
kalangan menilai Perjanjian Kemitraan Ekonomi dengan Jepang itu merugikan
Indonesia. Ini dikatakan antara lain oleh Menteri Perindustrian MS Hidayat sebagaimana
dilaporkan oleh media Bisnis Indonesia yang ditulis ulang pada situs
Kementerian Perindustrian RI.[5]
Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Menteri Perindustrian setelahnya yakni
Saleh Husin sebagaimana dilaporkan oleh CNN Indonesia.[6] Memang,
ada juga laporan yang menyebutkan bahwa IJEPA menguntungkan Indonesia. Namun, tidak
dapat dibantah bahwa ketika Indonesia menunda bea masuk mobil impor utuh completely build up (CBU) dari Jepang
karena Indonesia menilai penurunan bea masuk ini akan menghambat investasi
industri mobil -padahal penurunan itu telah disepakati dalam IJEPA- itu berarti
bahwa perjanjian IJEPA ini merugikan Indonesia.[7] Overall, secara umum, perjanjian ini dinilai
tidak menguntungkan Indonesia sehingga muncul keinginan dari pihak Indonesia
untuk mengkaji ulang atau mengamendamennya.[8] Pertanyaannya
kemudian adalah mengapa pemerintah mengesahkan perjanjian internasional yang
penting ini dengan Perpres? Jawabannya jelas. Ini karena kategori atau kualifikasi
perjanjian internasional dimaksud di luar kriteria perjanjian internasional
yang pengesahannya dilakukan dengan UU sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 UU
a quo. Sehingga, bentuk pengesahan
perjanjian itu masuk dalam kategori Pasal 11 UU a quo yakni dengan Kepres (Perpres).
Hak Konstitusionalitas Yang Diberikan UUD
10. Akhirnya, sampailah saya pada bagian-bagian akhir
keterangan ini. Pada bagian ini, saya akan sampaikan pendapat terkait hak dan
kerugian konstitusionalitas akibat berlakunya UU a quo. Pertanyaan fundamentalnya adalah: Apa hak
konstitusionalitas yang dimiliki warga negara dan kerugian konstitusionalitas
sehubungan dengan UU a quo? Baiklah.
Saya mulai dengan menjelaskan hak konstitusionalitas terlebih dahulu.
Negara Republik Indonesia adalah negara yang dalam
konstitusinya memberikan perhatian yang serius terhadap sistem perekonomiannya
termasuk menentukan bentuk usaha perekonomian yang berasaskan kekeluargaan.
Sehingga, dalam hubungan ini, cabang-cabang produksi penting termasuk air dan
kekayaan yang terkandung di dalam bumi pertiwi dikuasai negara dan dimanfaatkan
untuk kemakmuran rakyat. Ini termaktub jelas dalam Pasal 33 UUD. Bahkan, pada
perubahan UUD tahun 2002, komitmen konstitusionalitas dipertegas dan diperluas
lagi dengan menyebut bahwa:
“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional.”, sebagaimana dapat dibaca pada Ayat (4) dalam Pasal
33 UUD itu.
Dengan demikian, UUD mewajibkan
pemerintah untuk menjamin terciptanya sistem perekenomian sebagaimana disebut
di dalam Pasal 33 Ayat( 4) UUD itu. Melalui Pasal 33 (Ayat (4) ini pula, warga
negara Republik Indonesia secara konstitusional berhak untuk mendapatkan
kesejahteraan dan kemakmuran atau setidak-tidaknya berhak melakukan berbagai aktivitas
perekonomian untuk memperoleh kesejahteraan dan kemakmuran dalam suatu sistem
perekonomian yang harus pemerintah ciptakan sesuai dengan kehendak Pasal 33
itu.
Jika pemerintah belum mampu
mewujudkan sistem perekonomian ke arah sana, setidak-tidaknya pemerintah tidak
membuat -baik secara keseluruhan atau sebagian- atau setidak-tidaknya
pemerintah tidak memfasilitasi suatu sistem perekonomian atau praktik usaha,
industri, perdagangan, investasi atau aktivitas perekonomian lain yang justru
bertentangan dengan sistem yang diperintahkan untuk dibentuk oleh UUD itu.
Kerugian Konstitusionalitas
11.
Tidak
mudah untuk menentukan apakah sistem perdagangan bebas merugikan atau
menguntungkan negara-negara yang terlibat. Banyak pro-kontra seputar ini.
