Friday, December 22, 2017

Pengakuan Jerusalem sebagai Ibukota Israel oleh Donald Trump

Irfan R. Hutagalung

Apakah dasar Presiden Trump menyatakan bahwa: “Saya secara resmi memutuskan mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel.” 

Mari kita memulainya dengan melihat dari sisi hukum Amerika, mengapa Trump melakukan tindakan pengakuan Jerusalem sebagai ibukota Israel dan akan memindahkan kedutaan AS ke sana sebagai konsekuensinya. Sebelum pernyataan itu muncul, telah ada Jerusalem Embassy Act of 1995 (UU Kedutaan Jerusalem Tahun 1995) yang mengakui  bahwa Jerusalem adalah ibukota Israel dan memerintahkan pendirian kedutaan AS di sana selambat-lambatnya pada tgl 31 Mei 1999.  Jadi, yang sesungguhnya mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel adalah UU Amerika yang berlaku sampai sekarang.

Tapi mengapa Kedutaan AS tidak dipindahkan ke Jerusalem dari tempatnya sekarang di Tel Aviv sebagaimana diperintahkan oleh UU itu?Mengapa baru dilakukan sekarang?

Nah, dalam UU itu diatur pula kewenangan Presiden AS menunda (waiver)  untuk sementara perintah pendirian itu jika, menurut pertimbangan Presiden, pendirian kedutaan AS di Jerusalem akan mengancam kepentingan keamanan nasional AS sebagaimana diatur di dalam Section  (Pasal) 7 UU itu.  Penundaan harus dilaporkan ke Kongres dan dapat diperbarui setiap enam bulan sekali. Jadi, suspensi inilah yang terus menerus dilakukan President AS sejak tahun 1998, sejak Presiden Bill Clinton, George W Bush, dan Barack Obama. Trump sendiri masih memperbarui penundaan itu pada Juni 2017 lalu, yang berlaku sampai bulan Desember ini. Dan seperti yang kita tahu semua, alih-alih memperpanjangnya untuk enam bulan ke depan, dia tidak lagi menggunakan kewenangan waiver-nya dan malah mengakui kota Jerusalem sebagai ibukota Israel. Lalu, memerintahkan Kementerian Luar Negeri AS untuk mulai melakukan persiapan pemindahan kedutaan AS ke sana.

Well, kalo begitu, tindakan Presiden Trump itu sah dan legal dong? Dan mengapa dunia heboh?       

Untuk menjawab ini, kita perlu berpindah sebentar ke topik status hukum wilayah Jerusalem atau Al Quds. Status Jerusalem tidak dapat dilepaskan dari konflik panjang Israel- Arab/Palestina. Sampai sebelum kemerdekaan Israel tahun 1948, wilayah Palestina (semua wilayah de facto Israel sekarang plus semua wilayah defacto Palestina sekarang) adalah wilayah di bawah kontrol  Inggris (Britain mandate territory). Inggris mendapat kontrol atas wilayah itu dari Liga Bangsa-Bangsa juga dari hasil Perjanjian Lausanne 1923 menyusul kekalahan Kesultanan Ottoman Turki dari Inggris dan sekutunya pada Perang Dunia I. Sebelum berada di bawah kontrol Inggris, wilayah Palestina adalah wilayah di bawah kekuasaan Kesultanan Ottoman Turki.  

Pada tahun 1947, sebelum kemerdekaan Israel, oleh suatu komite bernama Komite Khusus PBB tentang Palestina (United Nations Special Comittee on Palestine) mengusulkan kepada Majelis Umum untuk membagi dua wilayah Palestina (Partition Plan), satu bagian wilayah menjadi Negara Arab dan satu bagian lain untuk jadi wilayah Negara Yahudi. Wilayah Jerusalem tidak dimasukkan ke dalam salah satu  wilayah negara itu, melainkan diletakkan dalam suatu wilayah khusus di bawah administrasi PBB. Dalam Resolusi Majelis Umum No 181 (II) 1947 ditentukanlah rencana pembagian wilayah Palestina itu ke dalam wilayah Arab dan wilayah Negara Yahudi dan status kota Jerusalem. Dalam Resolusi itu ditentukan bahwa Jerusalem adalah wilayah yang terpisah  (Corpus Separatum) dari wilayah Negara Arab dan wilayah Negara Yahudi. Wilayah itu akan diatur oleh suatu rejim khusus di bawah administrasi PBB yang dilakukan melalui Dewan Perwalian PBB (Trusteeship Council).

