Tuesday, December 4, 2012

Menjadi Tawanan atau Menawan Undang-undang?



(Tanggapan terhadap Suteki)
Tulisan Suteki, Guru Besar Hukum dan Masyarakat dari Universitas Diponegoro, “Menjadi Tawanan Undang-undang” di Kompas, 19 Oktober 2012 perlu ditanggapi. Tulisannya itu terkait dengan pandangan Menteri Dalam Negeri bahwa seseorang bekas narapidana dimungkinkan untuk menjabat kembali di pemerintahan karena tidak ada undang-undang yang melarang.  Suteki mempertanyakan pandangan hukum demikian.  Walau tidak dilarang dalam undang-undang atau peraturan lain, “apakah patut, pantas, dan tak memalukan”  seorang bekas narapidana kembali menjabat, begitu dia menggugat. Dengan beretorika Suteki menyampaikan bahwa “[s]ebagai bangsa Timur, rakyat Indonesia sangat mengedepankan “rasa”, termasuk rasa malu (shaming sense) selain logika-penalaran.” Lalu, mengapa dalam berhukum menurutnya, “kita hanya mengagungkan aspek undang-undang yang notabene hanya merupakan bangkainya hukum…”  

Lebih jauh lagi, penilaiannya terhadap pandangan Menteri di atas mencerminkan ketertawanan oleh undang-undang. Menurutnya, yang diperlukan adalah memahami hukum tidak semata-mata undang-undang “melainkan juga living law, kearifan lokal seperti rasa malu… dan sebagainya.” Karena di sinilah, sekali lagi menurut hematnya, “ditemukan aspek moralitas yang dulu membalut hukum perundang-undangan.”  Dia lalu menghubungkan pandangan Menteri itu dengan pemahaman rule of law, perlunya terobosan hukum, dan seterusnya.   

Sayangnya, analisis Suteki ini bisa jadi berlebihan dan salah sasaran. Ini karena tulisan itu berasumsi bahwa Menteri dimaksud memang dibelenggu undang-undang untuk mencegah mantan narapidana korupsi menjabat kembali di pemerintahan berhubung alpanya larangan di perundang-undangan.  Lalu, penulis mempertanyakan sikap itu dan menguraikan panjang lebar gugatannya sebagaimana dikutip di atas.  
Bagaimana jika sesungguhnya pembuat undang-undang dengan secara sengaja mengambil pilihan membolehkan  bekas narapidana koruptor menjabat kembali seusai menjalani hukuman? Bagaimana jika asumsi Suteki itu keliru dan terburu-buru percaya bahwa tidak ada undang-undang yang terlanggar dengan pemangkuan jabatan itu? Atau bagaimana jika UU dan peraturan lain sesungguhnya telah mencegah kemungkinan narapidana korupsi menjabat kembali, namun pelaksana undang-undang enggan menjalankannya?

Untuk kasus ini, pembuat UU memang tidak mengambil pilihan yang disinggung pertama.Walau itu dimungkinkan mengingat fungsi lembaga pemasyarakatan bertujuan untuk mengembalikan narapidana agar dapat berkiprah kembali di masyarakat seperti sedia kala. Namun, untuk kasus ini yang terjadi adalah situasi yang kedua dan terakhir.

Demikianlah memang adanya. Pasal 23 ayat (5) huruf c UU No 43/1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang mengubah UU No. 8 tahun 1974 mengatur bahwa: Pegawai Negeri Sipil (PNS) diberhentikan tidak dengan hormat karena dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan.

Azirwan, mantan narapidana yang dimaksudkan Menteri itu, adalah PNS. Dia divonis bersalah karena melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf A UU No. 20/2001 yang mengubah UU No. 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Pasal ini tentang kejahatan penyuapan kepada PNS yang asal mula rumusan deliknya diambil dari Bab Kejahatan Jabatan di KUHP. Azirwan, jika tidak dapat disebut melakukan kejahatan jabatan, jelas dia melakukan kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan, baik itu berhubungan dengan jabatannya atau berhubungan dengan jabatan orang yang dia suap.

Nah, seharusnya menurut UU Pokok-Pokok Kepawaian pada pasal tersebut di atas, Azirwan sudah harus diberhentikan dengan tidak hormat dari PNS. Bahkan dengan Peraturan Disiplin tentang PNS sendiripun -yang mengatur derajat ‘kejahatan’ yang lebih rendah dari kejahatan pidana- Azirwan patut telah diberhentikan dengan tidak hormat sebagaimana dituangkan dalam PP No. 53 tahun 2010. Ini karena PNS dimaksud sangat patut diduga telah melakukan pelanggaran disiplin berat yang ancaman hukumannya diberhentikan dengan tidak hormat seperti “menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan/atau orang lain dengan menggunakan kewenangan orang lain”. Ini disebut dalam Pasal 13 angka 2. Keadaan ini dikuatkan pula dengan adanya vonis pengadilan dimaksud. Jika UU dan Peraturan Disiplin itu dilaksanakan, tentu tidak mungkin dia bisa memegang jabatan kepala dinas seperti yang diberitakan.

Hal yang kurang lebih sama juga terjadi kisruh kasus simulator SIM KPK-Polri. UU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi sudah jelas mengatur soal siapa yang patut menangani kasus itu, namun pejabat terkait mengingkarinya. Jadi, isunya bukan tentang pejabat tertawan oleh undang-undang sebagaimana diargumentasikan oleh Suteki, melainkan pejabat yang menawan undang-undang sehingga tidak berjalan sebagaimana mestinya. Baru setelah didesak publik, seperti pada kasus Azirwan ini, Menteri kemudian menganulir pandangannya. Inilah realita sesungguhnya perang terhadap korupsi di sini: tidak satunya kebijakan pejabat -yang sebagian tercermin dalam undang-undang- dengan tindakan. Bahkan, sebagian malah ingin menghentikan perang ini, ironisnya justru dengan menggunakan undang-undang seperti pada kasus usulan revisi UU KPK itu.     

No comments: