Koran Tempo, Sabtu, 17 Mei 2008
Ahmadiyah dan Beleid Problematis
Dua menteri dan Jaksa Agung direpotkan oleh para penentang Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Terutama setelah Badan Koordinasi Pengawas KepercayaanMasyarakat (Bakorpakem) memaklumatkan sangkaan: JAI telah menyimpang dari ajaran pokok Islam dan diminta agar dilarang. Lalu, Menteri Agama, MenteriDalam Negeri, dan Jaksa Agung direncanakan menerbitkan surat keputusan bersama (SKB) tentang kegiatan dan mungkin nasib JAI. Namun, SKB tak jua kunjung dirilis dari rencana yang sudah ditentukan. Kelihatan pemerintah jadi kesulitan sendiri.
Sesungguhnya pemerintahlah yang mempersulit dirinya sendiri. Pemerintah mau direpotkan oleh penentang JAI, dan sudi memelihara undang-undang yang mengandung problem yuridis akut. Seperti yang diberitakan, Bakorpakem menghadapkan JAI pada ancaman runyam: melanggar Penetapan Presiden Nomor 1Tahun 1965, yang kemudian dijadikan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 TentangPencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Aturan yang dilanggar ituada pada Pasal 1, yang pada pokoknya melarang melakukan penafsiran dan kegiatan keagamaan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. Lalu, badan ini merekomendasikan agar pemerintah menjalankan perintah Pasal 2 ayat1 dan 2 undang-undang dimaksud: beri peringatan keras lewat SKB; jikamembangkang, bubarkan.
Telah disebutkan, UU Nomor 1/PNPS/1965 berpangkal dari penetapan presiden (penpres). Penpres bukanlah bentuk perundang-undangan yang diakui UUD 1945, melainkan suatu bentuk hukum "jadi-jadian" yang pembentukannya diklaim Soekarno menjadi wewenangnya. Lewat Surat Presiden Nomor 2262/Hk/59, 20Agustus 1959, kepada DPR, disusul dengan Surat Nomor 3639/Hk59, 26 November1959, Soekarno mendalilkan klaimnya itu sebagai buah dari kewenangan luar biasa yang ia tuai berkat Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Karena menyimpangdari UUD, oleh Orde Baru, lewat UU Nomor 5 Tahun 1969, bentuk hukum penpres ini dihapuskan.
Namun, mengingat antara lain materi muatannya, beberapa penpres dijadikan undang-undang penuh. Sebagian lainnya, seperti Penpres No. 1/1965 ini,termasuk juga Penpres No. 11/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi yang termasyhur itu, dinyatakan sebagai undang-undang namun bersyarat. Masing-masing menjadi UU No. 1/PNPS/1965 dan UU No. 11/PNPS/1963. Penggalan Penjelasan Umum UU No. 5/1969 menyebutkan, "Harus diadakan perbaikan/penyempurnaan dalam arti bahwa materi daripada penetapan-penetapan presiden dan peraturan-peraturan presiden tersebut ditampung atau dijadikan bahan bagi penyusunan undang-undang yang baru."
Alih-alih undang-undang ini dipermak, belakangan Orde Baru--termasuk Orde Reformasi--malah acap mencema orang dengan UU No.1/PNPS/1965 ini. Terutama lewat Pasal 4 tentang penodaan agama, yang disisipkan ke dalam KUHP menjadi Pasal 156a (di Koran Tempo saya sebut Pasal 156b seharusnya Pasal 156a). Berbeda dengan UU Pemberantasan Kegiatan Subversi, yang akhirnya dikubur dengan UU No. 26/1999, sampai sepuluh tahun Orde Baru khatam, undang-undang ini tetap lestari, tak berubah. Malah sekarang dipersiapkan menunggu korban baru.
Sementara itu, terlepas apakah substansinya tepat atau tidak, Penjelasan UU No. 1/PNPS/1965 menunjukkan bahwa ia dibentuk pada pokoknya untuk mengatasi banyaknya kelompok aliran kebatinan/kepercayaan yang dinilai melanggar hukum dan memecah kesatuan nasional masa itu. JAI disebutkan sudah ada sejak zaman revolusi. Mereka kasat mata bagi hamba hukum zaman Soekarno dan Soeharto. Jika JAI masuk gerombolan ini, tentu sudah dari dulu undang-undang ini menumpas mereka. Jadi, tuduhan itu tidak hanya kasep, tapi juga salah sasaran.
Di sisi lain, sebagai manifestasi dari besarnya kekuasaan Presiden Soekarno dan pengaruh suasana pembentukannya, UU No. 1/PNPS/1965 sengaja memberi pemerintah--termasuk dalam konteks sekarang Bakorpakem--kekuasaan yang eksesif bermuatan kekuasaan yudisial. Menentukan pengertian kegiatan agama yang menyimpang; memvonis ada-tidaknya penyimpangan; dan mengeksekusinya sekaligus. Bakorpakem mungkin saja dipenuhi para agamawan yang mumpuni, berilmu tinggi, serta dilimpahi makrifat paripurna. Lalu mereka menyimpulkan praktek keagamaan JAI menyimpang dan meminta agar hal itu ditindak.
Namun, dasar hukum sangkaannya tidak bersumber dari suatu undang-undang yangberlaku di negara ini. Belum pernah ada undang-undang yang menafsirkan, memerinci ajaran-ajaran pokok Islam, dan mendeskripsi praktek-praktek keagamaan menyimpang. Dan sudah barang tentu pendapat mereka ini bukanlah undang-undang yang harus ditegakkan lewat SKB itu.
Kalaupun "pelanggar" diproses di peradilan atas tuduhan dimaksud, pada undang-undang apa penyidik dan penuntut umum mendalilkan sangkaannya? Dan pada undang-undang yang mana pula hakim menyandarkan postulat yuridisnya dalam mengadili cemaan dan tuntutan tersebut? Sebab, seperti disebutkan, tidak ada undang-undang yang bisa dirujuk untuk membuat penyidik, penuntut, dan hakim dapat menentukan apakah terdakwa telah melakukan praktek agama menyimpang.
Dengan demikian, pemerintah tak perlu menerbitkan SKB baru, tapi undang-undang baru untuk merevisi--jika tidak mencabut--undang-undang problematis ini.
No comments:
Post a Comment