Lalu Apa yang terjadi?  

Resolusi itu tidak dapat diimplementasikan. Kemudian muncullah konflik di wilayah ini sampai akhirnya orang-orang Yahudi memproklamirkan berdirinya negara Israel pada tahun 1948. Konflik yang kemudian diakhiri dengan Perjanjian Gencatan Senjata 1949 (Armistice Agreement) melahirkan garis batas wilayah yang dikenal dengan nama green line. Garis ini memisahkan wilayah bagian barat Jerusalem yang dikuasai Israel dan wilayah bagian timur kota itu yang dikuasi Jordania. Penarikan garis batas itu bukanlah penarikan garis batas wilayah negara, melainkan untuk kepentingan gencatan senjata. Wilayah lain seperti Tepi Barat dikuasai Yordania sementara Jalur Gaza dikuasai Mesir. Selebihnya dikuasai oleh Israel. Penguasaan terhadap wilayah tidak berarti memiliki wilayah itu. Status ini relatif tetap sampai terjadi perang tahun 1967 antara negara-negara Arab dengan Israel yang dikenal dengan Perang Enam Hari.

Apa yang terjadi kemudian setelah Perang Enam Hari?

Dalam Perang Enam Hari itu, Israel menguasai semua wilayah yang sebelumnya dikontrol oleh negara-negara Arab termasuk wilayah Jerusalem Timur. Maka, sejak tahun 1967, status Jerusalem Timur berada dalam wilayah pendudukan (occupied territory) Israel demikian juga dengan Tepi Barat dan Jalur Gaza yang sebelumnya masing-masing dikuasai oleh Jordania dan Mesir.

Bagaimana Israel sendiri memandang Jerusalem?

Sejak penguasaan Israel atas Jerusalem (Barat), Israel secara de facto menjadikan kota ini sebagai ibukotanya. Namun, baru pada tahun 1950, parlemen Israel, Knesset, membuat resolusi (bukan suatu undang-undang) yang mendeklarasikan Jerusalem (Barat) sebagai ibukotanya. Lalu, pada tahun 1980, kali ini  lewat suatu undang-undang, Israel menyatakan bahwa Jerusalem (Barat dan Timur) menjadi ibu kotanya.    

Kemudian, bagaimana dunia internasional dan hukum internasional memandang status Jerusalem.

Sebagaimana sudah disebut di awal, Resolusi Majelis Umum No. 181 (II) 1947 berencana menempatkan Jerusalem sebagai kota di bawah kontrol PBB. Resolusi ini sampai sekarang masih berlaku walau memang belum dapat dijalankan, namun substansi resolusi ini masih menjadi bagian dari acuan negara dalam bersikap terhadap status Jerusalem. Dan ketika Israel menduduki wilayah Jerusalem Timur usai perang pada tahun 1967 dan mau mengubah status Jerusalem, keluarlah Resolusi Majelis Umum No. 2253 (ES-V) 4 Juli 1967 yang isinya sangat menyayangkan upaya Israel mengubah status Jerusalem dan menyatakan usaha itu tidak sah. 

