Prof Ichlasul Amal membuat
opini berjudul “Aung San Suu Kyi dan Mahkamah Internasional” di Kompas pada
tanggal 24-03 2020. Tulisan itu patut dikomentari karena mengandung banyak
kekeliruan hukum dan fakta yang mengganggu dan dapat memberikan pemahaman yang
keliru tentang ICJ dan ICC, tentang
gugatan Gambia terhadap Myanmar bagi khalayak luas.
Tentang ICJ
Prof Amal menuliskan, “Jaksa
Penuntut Umum membawa bukti-bukti gambar yang menunjukkan bagaimana tentara Myanmar
membunuh, memerkosa, dan membakar rumah penduduk Rohingya.” Ini kekeliruan
fundemental tentang hakekat dan fungsi International Court of Justice (ICJ).
ICJ bukanlah mahkamah pidana internasional yang memiliki jaksa penuntut umum (prosecutor) dimana ada penuntut yang
mendakwa si terdakwa dengan menujukkan bukti-bukti pelanggaran hukum (pidana) internasional yang
dilakukan terdakwa. ICJ tidak demikian. ICJ adalah mahkamah yang mengadili
gugatan antarnegara (Pasal 34 (1) Statuta
ICJ) atas apa saja perselisihan yang timbul di antara negara terutama yang
dimungkinkan (provided for) oleh Piagam PBB, konvensi, dan traktat yang berlaku
saat itu (Pasal 36 (1) ICJ Statuta).
Lalu, para pihak yang
bersengketa terlebih dahulu harus sepakat sengketa mereka dibawa ke ICJ atau
mereka menyepakati suatu konvensi atau traktat dimana di sana diatur ICJ punya
kewenangan untuk mengadili sengketa yang timbul diantara mereka (Pasal 36 (2)
(6) Statuta ICJ ). Negara juga bisa menyatakan kesediaannya digugat oleh negara
lain tanpa syarat atau dengan syarat negara yang menggugatnya juga menyatakan
hal yang sama.
Gambia menggugat Myanmar karena
mereka sebelumnya telah menyepakati dan meratifikasi Konvensi Pencegahan dan
Penghukuman Kejahatan Genosida 1948 . Lebih jauh lagi, keduanya tidak menolak
(tidak mereservasi) Pasal 9 Konvensi itu yang mengatur tentang jika ada perselisihan
para peratifikasi Konvensi tentang interpretasi dan implementasi Konvensi,
diselesaikan di ICJ. Jadi, Gambia-lah yang
mengajukan bukti-bukti untuk mendukung permohonannya atau gugatannya, bukan
Jaksa.
Kemudian, Prof Amal
mengugkapkan, “ Hakim ICJ yang terdiri dari lima belas orang ... ” Hakim yang
mengadili kasus ini tidak berjumlah lima belas melainkan tujuh belas orang.
Memang, hakim tetap ICJ berjumlah lima belas (Pasal 3 Statuta ICJ), namun jika
negara yang bersengketa tidak memiliki hakim pada saat sengketa diperiksa, para
pihak dapat memasukkan hakim ad-hoc untuk
ikut mengadili kasus itu (Pasal 31 Statuta ICJ). Karena Gambia dan Myanmar
tidak memiliki hakim di ICJ saat ini, Gambia kemudian memasukkan Navi Pillay,
tokoh hukum internasional dari Afrika Selatan dan Myanmar datang dengan Klauss
Kress, punggawa hukum internasional dari Jerman.
Lalu, Prof Amal menyatakan pula,
“ICJ adalah badan hukum tertinggi PBB dan telah diratifikasi oleh semua anggota
PBB kecuali Amerika Serikat. Pihak AS melepaskan diri dari ICJ setelah
keterlibatan tentara AS di Nicaragua.”
Semua negara yang telah menyepakati Piagam PBB alias menjadi anggota PBB
juga sekaligus menjadi peserta dari Statuta ICJ. Statuta ICJ adalah bagian yang
tidak dipisahkan dari Piagam PBB.
Jadi,
sampai hari ini, Amerika Serikat masih peserta ICJ karena AS masih anggota PBB,
dedengkot-nya malah. Memang, AS pernah
digugat Nikaragua di ICJ. Pada awal proses persidangan, AS hadir dan
menyampaikan argumennya bahwa ICJ tidak berwenang memeriksa gugatan Nikaragua.
ICJ dalam putusan awalnya menyatakan sebaliknya. Sejak keluar putusan itu, AS ogah hadir lagi ke persidangan. ICJ
kemudian pada putusan akhir memenangkan Nikaragua, namun AS menolak putusan
itu. Tapi, sampai hari ini, AS tidak keluar dari ICJ.
Tentang Gugatan dan Putusan
Prof Amal menuliskan, “Untuk
mengusulkan supaya persoalan bisa masuk ke ICJ harus negara anggota PBB. Usulan
harus terlebih dahulu ke Majelis Umum (General Assembly dan diterima bila tidak
ada keberatan dari Dewan Keamanan (Security Council).” No way, tentang
ini sudah saya singgung di bagian awal tulisan. Bahwa negara dapat mengajukan
gugatan kepada negara lain asalkan negara yang digugat sepakat untuk digugat.
Tidak diperlukan proses di Majelis Umum dan di Dewan Kemanan.
Prof Amal mengatakan, “Keputusan
Sela ICJ masih lama menunggu sidang PBB, termasuk Dewan Keamanan kemungkinan
besar akan diveto oleh Rusia dan China.” Mungkin maksud beliau adalah putusan
akhir karena di bagian awal tulisannya dia menyebut putusan sela telah keluar.
Betul putusan sela telah keluar dan jika yang dimaksudkannya adalah putusan
akhir ICJ, putusan itu tidak dapat diveto oleh siapapun anggota tetap PBB.
Anggota tetap hanya dapat mem-veto
keputusan Dewan Keamanan bukan putusan ICJ.
Tentang Perbedaan ICJ dan ICC
Prof Amal juga membahas
perbedaan ICJ dan International Criminal Court (ICC) bahwa ICJ dan ICC adalah
dua mahkamah tinggi PBB. Tidak. Hanya ICJ yang merupakan mahkamah PBB karena
dia adalah satu dari enam organ utama PBB. Sementara ICC bukan organ PBB.
Beliau juga menyebutkan bahwa bekas Presiden Sudan Omar Al Bashir diajukan oleh
negaranya sendiri ke ICC. Tidak. Omar Al Bashir dijadikan tersangka di ICC
karena hasil penyidikan (investigasi) jaksa ICC yang diminta (refer) oleh Dewan Keamanan PBB (Pasal
13b Statuta ICC).
No comments:
Post a Comment