Irfan R. Hutagalung
Apakah dasar Presiden Trump menyatakan bahwa: “Saya secara resmi memutuskan mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel.”
Mari kita memulainya dengan
melihat dari sisi hukum Amerika, mengapa Trump melakukan tindakan pengakuan
Jerusalem sebagai ibukota Israel dan akan memindahkan kedutaan AS ke sana sebagai
konsekuensinya. Sebelum pernyataan itu muncul, telah ada Jerusalem Embassy Act
of 1995 (UU Kedutaan Jerusalem Tahun 1995) yang mengakui bahwa Jerusalem adalah ibukota Israel dan
memerintahkan pendirian kedutaan AS di sana selambat-lambatnya pada tgl 31 Mei
1999. Jadi, yang sesungguhnya mengakui
Jerusalem sebagai ibukota Israel adalah UU Amerika yang berlaku sampai
sekarang.
Tapi mengapa Kedutaan AS tidak dipindahkan ke Jerusalem
dari tempatnya sekarang di Tel Aviv sebagaimana diperintahkan oleh UU itu?Mengapa
baru dilakukan sekarang?
Nah, dalam UU itu diatur pula
kewenangan Presiden AS menunda (waiver)
untuk sementara perintah pendirian itu
jika, menurut pertimbangan Presiden, pendirian kedutaan AS di Jerusalem akan
mengancam kepentingan keamanan nasional AS sebagaimana diatur di dalam Section
(Pasal) 7 UU itu. Penundaan harus
dilaporkan ke Kongres dan dapat diperbarui setiap enam bulan sekali. Jadi,
suspensi inilah yang terus menerus dilakukan President AS sejak tahun 1998,
sejak Presiden Bill Clinton, George W Bush, dan Barack Obama. Trump sendiri masih
memperbarui penundaan itu pada Juni 2017 lalu, yang berlaku sampai bulan
Desember ini. Dan seperti yang kita tahu semua, alih-alih memperpanjangnya
untuk enam bulan ke depan, dia tidak lagi menggunakan kewenangan waiver-nya dan malah mengakui kota Jerusalem
sebagai ibukota Israel. Lalu, memerintahkan Kementerian Luar Negeri AS untuk
mulai melakukan persiapan pemindahan kedutaan AS ke sana.
Well, kalo begitu, tindakan Presiden Trump itu sah dan
legal dong? Dan mengapa dunia heboh?
Untuk menjawab ini, kita perlu
berpindah sebentar ke topik status hukum wilayah Jerusalem atau Al Quds. Status
Jerusalem tidak dapat dilepaskan dari konflik panjang Israel- Arab/Palestina.
Sampai sebelum kemerdekaan Israel tahun 1948, wilayah Palestina (semua wilayah de facto Israel sekarang plus semua
wilayah defacto Palestina sekarang)
adalah wilayah di bawah kontrol Inggris
(Britain mandate territory). Inggris
mendapat kontrol atas wilayah itu dari Liga Bangsa-Bangsa juga dari hasil Perjanjian
Lausanne 1923 menyusul kekalahan Kesultanan Ottoman Turki dari Inggris dan
sekutunya pada Perang Dunia I. Sebelum berada di bawah kontrol Inggris, wilayah
Palestina adalah wilayah di bawah kekuasaan Kesultanan Ottoman Turki.
Pada tahun 1947, sebelum
kemerdekaan Israel, oleh suatu komite bernama Komite Khusus PBB tentang
Palestina (United Nations Special Comittee on Palestine) mengusulkan kepada
Majelis Umum untuk membagi dua wilayah Palestina (Partition Plan), satu bagian wilayah menjadi Negara Arab dan satu
bagian lain untuk jadi wilayah Negara Yahudi. Wilayah Jerusalem tidak
dimasukkan ke dalam salah satu wilayah
negara itu, melainkan diletakkan dalam suatu wilayah khusus di bawah
administrasi PBB. Dalam Resolusi Majelis Umum No 181 (II) 1947 ditentukanlah
rencana pembagian wilayah Palestina itu ke dalam wilayah Arab dan wilayah
Negara Yahudi dan status kota Jerusalem. Dalam Resolusi itu ditentukan bahwa
Jerusalem adalah wilayah yang terpisah (Corpus Separatum) dari wilayah Negara
Arab dan wilayah Negara Yahudi. Wilayah itu akan diatur oleh suatu rejim khusus
di bawah administrasi PBB yang dilakukan melalui Dewan Perwalian PBB
(Trusteeship Council).
