Amien Rais hendak mengadukan Wiranto ke
Mahkamah Internasional (MI) karena Wiranto dianggapnya menyalahgunakan
kekuasaan. Setelahnya, Priyo Budi Santoso juga mengatakan, lewat tweet-nya, tidak hanya akan membawa
kasus Pilpres 2019 ke Mahkamah Konstitusi tapi juga pantas untuk dibawa ke MI.
Terakhir, dalam suatu konferensi pers,
relawan MER-C Joserizal Jurnalis
mengatakan bahwa perlakuan aparat kepada pihak petugas medis Dompet Dhuafa (DD)
bertentangan dengan Konvensi Jenewa.
Q: Hukum
Internasional dan Perjanjian Internasional disebut dalam rangkaian peristiwa pasca Pilpres 2019. Apakah itu tepat?
A: Sayang sekali tidak. Mari kita mulai
dari soal MI atau International Court of Justice (ICJ). MI hanya memiliki
yurisdiksi (kewenangan hukum) untuk mengadili sengketa antarnegara dimana
masing-masing negara yang bersengketa terlebih dahulu bersepakat bahwa sengketa
mereka akan dibawa ke MI atau negara bersedia digugat di MI
Q: Hanya
sengketa antarnegara saja? Bukan sengketa antara negara dengan warga negaranya?
A: Betul. Hanya sengketa antarnegara saja.
Ini diatur di dalam Pasal 34 (1) Statuta ICJ yang berbunyi: Only States may be parties in cases before
the Court.
Q: Ok.
Lalu, bahwa negara-negara yang berkonflik harus terlebih dahulu sepakat membawa
kasus mereka ke MI atau bahwa negara harus terlebih dahulu bersedia digugat di
MI maksudnya bagaimana?
A: Indonesia dan Malaysia pernah berkonflik
soal kedaulatan atas pulau Sipadan dan Ligitan. Lalu, keduanya kemudian membuat
persetujuan untuk menyelesaikan kasus itu ke MI. Indonesia dan Malaysia
menuangkan kesepakatan itu ke dalam suatu perjanjian internasional. Namanya: “Special Agreement for Submission to the
International Court of Justice of the Dispute between the Republic of Indonesia
and Malaysia concerning Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan” yang
ditandatangani keduanya di Kuala Lumpur tanggal 31 Mei 1997.
Q: Jadi,
jika salah satu pihak, baik Indonesia atau Malaysia tidak setuju untuk membawa
kasus dimaksud ke MI, maka kasus itu tidak pernah disidangkan di MI?
A: Tepat sekali.
Q: Apakah
kesepakatan para pihak yang bersengketa itu harus dibuat terlebih dahulu
sebelum mereka dapat berpekara di depan Mahkamah?
A: Tidak. Kesepakatan para pihak tidak
harus dituangkan dalam suatu perjanjian yang khusus dibuat untuk itu, tapi bisa
dalam bentuk lain yang menunjukkan bahwa para pihak sepakat perkara mereka
disidangkan di MI sebagaimana disebut di dalam Pasal 36 (1) Statuta ICJ
Q: Maksudnya?
A: Misalkan dua negara punya perjanjian
bilateral tentang perdamaian (treaty of
amity). Dalam perjanjian itu, diatur tentang penyelesaian sengketa yang
mungkin timbul akibat interpretasi atau
implementasi dari perjanjian itu. Jika dikemudian hari timbul sengketa di antara
mereka dan tidak dapat diselesaikan dengan cara diplomasi, pihak yang merasa
dirugikan dapat membawa kasus itu ke MI. Hal yang sama juga berlaku dalam suatu
perjanjian multilateral seperti Vienna Convention on the Law of Treaty, Rome
Statute dan banyak treaty lainnya. Melalui perjanjian-perjanjian internasional itu negara-negara sepakat bahwa
masing-masing mereka dapat digugat di MI hanya terhadap materi terkait
perjanjian yang sudah disepakati. Itu pun jika negara terkait tidak melakukan
reservasi (menyatakan tidak mau terikat) terhadap ketentuan penyelesaian
sengketa dimaksud.
