Friday, August 22, 2008

Ulangan Polemik Syarat Calon Presiden

Irfan R. Hutagalung
LEGALITAS .ORG 18 Agustus 2008
http://www.legalitas.org/?q=content/ulangan-polemik-syarat-calon-presiden

A politician thinks of the next election; A stateman thinks of the next generation” James Freeman Clarke 4 April 1810 – 8 Juni 1888

Serupa lima tahun lampau, kualifikasi calon presiden (capres) kembali disoal. Di tahun 2003 media melaporkan perdebatan seputar syarat capres ini: pendidikan minimal; status hukum; dan prosentase perolehan minimal kursi DPR (threshold) partai politik/gabungan partai politik agar dapat mengusung pasangan calon. Kini, di tahun 2008 polemik ini diputar ulang. Syarat pendidikan minimal masih disengketakan, sementara status hukum bukan terdakwa nampaknya tidak lagi menjadi isu. Tetapi, muncul preferensi baru: capres sebaiknya berusia kurang dari lima puluh tahun. Reaksipun muncul. (“Megawati Tantang Presiden PKS”, Koran Tempo, 23/07/2008).

Polemik syarat capres teranyar seperti terungkap lewat berita itu, sesungguhnya ekstensi dari perdebatan sama yang tengah berlangsung di Senayan. DPR memang tengah membahas RUU Pilpres baru menggantikan UU Pilpres buatan 2003. Seperti lima tahun silam, Panitia Khusus (Pansus) RUU Pilpres DPR bersilang paham lagi tentang syarat pendidikan minimal dan threshold parpol/gabungan parpol untuk dapat mengajukan pasangan capres. Fraksi PDIP memilih cukup khatam SLTA plus threshold tinggi. Sementara Fraksi PKS meminta sarjana dan threshold rendah. (“Syarat Capres Bakal Alot” Kompas, 7/7 2008). Nanti, di tahun 2013 bukan mustahil perdebatan serupa terulang kembali.

Begitu pelikkah topik persyaratan capres ini? Sama sekali tidak. Anggota DPR tahu: Beberapa yang tak sarjana pantas jadi presiden dan sebaliknya bukan sedikit sarjana yang dungu. Sarjana atau bukan sesungguhnya tidak soal. Dan tinggi-rendah threshold hanya berkolerasi dengan jumlah kandidat yang akan berlaga. Bukan pada kualitas calon. Usia? Ronald Reagan salah satu presiden AS terpopuler terpilih kedua kali pada usia 74 tahun. Dan John McCain, 72 tahun, adalah kandidat tertua yang terpilih sebagai capres AS dari Partai Republik.

Karenanya, sulit dipercaya keseriusan politisi dalam mempolemikkan dan membahas kualifikasi calon kepala negara ini. Mudah ditebak, politisi sedang menegosiasi ulang kesepakatan lama karena berubahnya variabel-variabel dan konfigurasi politik. Masyarakat mafhum calon parpol/gabungan parpol yang satu bergelar sarjana dan muda. Namun, diperkirakan jumlah perolehan kursi DPR pengusungnya sedikit. Sementara itu, calon dari poros lain sebaliknya. Syarat bukan terdakwa kali ini tak lagi diributkan karena parpol pengusung punya jago baru.
Perilaku politisi ini nampaknya membenarkan ungkapan James F. Clarke di atas. Di sisi lain, dari perspektif legislative drafting , sesungguhnya ada persoalan di aturan dasar tentang pengaturan syarat capres ini.

UUD ‘45 Perubahan Ketiga Pasal 6 (1) hanya menentukan tiga syarat: WNI sejak lahir dan tak pernah berkewarganegaraan lain; tak pernah menghianati negara; serta mampu rohani dan jasmani. Memang, ini saja tentu tidak cukup. Namun, UUD Amandemen berhenti mengatur hanya pada tiga hal itu. Lalu, menentukan pengaturan lebih lanjut syarat-syarat dimaksud kepada UU lewat Pasal 6 (2). Pengaturan lanjutan seharusnya diartikan sebagai pembentukan norma turunan guna menunjang terpenuhinya norma utama. Misalnya aturan apa yang harus disusun untuk memastikan capres dapat dinilai mampu secara rohani dan jasmani menjalankan tugas. Tetapi, Pasal 6 (2) itu dipahami sebagai pendelegasian kewenangan dari UUD ke UU untuk mengatur kekurangan syarat-syarat yang diatur di dalam konstitusi itu.

Jadi, materi syarat-syarat capres yang seharusnya diletakkan utuh di hukum dasar, digeser ke materi UU. Pemindahan sebagian syarat capres dari norma UUD ke UU, berarti UUD telah dengan keliru memfasilitasi pembuat UU untuk dengan mudah menegosiasi ulang syarat-syarat ini ketika kepentingan pragmatis lima tahunan menuntut. Akibatnya, penentuan syarat capres dimaksud digantungkan sepenuhnya di forum lobi politisi pembentuk UU demi semata-mata proyeksi pilpres akan datang. Maka, seperti disebut di awal, bermunculanlah pilihan kualifikasi versi masing-masing pengusung disesuaikan dengan kualifikasi calonnya, sembari menolak kriteria lain jika itu akan mendiskualifikasi jagonya. Lalu, tersebutlah dua puluh syarat capres di Pasal 6 UU Pilpres No. 23/2003. Tiga ditulis ulang dari UUD. Tujuh belas hasil kreasi pembuat UU. Mulai dari syarat berpendidikan minimal SLTA, sampai keharusan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan dihapusnya syarat bukan terdakwa.

Dari polemik dan pembahasan RUU Pilpres baru seperti yang diberitakan, terang sudah ketentuan final syarat capres untuk pilpres 2009 tak akan bebas dari kepentingan pragmatis seperti dulu. Akhirnya serupa UU pemilu legislatif, UU No. 10/2008, tak mustahil UU pilpres baru ini bakalan di-mahkamah konstitusikan pula. Padahal, sesungguhnya problem dasarnya dikontribusi justru oleh konstitusi itu sendiri, yang alpa membedakan mana materi muatan UUD dan mana materi UU, serta ketentuan pendelegasian suatu norma UUD ke norma UU.