Irfan Hutagalung
Thursday, January 27, 2022
Thursday, November 4, 2021
Sunday, June 21, 2020
Hukum Indonesia Tentang Kekuasaan Mengikatkan Negara Kepada Perjanjian Internasional dan Perjanjian Perdagangan Internasional
Irfan R. Hutagalung
Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Prodi Hubungan Internasional
Abstrak: Indonesia is bound or is negotiating to bind itself into
international treaties on international trade, it is essential to examine
whether laws and legislation on the powers to bind country to international
treaties including international trade agreements have been established on the
basis of the principle of popular sovereignty. In other words, do the law and
legislation allocate sufficient power to the people's representative body to
control the government's actions in binding the state to international treaties
and international trade agreements. This paper aims to answer that question. It
is done by exposing and analyzing how national law places international law in
its legal system; how national law regulates the involvement of the
representative body of the people in deciding whether or not to be bound by
international treaties and international trade agreements and procedures to be
followed. Exposures and reviews are laid in the principle that government
action should be controlled by the representative institutions of the people
and the judiciary in certain respects in accordance with its function.
Selengkapnya bisa baca di sini
Sunday, April 19, 2020
TREATMENT OF CIVILIANS AND PERSONS HORS DE COMBAT
Part V TREATMENT OF CIVILIANS AND PERSONS
HORS DE COMBAT of
CUSTOMARY
INTERNATIONAL
HUMANITARIAN LAW
VOLUME I
RULES
Jean-Marie
Henckaerts and Louise Doswald-Beck
With
contributions by Carolin Alvermann,
Knut
D¨ ormann and Baptiste Rolle
2009
Ringkasan Oleh Irfan R. Hutagalung
TREATMENT/PROTECTION
|
PERSONS
|
Fundamental Guarantees
|
Civilians (in
general); Captured Combatants/Prisoners of War;Captured Mercenaries and Captured Spionage; Captured
Combatants that
fail to distinguish themselves from civilians during the attack; The Wounded, Sick, Shipwrecked;
Persons Deprived Of Their Liberty; Displaced Persons, Other Persons (civilians in spesific): Elderly,
Women with Spesific Needs,
Disable, Infirm, and Children
|
To search for, collect, evacuate and care without
adverse distinction. Pillage of their personal property prohibited
|
The Wounded, Sick, Shipwrecked
|
To search for, collect and
evacuate, return the deceased and personal effects, record information for
identification, mark the location of graves and respected, prevent being
despoiled, no mutilation
|
The Dead
|
To account for, to provide their family
members with any information it has on their fate
|
Missing Persons
|
Prisoner of war status
|
Captured Combatants/Prisoners
of war
|
No prisoner of
war status, fair trail
|
Captured
Mercenaries,
Captured Spionage,
and Captured Combatants
that fail to distinguish themselves from civilians during the attack
|
Must be recorded,
pillage of their personal property prohibited, provide adequate food, water
shelter (remove from combat zone), clothing,medical
and hygiene attention, religious practices respected, separate man-women,
child –adult except where family accomodated, allowed to receive visitor,
correspond to family, release when no longer reason to be deprived
|
Persons Deprived Of Their Liberty
|
Special respect and protection
|
Other persons (civilians in specific):
elderly, women with spesific needs, kids, disable, infirm
|
Not be allowed to recruit, to take part hostilities
|
Children
|
Right to return, shelter satisfactory conditions, property respected, no
separation of family members.
|
Displaced Persons
|
Friday, April 3, 2020
Kesalahan Fundamantal Tulisan Prof. Ichlasul Amal
Prof Ichlasul Amal membuat
opini berjudul “Aung San Suu Kyi dan Mahkamah Internasional” di Kompas pada
tanggal 24-03 2020. Tulisan itu patut dikomentari karena mengandung banyak
kekeliruan hukum dan fakta yang mengganggu dan dapat memberikan pemahaman yang
keliru tentang ICJ dan ICC, tentang
gugatan Gambia terhadap Myanmar bagi khalayak luas.
Tentang ICJ
Prof Amal menuliskan, “Jaksa
Penuntut Umum membawa bukti-bukti gambar yang menunjukkan bagaimana tentara Myanmar
membunuh, memerkosa, dan membakar rumah penduduk Rohingya.” Ini kekeliruan
fundemental tentang hakekat dan fungsi International Court of Justice (ICJ).
ICJ bukanlah mahkamah pidana internasional yang memiliki jaksa penuntut umum (prosecutor) dimana ada penuntut yang
mendakwa si terdakwa dengan menujukkan bukti-bukti pelanggaran hukum (pidana) internasional yang
dilakukan terdakwa. ICJ tidak demikian. ICJ adalah mahkamah yang mengadili
gugatan antarnegara (Pasal 34 (1) Statuta
ICJ) atas apa saja perselisihan yang timbul di antara negara terutama yang
dimungkinkan (provided for) oleh Piagam PBB, konvensi, dan traktat yang berlaku
saat itu (Pasal 36 (1) ICJ Statuta).