Lalu Apa yang terjadi?
Resolusi itu tidak dapat
diimplementasikan. Kemudian muncullah konflik di wilayah ini sampai akhirnya
orang-orang Yahudi memproklamirkan berdirinya negara Israel pada tahun 1948. Konflik
yang kemudian diakhiri dengan Perjanjian Gencatan Senjata 1949 (Armistice Agreement) melahirkan garis
batas wilayah yang dikenal dengan nama green
line. Garis ini memisahkan wilayah bagian barat Jerusalem yang dikuasai
Israel dan wilayah bagian timur kota itu yang dikuasi Jordania. Penarikan garis
batas itu bukanlah penarikan garis batas wilayah negara, melainkan untuk
kepentingan gencatan senjata. Wilayah lain seperti Tepi Barat dikuasai Yordania
sementara Jalur Gaza dikuasai Mesir. Selebihnya dikuasai oleh Israel. Penguasaan
terhadap wilayah tidak berarti memiliki wilayah itu. Status ini relatif tetap
sampai terjadi perang tahun 1967 antara negara-negara Arab dengan Israel yang
dikenal dengan Perang Enam Hari.
Apa yang terjadi kemudian setelah Perang Enam Hari?
Dalam Perang Enam Hari itu,
Israel menguasai semua wilayah yang sebelumnya dikontrol oleh negara-negara
Arab termasuk wilayah Jerusalem Timur. Maka, sejak tahun 1967, status Jerusalem
Timur berada dalam wilayah pendudukan (occupied
territory) Israel demikian juga dengan Tepi Barat dan Jalur Gaza yang
sebelumnya masing-masing dikuasai oleh Jordania dan Mesir.
Bagaimana Israel sendiri memandang Jerusalem?
Sejak penguasaan Israel atas
Jerusalem (Barat), Israel secara de facto
menjadikan kota ini sebagai ibukotanya. Namun, baru pada tahun 1950, parlemen
Israel, Knesset, membuat resolusi (bukan suatu undang-undang) yang mendeklarasikan
Jerusalem (Barat) sebagai ibukotanya. Lalu, pada tahun 1980, kali ini lewat suatu undang-undang, Israel menyatakan
bahwa Jerusalem (Barat dan Timur) menjadi ibu kotanya.
Kemudian, bagaimana dunia internasional dan hukum
internasional memandang status Jerusalem.
Sebagaimana sudah disebut di
awal, Resolusi Majelis Umum No. 181 (II) 1947 berencana menempatkan Jerusalem
sebagai kota di bawah kontrol PBB. Resolusi ini sampai sekarang masih berlaku
walau memang belum dapat dijalankan, namun substansi resolusi ini masih menjadi
bagian dari acuan negara dalam bersikap terhadap status Jerusalem. Dan ketika
Israel menduduki wilayah Jerusalem Timur usai perang pada tahun 1967 dan mau
mengubah status Jerusalem, keluarlah Resolusi Majelis Umum No. 2253 (ES-V) 4 Juli 1967 yang isinya sangat menyayangkan upaya Israel mengubah status Jerusalem dan menyatakan usaha itu tidak sah.
Lalu, Dewan Keamanan ikut pula mengeluarkan Resolusi No. 242 Tahun
1967 yang memerintahkan tentara Israel keluar dari wilayah yang didudukinya
termasuk Jerusalem Timur. Isi Resolusi itu kemudian ditegaskan kembali dengan
Resolusi No. 252 tahun berikutnya yang menyatakan bahwa pengambilalihan wilayah
dengan kekuatan senjata dilarang menurut hukum internasional dan meminta Israel
untuk menghentikan dan membatalkan semua upayanya untuk mengubah status
Jerusalem. Tapi, Israel bergeming. Di wilayah pendudukan termasuk Jerusalem,
Israel membangun kawasan pemukiman penduduk Israel di kota ini. Dalam hukum
internasional yakni Konvensi Jenewa IV tahun 1949 Pasal 49 antara lain
disebutkan bahwa Penguasa wilayah pendudukan (occupying Power) dilarang memindahkan penduduknya ke wilayah yang
didudukinya. Merespon tindakan Israel di Jerusalem ini, sekali lagi Dewan
Keamanan menerbitkan Resolusi No 465 Maret 1980 memperingatkan Israel
menghentikan pembangunan pemukiman yang akan mengubah status kota Jerusalem.