Walaupun demikian, secara spesifik masih bisa ditentukan apakah suatu jenis
perjanjian kemitraan tertentu merugikan atau menguntungkan negara peserta dalam
suatu kurun waktu tertentu seperti perjanjian-perjanjian yang saya sebut di
atas. Dalam konteks Indonesia dan IJEPA serta perjanjian dalam kerangka pasar
bebas ASEAN dengan China, sebagaimana yang sudah saya kutipkan di atas,
perjanjian-perjanjian itu merugikan perekonomian nasional secara umum. Jika
dikaitkan dengan industri otomotif Indonesia misalnya, industri ini dapat
terancam kemandiriannya, keberlangsungannya, atau setidaknya akan terganggu
akibat adanya ketentuan penurunan bea masuk mobil dari Jepang sebagai
konsekuensi perjanjian IJEPA itu. Serta, jika dikaitkan dengan petani Indonesia
jelas petani kita merugi karena kalah bersaing dengan produk pertanian China
akibat serangkaian perjanjian pasar bebas ASEAN-China. Lalu, pertanyaan kuncinya adalah apa hubungan antara hak yang diberikan
konstitusi dalam Pasal 33 (Ayat 4) dan kerugian yang timbul dari perjanjian
internasional seperti IJEPA dan perjanjian pasar bebas ASEAN-China dengan UU a quo yang dimohonkan untuk diuji materi?
Bukankah kerugian itu berasal dari IJEPA dan perjanjian pasar bebas ASEAN-China
bukan dari UU a quo? Lalu, mengapa
yang diuji adalah UU a quo?
Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, izinkan saya
untuk kembali mengingat suatu permohonan yang diajukan oleh pemohon -yang
diantaranya saya pikir adalah juga pemohon pada hari ini- dan putusan Mahkamah
Konsitusi terhadapnya. Pemohon mengajukan uji materi terhadap perjanjian
internasional yang bernama Piagam ASEAN karena perjanjian internasional yang disahkan
melalui UU Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Pengesahan Asean Charter itu, memuat
Piagam ASEAN dalam lampirannya. Mengingat bahwa lampiran UU adalah bagian yang
tidak dapat dipisahkan dengan UU, maka mereka memohon pengujiannya ke MK. Jika
menggunakan logika ini dan jika IJEPA disahkan dengan UU misalnya maka yang
diuji adalah IJEPA-nya karena IJEPA itu menjadi lampiran dari produk hukum yang
mengesahkannya. Walau permohonan itu ditolak, namun MK sependapat dengan logika
pemohon bahwa MK berwenang melakukan uji materi perjanjian internasional Piagam
ASEAN karena Piagam itu merupakan lampiran dari UU No. 38 Tahun 2008 itu.[9]
Saya mohon izin untuk tidak sependapat dengan putusan MK itu karena menurut
saya dan sebagian sudah saya jelaskan sebelumnya, bahwa tindakan pengesahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat (2) UU a quo adalah tindakan hukum nasional, sehingga yang patut diuji
oleh MK adalah tindakan hukum nasional itu. Sementara subtansi perjanjian
internasional dan ketentuan keterikatan atau ketidakterikatan kepadanya adalah wilayah
hukum internasional, sehingga hukum internasional pulalah yang harus
digunakan. Jadi, yang semestinya
dilakukan MK dalam konteks uji materi tersebut adalah menyatakan persetujuan
yang dibuat dalam bentuk UU No. 38 Tahun 2008 bertentangan atau tidak
bertentangan dengan UUD. Dan jika MK menyatakan bertentangan, putusan MK itu
harus menjadi dasar bagi pemerintah untuk mundur dari perjanjian dimaksud dan dilakukan
menurut syarat-syarat yang diatur dalam hukum internasional. Dengan dasar
argumen ini pulalah saya hendak menjawab pertanyaan hubungan antara hak yang
diberikan UUD dan kerugian konstitusionalitas yang ditimbulkan oleh suatu
perjanjian yang disahkan dengan Perpres seperti IJEPA dengan uji materi UU a quo. Bahwa tidak mungkin untuk
mengajukan permohonan uji materi perjanjian internasional walau perjanjian
internasional itu merupakan lampiran dari suatu UU yang mengesahkannya karena permohonan
itu bukan wilayah hukum dan bukan wilayah peradilan nasional melainkan wilayah
hukum internasional. Yang mungkin dilakukan adalah membatalkan atau menguji
materi perundang-undangan yang mengesahkannya. Jika bentuk pengesahannya adalah
UU maka bisa diuji ke MK atau jika Perpres, bisa diuji ke peradilan lain.
Kemudian, terhadap pertanyaan bukankah yang merugikan itu adalah perjanjian
internasionalnya tetapi mengapa yang diuji adalah UU a quo?
