(Tanggapan
terhadap Suteki)
Tulisan Suteki, Guru Besar Hukum dan Masyarakat dari
Universitas Diponegoro, “Menjadi Tawanan Undang-undang” di Kompas, 19 Oktober 2012 perlu ditanggapi. Tulisannya itu terkait
dengan pandangan Menteri Dalam Negeri bahwa seseorang bekas narapidana dimungkinkan
untuk menjabat kembali di pemerintahan karena tidak ada undang-undang yang
melarang. Suteki mempertanyakan pandangan
hukum demikian. Walau tidak dilarang
dalam undang-undang atau peraturan lain, “apakah patut, pantas, dan tak
memalukan” seorang bekas narapidana kembali
menjabat, begitu dia menggugat. Dengan beretorika Suteki menyampaikan bahwa
“[s]ebagai bangsa Timur, rakyat Indonesia sangat mengedepankan “rasa”, termasuk
rasa malu (shaming sense) selain
logika-penalaran.” Lalu, mengapa dalam berhukum menurutnya, “kita hanya
mengagungkan aspek undang-undang yang notabene hanya merupakan bangkainya
hukum…”
Lebih jauh lagi, penilaiannya terhadap pandangan Menteri di atas mencerminkan ketertawanan oleh undang-undang. Menurutnya, yang diperlukan adalah memahami hukum tidak semata-mata undang-undang “melainkan juga living law, kearifan lokal seperti rasa malu… dan sebagainya.” Karena di sinilah, sekali lagi menurut hematnya, “ditemukan aspek moralitas yang dulu membalut hukum perundang-undangan.” Dia lalu menghubungkan pandangan Menteri itu dengan pemahaman rule of law, perlunya terobosan hukum, dan seterusnya.
Sayangnya, analisis Suteki ini bisa jadi berlebihan dan salah sasaran. Ini karena tulisan itu berasumsi bahwa Menteri dimaksud memang dibelenggu undang-undang untuk mencegah mantan narapidana korupsi menjabat kembali di pemerintahan berhubung alpanya larangan di perundang-undangan. Lalu, penulis mempertanyakan sikap itu dan menguraikan panjang lebar gugatannya sebagaimana dikutip di atas.
Bagaimana jika sesungguhnya pembuat undang-undang
dengan secara sengaja mengambil pilihan membolehkan bekas narapidana koruptor menjabat kembali seusai
menjalani hukuman? Bagaimana jika asumsi Suteki itu keliru dan terburu-buru
percaya bahwa tidak ada undang-undang yang terlanggar dengan pemangkuan jabatan
itu? Atau bagaimana jika UU dan peraturan lain sesungguhnya telah mencegah
kemungkinan narapidana korupsi menjabat kembali, namun pelaksana undang-undang enggan
menjalankannya?
Untuk kasus ini, pembuat UU memang tidak mengambil pilihan yang disinggung pertama.Walau itu dimungkinkan mengingat fungsi lembaga pemasyarakatan bertujuan untuk mengembalikan narapidana agar dapat berkiprah kembali di masyarakat seperti sedia kala. Namun, untuk kasus ini yang terjadi adalah situasi yang kedua dan terakhir.
Demikianlah memang adanya. Pasal 23 ayat (5) huruf c UU No 43/1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang mengubah UU No. 8 tahun 1974 mengatur bahwa: Pegawai Negeri Sipil (PNS) diberhentikan tidak dengan hormat karena dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan.
Azirwan, mantan narapidana yang
dimaksudkan Menteri itu, adalah PNS. Dia divonis bersalah karena melanggar Pasal
5 ayat 1 huruf A UU No. 20/2001 yang mengubah UU No. 31/1999 tentang Tindak
Pidana Korupsi. Pasal ini tentang kejahatan penyuapan kepada PNS yang asal mula
rumusan deliknya diambil dari Bab Kejahatan Jabatan di KUHP. Azirwan, jika
tidak dapat disebut melakukan kejahatan jabatan, jelas dia melakukan kejahatan
yang ada hubungannya dengan jabatan, baik itu berhubungan dengan jabatannya
atau berhubungan dengan jabatan orang yang dia suap.
Nah, seharusnya menurut UU
Pokok-Pokok Kepawaian pada pasal tersebut di atas, Azirwan sudah harus diberhentikan
dengan tidak hormat dari PNS. Bahkan dengan Peraturan Disiplin tentang PNS sendiripun
-yang mengatur derajat ‘kejahatan’ yang lebih rendah dari kejahatan pidana- Azirwan
patut telah diberhentikan dengan tidak hormat sebagaimana dituangkan dalam PP
No. 53 tahun 2010. Ini karena PNS dimaksud sangat patut diduga telah melakukan
pelanggaran disiplin berat yang ancaman hukumannya diberhentikan dengan tidak
hormat seperti “menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan/atau
orang lain dengan menggunakan kewenangan orang lain”. Ini disebut dalam Pasal
13 angka 2. Keadaan ini dikuatkan pula dengan adanya vonis pengadilan dimaksud.
Jika UU dan Peraturan Disiplin itu dilaksanakan, tentu tidak mungkin dia bisa
memegang jabatan kepala dinas seperti yang diberitakan.
Hal yang kurang lebih sama juga
terjadi kisruh kasus simulator SIM KPK-Polri. UU tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi sudah jelas mengatur soal siapa yang patut menangani kasus itu, namun
pejabat terkait mengingkarinya. Jadi, isunya bukan tentang pejabat tertawan
oleh undang-undang sebagaimana diargumentasikan oleh Suteki, melainkan pejabat
yang menawan undang-undang sehingga tidak berjalan sebagaimana mestinya. Baru
setelah didesak publik, seperti pada kasus Azirwan ini, Menteri kemudian
menganulir pandangannya. Inilah realita sesungguhnya perang terhadap korupsi di
sini: tidak satunya kebijakan pejabat -yang sebagian tercermin dalam
undang-undang- dengan tindakan. Bahkan, sebagian malah ingin menghentikan
perang ini, ironisnya justru dengan menggunakan undang-undang seperti pada
kasus usulan revisi UU KPK itu.
No comments:
Post a Comment