Namun, Israel kembali mengabaikan resolusi ini. Malah pada tahun 1980 itu juga,
seperti disebut sebelumnya, Israel
menerbitkan UU yang menentukan bahwa Jerusalem adalah ibukota Israel.
Lalu, apa reaksi PBB?
Dewan Keamanan PBB -dimana
Amerika adalah anggota tetapnya yang memiliki hak veto- sekali lagi mengeluarkan Resolusi No. 478, Agustus 1980. Resolusi itu menyatakan
penetapan Jerusalem sebagai ibukota Israel itu nyata-nyata bertentangan dengan
hukum internasional yakni Konvensi Jenewa IV 1949 dan meminta negara-negara
yang sempat menempatkan kantor perwakilan diplomatik di Jerusalem untuk
memindahkannya dari kota itu. Lebih jauh lagi, Dewan Keamanan tidak mengakui UU
penetapan Jerusalem sebagai ibukota serta menyatakannya tidak sah (null and void). Ada banyak resolusi Majelis
Umum dan Dewan Kemanan yang lahir kemudian terkait Jerusalem atau wilayah
pendudukan dan yang terakhir resolusi Dewan Keamanan terbit pada Desember tahun
lalu. Resolusi-resolusi itu pada prinsipnya memuat penentangan tindakan Israel
di Jerusalem; penegasan bahwa Jerusalem adalah wilayah pendudukan; dan Israel
melanggar hukum internasional terkait dengan fungsinya sebagai Penguasa pendudukan
di wilayah pendudukan.
Bagaimana dengan reaksi negara-negara dan organisasi
internasional lain?
Sampai hari ini tidak ada
satupun negara di dunia yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel menempatkan kedutaannya di kota Jerusalem.
Artinya, negara-negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel tidak
mengakui Jerusalem sebagai wilayah negara Israel. Tidak memasukkan Jerusalem (Timur)
sebagai wilayah Israel juga merupakan sikap dari Palang Merah Internasional,
(International Committee of the Red Cross) suatu organisasi kemanusiaan internasional
paling berwibawa di dunia. Demikian juga dengan sikap Mahkamah Internasional
(International Court of Justice) yang tercermin dari fatwanya (advisory opinion) pada kasus Separation
Barrier Tahun 2004.
Jadi bagaimana kesimpulannya tindakan AS ini
Dalam prinsip hukum
internasional, negara harus mematuhi perjanjian internasional dimana ia telah
terikat kepadanya sesuai dengan cara-cara pengikatan yang diatur dalam
perjanjian itu. Negara juga harus mematuhi hukum kebiasaan internasional. Sebagai
anggota PBB, negara harus mematuhi resolusi-resolusi PBB. Dalam Pasal 6
Konstitusi Amerika Serikat dan dalam putusan-putusan pengadilannya jelas
menyebutkan atau mengakui bahwa hukum internasional adalah hukum AS (US law of the land) juga.
Demikian juga keterikatan AS dengan
Resolusi Dewan Keamanan dimana AS adalah anggota tetapnya. Oleh karena itu,
tindakan AS melalui Jerusalem Embassy Act 1995 dan pernyatan Trump itu adalah bentuk
nyata pelanggaran hukum internasional. AS telah melanggar Konvensi Jenewa yang
telah diratifikasinya, melanggar banyak Resolusi Dewan Keamanan dan Majelis
Umum PBB. Dengan tindakannya itu, sekarang AS -selain Israel- adalah
satu-satunya negara di dunia yang mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel dan
dengan demikian, AS adalah satu-satunya negara di dunia yang tidak patuh kepada
hukum internasional.
No comments:
Post a Comment