Dua negara atau lebih bisa juga membuat
perjanjian internasional yang isinya memuat jika ada perselisihan di antara
mereka terkait hal-hal tertentu dapat dibawa ke MI. Jadi, jika misalnya antara
Indonesia dan Malaysia ada perjanjian internasional yang demikian dan kasus
Sipadan/Ligitan masuk dalam perselisihan yang dapat dibawa ke MI, maka tanpa
perlu membuat perjanjian khusus, Indonesia atau Malaysia dapat saling menggugat
di MI.
Q: Adakah
cara lain?
A: Ada. Selain yang disebut di atas, persetujuan
atau kesediaan untuk digugat di MI dapat juga dideklarasikan. Suatu negara
dapat mendeklarasikan kesediaannya untuk digugat oleh negara lain di MI asalkan
negara yang menggugatnya telah juga melakukan deklarasi yang sama bahwa negara
tersebut bersedia digugat oleh negara lain di MI. Ketentuan ini diatur di dalam
Pasal 36 (2) Statuta ICJ. Jadi, misalnya jika Indonesia dan Malaysia sama-sama
pernah membuat deklarasi yang demikian, maka keduanya bisa saling menggugat di
MI tanpa perlu perjanjian khusus.
Q: Jadi,
suatu negara hanya dapat diseret atau digugat ke MI jika: Pertama ada suatu
kesepakatan khusus yang dibuat oleh para pihak untuk membawa kasusnya ke MI. Kedua,
jika ditentukan dalam suatu perjanjian internasional dimana negara penggugat
atau tergugat terikat kepada suatu perjanjian internasional dimana para pihak
sama-sama menerima ketentuan bahwa penyelesaian sengketa yang timbul terkait
interpretasi dan implementasi perjanjian tadi dilakukan melalui MI. Ketiga,
jika dua negara atau lebih membuat perjanjian internasional yang isinya jika
timbul perselisihan di antara mereka maka akan dibawa ke MI. Dan keempat, jika
negara penggugat atau tergugat sama-sama mendeklarasikan kesediaannya untuk
digugat ke MI?
A: Tepat sekali.
Q: Baik.
Sekarang bagaimana dengan dugaan pelanggaran Konvensi Jenewa?
A: Dalam hukum, baik hukum nasional maupun
hukum internasional, penting sekali untuk tahu kapan suatu aturan applicable. Empat Konvensi Jenewa 1949
hanya berlaku (applicable) pada waktu
perang atau konflik bersenjata (armed
conflict) tidak berlaku pada masa damai.
Q: Maksudnya
waktu perang atau konflik bersenjata itu bagaimana?Bukankah kerusuhan kemarin
itu merupakan konflik bersenjata?
A: Perang atau konflik bersenjata yang
dimaksud Konvensi Jenewa ada dua yakni: Pertama, perselisihan dua negara atau
lebih yang melibatkan senjata disebut juga konflik bersenjata internasional (international armed conflict). Kedua, konflik
bersenjata yang tidak berkarakter internasional atau disebut juga non-international armed conflict. Jelas,
kerusuhan yang lalu bukan perang atau konflik bersenjata kategori pertama.
Q: Lalu,
apakah masuk dalam kategori kedua?
A: Juga tidak. Karena untuk dapat disebut
perang atau konflik bersenjata non-internasional selain konflik harus berlangsung
di wilayah suatu negara, juga konflik harus terjadi antara tentara negara
dengan kelompok pemberontak bersenjata atau kelompok bersenjata terorganisir
lain yang ditandai dengan adanya sistem komando, kemampuan menguasai sebagian
wilayah di negara itu sehingga mereka mampu melakukan perang yang berlangsung
lama (sustain), juga termasuk kemampuan
menjalankan ketentuan hukum humaniter. Ini diatur di dalam Pasal 1 Protokol
Tambahan II Konvensi Jenewa (Additional Protocol II to Geneva Conventions)
1977.
Jadi, konflik kemaren itu tidak termasuk
perang atau konflik bersenjata non –internasional apalagi konflik bersenjata
internasional karena tidak memenuhi kriteria untuk disebut demikian. Yang berlangsung 21-22 Mei kemaren hanyalah
kerusuhan (riot) belaka.