Lalu, para pihak yang
bersengketa terlebih dahulu harus sepakat sengketa mereka dibawa ke ICJ atau
mereka menyepakati suatu konvensi atau traktat dimana di sana diatur ICJ punya
kewenangan untuk mengadili sengketa yang timbul diantara mereka (Pasal 36 (2)
(6) Statuta ICJ ). Negara juga bisa menyatakan kesediaannya digugat oleh negara
lain tanpa syarat atau dengan syarat negara yang menggugatnya juga menyatakan
hal yang sama.
Gambia menggugat Myanmar karena
mereka sebelumnya telah menyepakati dan meratifikasi Konvensi Pencegahan dan
Penghukuman Kejahatan Genosida 1948 . Lebih jauh lagi, keduanya tidak menolak
(tidak mereservasi) Pasal 9 Konvensi itu yang mengatur tentang jika ada perselisihan
para peratifikasi Konvensi tentang interpretasi dan implementasi Konvensi,
diselesaikan di ICJ. Jadi, Gambia-lah yang
mengajukan bukti-bukti untuk mendukung permohonannya atau gugatannya, bukan
Jaksa.
Kemudian, Prof Amal
mengugkapkan, “ Hakim ICJ yang terdiri dari lima belas orang ... ” Hakim yang
mengadili kasus ini tidak berjumlah lima belas melainkan tujuh belas orang.
Memang, hakim tetap ICJ berjumlah lima belas (Pasal 3 Statuta ICJ), namun jika
negara yang bersengketa tidak memiliki hakim pada saat sengketa diperiksa, para
pihak dapat memasukkan hakim ad-hoc untuk
ikut mengadili kasus itu (Pasal 31 Statuta ICJ). Karena Gambia dan Myanmar
tidak memiliki hakim di ICJ saat ini, Gambia kemudian memasukkan Navi Pillay,
tokoh hukum internasional dari Afrika Selatan dan Myanmar datang dengan Klauss
Kress, punggawa hukum internasional dari Jerman.
Lalu, Prof Amal menyatakan pula,
“ICJ adalah badan hukum tertinggi PBB dan telah diratifikasi oleh semua anggota
PBB kecuali Amerika Serikat. Pihak AS melepaskan diri dari ICJ setelah
keterlibatan tentara AS di Nicaragua.”
Semua negara yang telah menyepakati Piagam PBB alias menjadi anggota PBB
juga sekaligus menjadi peserta dari Statuta ICJ. Statuta ICJ adalah bagian yang
tidak dipisahkan dari Piagam PBB.
Jadi,
sampai hari ini, Amerika Serikat masih peserta ICJ karena AS masih anggota PBB,
dedengkot-nya malah. Memang, AS pernah
digugat Nikaragua di ICJ. Pada awal proses persidangan, AS hadir dan
menyampaikan argumennya bahwa ICJ tidak berwenang memeriksa gugatan Nikaragua.
ICJ dalam putusan awalnya menyatakan sebaliknya. Sejak keluar putusan itu, AS ogah hadir lagi ke persidangan. ICJ
kemudian pada putusan akhir memenangkan Nikaragua, namun AS menolak putusan
itu. Tapi, sampai hari ini, AS tidak keluar dari ICJ.
Tentang Gugatan dan Putusan
Prof Amal menuliskan, “Untuk
mengusulkan supaya persoalan bisa masuk ke ICJ harus negara anggota PBB. Usulan
harus terlebih dahulu ke Majelis Umum (General Assembly dan diterima bila tidak
ada keberatan dari Dewan Keamanan (Security Council).” No way, tentang
ini sudah saya singgung di bagian awal tulisan. Bahwa negara dapat mengajukan
gugatan kepada negara lain asalkan negara yang digugat sepakat untuk digugat.
Tidak diperlukan proses di Majelis Umum dan di Dewan Kemanan.
Prof Amal mengatakan, “Keputusan
Sela ICJ masih lama menunggu sidang PBB, termasuk Dewan Keamanan kemungkinan
besar akan diveto oleh Rusia dan China.” Mungkin maksud beliau adalah putusan
akhir karena di bagian awal tulisannya dia menyebut putusan sela telah keluar.
Betul putusan sela telah keluar dan jika yang dimaksudkannya adalah putusan
akhir ICJ, putusan itu tidak dapat diveto oleh siapapun anggota tetap PBB.
Anggota tetap hanya dapat mem-veto
keputusan Dewan Keamanan bukan putusan ICJ.
Tentang Perbedaan ICJ dan ICC
Prof Amal juga membahas
perbedaan ICJ dan International Criminal Court (ICC) bahwa ICJ dan ICC adalah
dua mahkamah tinggi PBB. Tidak. Hanya ICJ yang merupakan mahkamah PBB karena
dia adalah satu dari enam organ utama PBB. Sementara ICC bukan organ PBB.
Beliau juga menyebutkan bahwa bekas Presiden Sudan Omar Al Bashir diajukan oleh
negaranya sendiri ke ICC. Tidak. Omar Al Bashir dijadikan tersangka di ICC
karena hasil penyidikan (investigasi) jaksa ICC yang diminta (refer) oleh Dewan Keamanan PBB (Pasal
13b Statuta ICC).
Labels:
Gambia v Myanmar,
ICC,
Ichlasul Amal,
ICJ
Tuesday, February 25, 2020
Monday, February 10, 2020
Subscribe to:
Posts (Atom)