Oleh: Irfan R. Hutagalung
Eksekusi Ruyati oleh Arab Saudi dan tidak memberitahukannya kepada perwakilan Indonesia di sana membuat marah semua orang di sini. Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) memanggil duta besar negara kerajaan itu dan melayangkan protes. Presiden disebutkan telah pula berkirim surat kepada Raja Abdullah bin Abdul Aziz untuk menyatakan maksud yang sama. Sebelumnya, tidak mau ketinggalan, DPR meminta moratorium pengiriman TKI dilakukan sekarang. Bahkan, salah seorang wakil ketuanya meminta agar negara kaya minyak itu dibawa ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice, ICJ) di Belanda. Mungkinkah?
Adalah pejabat di Kemenlu yang mengatakan eksekusi mati Ruyati yang tidak memberitahukan ke perwakilan Indonesia di sana sebagai bentuk pelanggaran Konvensi Wina. Konvensi Wina yang dimaksud adalah Vienna Convention on Consular Relations tahun 1963. Memang dalam Pasal 36 konvensi ini diatur hak konsuler. Ini hak bagi pejabat perwakilan suatu negara untuk berkomunikasi dan mendapat pemberitahuan bahwa warga negara dari negara yang diwakilinya sedang menghadapi persoalan pidana di negara itu. Mungkin, atas dasar inipulalah membawa Arab Saudi ke Mahkamah Internasional dinilai beralasan.
Adalah Meksiko, usai libur tahun baru 2003, mendaftarkan gugatannya melawan Amerika Serikat ke Mahkamah ini di Den Haag, Negeri Belanda. Meksiko menuduh AS telah melanggar Pasal 36 konvensi ini karena AS tidak memberitahukan pejabat perwakilan Meksiko di AS atas penangkapan, penahanan, dan penjatuhan pidana terhadap 54 warga negaranya oleh otoritas AS sebagaimana diminta pasal itu. Maret 2004, majelis hakim ICJ setuju dengan Meksiko: memvonis AS bersalah. [Avena and other Mexican Nationals (Mexico v. United States of America), Judgement, I.C.J. Reports 2004]
Taruhlah, untuk kasus Ruyati ini, Saudi melakukan pelanggaran pasal yang sama seperti AS lakukan terhadap warga negara Meksiko. Adakah preseden ini dapat dipakai Indonesia untuk melawan Saudi? Dan mungkinkah Indonesia menang seperti Meksiko?
Indonesia dan Kerajaan Saudi itu memang sama-sama mengikatkan diri pada konvensi yang sudah diratifikasi atau diaksesi (accession) oleh tidak kurang dari 173 negara peserta. Karena Saudi terikat untuk melaksanakan hak konsular itu, dalam kasus Ruyati ini, sangkaan pejabat Indonesia bahwa kerajaan itu telah melanggar Konvensi Wina mungkin ada benarnya. Namun, dugaan pelanggaran traktat itu oleh suatu suatu negara peserta terhadap negara peserta lain tidak serta merta dapat dibawa ke ICJ. Meksiko dapat menyeret AS ke Den Haag, karena sebelumnya kedua negara mengikatkan diri pada Optional Protocol to the Vienna Convention on Consular Relations concerning Compulsory Settlement of Disputes. Ini merupakan konvensi tambahan bagi Konvensi Wina itu yang mengatur jika terjadi perselisihan antarnegara peserta tentang pelaksanaan atau interpretasi atas traktat itu, akan diselesaikan di ICJ.
Nah, Indonesia dan Saudi sama-sama ogah mengikatkan diri pada konvensi tambahan ini. Artinya, kedua negara itu tidak mau perselisihan dugaan pelanggaran atau sengketa interpretasi pelaksanaan traktak itu baik yang dilakukannya maupun yang dilakukan negara peserta konvensi lain terhadap negaranya diselesaikan di ICJ.
Pun, keduanya tidak pula membuat pernyataan mengakui compulsory jurisdiction dari ICJ sebagaimana diatur dalam Pasal 36 Statuta Mahkamah itu. Compulsory Jurisdiction ini adalah kewenangan ICJ untuk memeriksa antara lain perselisihan seputar pelaksanaan dan interpretasi suatu konvensi internasional jika negara-negara yang bersengketa sama-sama menyatakan mengakui kewenangan ICJ untuk perkara dalam lingkup kewenangannya termasuk sengketa interpretasi dan pelaksanaan Konvensi Wina dimaksud.
Oleh karena itu, sangkaan pelanggaran konvensi itu tidak akan pernah diperiksa di Mahkamah Internasional, Peace Palace, Carnegieplein 2, 2517 KJ, The Hague, The Netherlands.