Palestina
menapak babak baru dalam perjuangannya menjadi negara yang berdaulat penuh. Majelis
Umum PBB menerima peningkatkan status Peninjau (Observer) menjadi Negara Peninjau Bukan Anggota (Non-Member Observer State) di PBB dengan
Resolusi A/RES/67/19, November 2012.
Apa
arti peningkatan status ini? Dalam hukum internasional, pengakuan suatu entitas
untuk dapat dikategorikan sebagai subjek hukum internasional utama adalah
semacam lisensi untuk mengemban hak dan kewajiban dalam masyarakat
internasional secara penuh. Hanya negara berdaulatlah yang dapat berstatus subjek
hukum demikian. Perjuangan menuntut kemerdekaan bangsa Palestina, adalah juga perjuangan
guna mendapatkan status subjek hukum internasional utama itu.
Di
forum PBB, Palestina mulai meraih status subjek hukum terbatas ketika dianugerahinya
PLO status Peninjau dan diakui sebagai satu-satunya perwakilan rakyat Palestina
melalui Resolusi Majelis Umum 3237 (XXIX) November 1974.
November
1988, Dewan Nasional Palestina, legislatifnya PLO, memproklamirkan negara
Palestina. Namun, status sebagai subjek hukum internasional utama tidak serta
merta diraih. Dalam hukum internasional, legalitas suatu negara lajim diuji
dengan empat kriteria faktual dirumuskan oleh Konvensi Montevideo 1933:
berwilayah tertentu; berpenduduk permanen; berpemerintahan; dan berkemampuan
untuk menjalin hubungan internasional. Satu kriteria tidak terpenuhi. Teritori
yang diakui sebagai wilayahnya masih diduduki Israel. Pemerintahanpun
dilangsungkan di pengasingan. Namun, ini tidak menghambat negara-negara secara
bilateral mengakui Palestina sebagai negara dan berhubungan dengannya. Walau
pengakuan bilateral ini penting, itu tidak membuat Palestina setara statusnya dengan
negara pada umumnya.
Perkembangan
berikutnya muncul lewat Perjanjian Oslo I dan II 1993. Walau tidak membicarakan
status negara Palestina, lewat Perjanjian ini lahirlah Palestinian National
Authority (Otoritas Palestina) suatu pemerintahan administratif atas sebagian
wilayah Palestina. Israel pun hengkang dari Gaza dan Jericho. Pemerintahan
Palestina dilangsungkan dari wilayahnya sendiri dan sampai taraf tertentu
memiliki kontrol terhadap penduduk dan teritori walau masih tetap berstatus
wilayah pendudukan. Tetapi, status Palestina di PBB belum berubah. Setahun lalu,
upaya mendapatkan pengakuan sebagai negara anggota penuh kandas. Ini karena Amerika
Serikat yang duduk di Dewan Keamanan PBB, pemilik otoritas untuk menerima atau
menolak pengakuan dimaksud, berjanji akan menentangnya.
Sampai
kemudian lahirlah status Negara Peninjau Bukan Anggota itu. Sesungguhnya sebutan itu tidak banyak mengubah
peran Palestina dari status sebelumnya di PBB: Palestina tetap tidak punya hak
suara dan mencalonkan kandidat untuk jabatan di sana. Namun -walau harus
dibuktikan kelak- pengakuan ini adalah jalan baru bagi Palestina untuk
mewujudkan statusnya sebagai subjek hukum internasional penuh. Jalan itu mulai terlihat.
Sehari
setelah Palestina dianugerahi gelar itu,
Associated Press melaporkan Kantor Jaksa Penuntut (The Office of the
Prosecutor) Mahkamah Kejahatan International (International Criminal Court,
ICC) mengeluarkan statemen bahwa Jaksa Penuntut akan mempertimbangkan implikasi
hukum dari resolusi itu.
Memang, di Januari 2009, dengan mengacu pada Pasal
12 (2) juncto Pasal 13 (a) Statuta
ICC (Statuta Roma), Menteri Kehakiman Otoritas Palestina meminta Jaksa Penuntut
menyelidiki dugaan terjadinya kejahatan internasional dalam yurisdiksi ICC yang
terjadi wilayah Palestina sejak 1 Juli 2002. Dalam pasal dimaksud dimungkinkan
suatu negara -walau bukan negera pihak (state
party) Statuta ICC- menerima yurisdiksi ICC untuk memeriksa dan mengadili
dugaan kejahatan genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan,
dan kejahatan aggresi yang terjadi di wilayahnya dalam suatu waktu tertentu.
Jaksa menjawab, ia tidak bisa menyelidiki dugaan
kejahatan dimaksud karena -sebagaimana disyaratkan oleh pasal itu- yang meminta
haruslah negara dan Palestina bukanlah negara.
Dengan gelar baru ini, walau tidak ada jaminan
diterima, Palestina memiliki justifikasi baru untuk menjadi anggota negara
pihak ICC. Atau, Palestina bisa juga memperbarui permintaannya kepada Jaksa ICC
sebagaimana dilakukannya dulu tanpa menjadi negara pihak.
Jika ini berhasil, Jaksa Penuntut dapat mulai menyelidiki
dugaan kejahatan yang dilakukan warga negara Israel dalam lingkup yurisdiksi
ICC terutama kejahatan perang lewat berbagai aksi militernya di Palestina. Ini dikhawatirkan
oleh Israel dan sekutu Baratnya. Menteri Luar Negeri Inggris, William Hague,
seperti dilaporkan BBC secara khusus meminta jaminan dari Mahmoud Abbas untuk
tidak membuat aksi ke ICC setelah berstatus baru kelak. Ganjarannya Inggris
akan memberikan suara ‘Ya’ bagi gelar baru Palestina di PBB, namun Abbas
menolak dan Inggris akhirnya abstain.
Tentu, predikat baru itu bukan dimaksudkan semata-mata
untuk menyeret petinggi Israel ke ICC. Tetapi ini perlu digunakan dan diuji
manfaatnya guna terciptanya negara Palestina berdaulat. Jika Palestina
memajukan kembali permintaannya ke ICC atau diijinkan meratifikasi statuta ICC,
secara de-jure dan de facto ICC menganggap Palestina
adalah negara yang setara dengan negara pihak pada umumnya. Situasi ini tentu
tidak menguntungkan Israel.
Palestina tidak punya banyak pilihan kecuali menekan Israel dengan sumber daya terbatas yang ia punya untuk menghidupkan kembali perjanjian damai yang mandek sejak dua tahun lalu. Dengan predikat baru, ICC bisa digunakan.