Semua perjanjian internasional sejak berlakunya UU a quo tahun 2000 dilakukan menurut UU
ini. Walau memang, sejak berlakunya UU Perdagangan No. 7 Tahun 2014 sebagian
pengesahan perjanjian internasional dilakukan menurut UU ini. Artinya, UU a quo lah –dalam hal ini ketentuan
tentang pengesahan yakni Pasal 9 Ayat (2) Pasal 10 dan Pasal 11 Ayat (1)- yang
menentukan berlakunya perjanjian-perjanjian internasional yang merugikan hak
konstitusional itu. Ini dilakukan dengan memberikan kekuasaan pada pemerintah
untuk menyatakan keterikatan Indonesia kepada perjanjian seperti perjanjian IJEPA
dan perjanjian ASEAN China tanpa harus mendapat persetujuan DPR. Mungkin
sebagian pihak akan bertanya, bukanlah kerugian itu bersifat tidak langsung? Dan bukankah -walau pengikatannya disetujui
DPR- kerugian atau potensi kerugian bisa saja terjadi?
Benar, kerugian yang ditimbulkan tidak langsung
diciptakan oleh UU a quo tetapi oleh
perjanjian internasional. Namun, bukankah satu-satunya cara membuat perjanjian
internasional itu mengikat Indonesia karena Indonesia yang menginginkannya dan
keingainan itu hanya dapat terwujud jika telah memenuhi ketentuan UU a quo?
Jika sifat kerugiannya harus bersumber langsung dari UU a quo, bayangkan bagaimana warga negara
yang hak konstitusionalitasnya dirugikan atau berpotensi dirugikan menghentikan
pemerintah untuk tidak mengikatkan diri kepada perjanjian internasional yang
demikian?
Terhadap pertanyaan: Bukankah kerugian atau potensi
kerugian bisa saja terjadi walau pengikatannya disetujui DPR? Memang benar,
tidak ada jaminan jika suatu perjanjian internasional yang telah dibuat
pemerintah lalu disetujui DPR pasti tidak akan merugikan Indonesia. Namun, jika
UU a quo membuat kriteria yang
sejalan dengan UUD warga negara pemilik hak lewat wakil-wakilnya di DPR
-melalui proses yang ada di DPR yang perlu dibuat partisipatif dan transparan- punya
kesempatan untuk menghentikan langkah pemerintah mengikatkan diri kepada
perjanjian internasional yang berpotensi merugikan hak-hak konstitusionalitas
warga negara dimaksud. Karena pemilik hak tidak mungkin menggugat atau memohon pembatalan
suatu perjanjian internasional kepada hukum nasional melalui peradilan
nasional, maka tidak ada jalan lain bagi rakyat kecuali mengharapkan DPR dapat
menghentikan usaha pemerintah untuk mengikatkan diri kepada perjanjian
internasional dengan meminta DPR untuk tidak menyetujuinya. UU a quo yang sekarang diuji materi menghilangkan
harapan itu.
Oleh karena itu, jika majelis yang mulia biasanya
memutuskan diterima atau tidaknya uji materil suatu UU karena ada kerugian
langsung dari UU yang diujimaterilkan, izinkan saya mengundang majelis untuk
sungguh-sungguh mempertimbangkan uji materi UU a qou yang sangat khas ini
dengan melihat kerugian yang tidak langsung yang diciptakannya. Khas karena
pada hakekatnya UU a quo hanya mengatur
kewenangan Presiden (pemerintah) dan DPR serta tidak secara langsung mengatur hak
dan kewajiban warga negara. Sehingga, dampak kerugiannya juga tidak langsung
dirasakan oleh warga negara pemilik hak konstitusional. Namun, walau tidak
langsung, kerugian yang dihasilkannya nyata.
Majelis yang mulia, wakil pemerintah, wakil DPR dan para wakil
pemohon, Demikianlah paparan ini. Terimakasih atas kesempatan yangdiberikan.
Wassalam
Irfan R Hutagalung
[1] Persoalan ini pernah diintrodusir oleh Prof Muchtar
Kusumaatmadja dalam bukunya: PENGANTAR HUKUM INTERNASIONAL, (1976) hal. 94 Saya
berterimakasih kepada Dr. iur. Damos Dumoli Agusman yang telah mengulas isu ini kembali dalam suatu
diskusi menanggapi penelitian saya tentang UU Perjanjian Internasional.
[2]Surat
Presiden Soekarno Kepada DPRGR Nomor: 2826/HK/60
[3] David Adam Stott, “The
Japan-Indonesia Economic Partnership: Agreement Between Equal?” https://apjjf.org/-David-Adam-Stott/2818/article.pdf