Lalu, Dewan Keamanan ikut pula mengeluarkan Resolusi No. 242 Tahun 1967 yang memerintahkan tentara Israel keluar dari wilayah yang didudukinya termasuk Jerusalem Timur. Isi Resolusi itu kemudian ditegaskan kembali dengan Resolusi No. 252 tahun berikutnya yang menyatakan bahwa pengambilalihan wilayah dengan kekuatan senjata dilarang menurut hukum internasional dan meminta Israel untuk menghentikan dan membatalkan semua upayanya untuk mengubah status Jerusalem. Tapi, Israel bergeming. Di wilayah pendudukan termasuk Jerusalem, Israel membangun kawasan pemukiman penduduk Israel di kota ini. Dalam hukum internasional yakni Konvensi Jenewa IV tahun 1949 Pasal 49 antara lain disebutkan bahwa Penguasa wilayah pendudukan (occupying Power) dilarang memindahkan penduduknya ke wilayah yang didudukinya. Merespon tindakan Israel di Jerusalem ini, sekali lagi Dewan Keamanan menerbitkan Resolusi No 465 Maret 1980 memperingatkan Israel menghentikan pembangunan pemukiman yang akan mengubah status kota Jerusalem. Namun, Israel kembali mengabaikan resolusi ini. Malah pada tahun 1980 itu juga, seperti disebut sebelumnya, Israel  menerbitkan UU yang menentukan bahwa Jerusalem adalah ibukota Israel.

Lalu, apa reaksi PBB?   

Dewan Keamanan PBB -dimana Amerika adalah anggota tetapnya yang memiliki hak veto- sekali lagi mengeluarkan Resolusi No.  478, Agustus 1980. Resolusi itu menyatakan penetapan Jerusalem sebagai ibukota Israel itu nyata-nyata bertentangan dengan hukum internasional yakni Konvensi Jenewa IV 1949 dan meminta negara-negara yang sempat menempatkan kantor perwakilan diplomatik di Jerusalem untuk memindahkannya dari kota itu. Lebih jauh lagi, Dewan Keamanan tidak mengakui UU penetapan Jerusalem sebagai ibukota serta menyatakannya tidak sah (null and void). Ada banyak resolusi Majelis Umum dan Dewan Kemanan yang lahir kemudian terkait Jerusalem atau wilayah pendudukan dan yang terakhir resolusi Dewan Keamanan terbit pada Desember tahun lalu. Resolusi-resolusi itu pada prinsipnya memuat penentangan tindakan Israel di Jerusalem; penegasan bahwa Jerusalem adalah wilayah pendudukan; dan Israel melanggar hukum internasional terkait dengan fungsinya sebagai Penguasa pendudukan di wilayah pendudukan.

Bagaimana dengan reaksi negara-negara dan organisasi internasional lain?

Sampai hari ini tidak ada satupun negara di dunia yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel menempatkan kedutaannya di kota Jerusalem. Artinya, negara-negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel tidak mengakui Jerusalem sebagai wilayah negara Israel. Tidak memasukkan Jerusalem (Timur) sebagai wilayah Israel juga merupakan sikap dari Palang Merah Internasional, (International Committee of the Red Cross)  suatu organisasi kemanusiaan internasional paling berwibawa di dunia. Demikian juga dengan sikap Mahkamah Internasional (International Court of Justice) yang tercermin dari fatwanya (advisory opinion) pada kasus Separation Barrier Tahun 2004.    

Jadi bagaimana kesimpulannya tindakan AS ini     

Dalam prinsip hukum internasional, negara harus mematuhi perjanjian internasional dimana ia telah terikat kepadanya sesuai dengan cara-cara pengikatan yang diatur dalam perjanjian itu. Negara juga harus mematuhi hukum kebiasaan internasional. Sebagai anggota PBB, negara harus mematuhi resolusi-resolusi PBB. Dalam Pasal 6 Konstitusi Amerika Serikat dan dalam putusan-putusan pengadilannya jelas menyebutkan atau mengakui bahwa hukum internasional adalah hukum AS (US law of the land) juga.


Demikian juga keterikatan AS dengan Resolusi Dewan Keamanan dimana AS adalah anggota tetapnya. Oleh karena itu, tindakan AS melalui Jerusalem Embassy Act 1995 dan pernyatan Trump itu adalah bentuk nyata pelanggaran hukum internasional. AS telah melanggar Konvensi Jenewa yang telah diratifikasinya, melanggar banyak Resolusi Dewan Keamanan dan Majelis Umum PBB. Dengan tindakannya itu, sekarang AS -selain Israel- adalah satu-satunya negara di dunia yang mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel dan dengan demikian, AS adalah satu-satunya negara di dunia yang tidak patuh kepada hukum internasional.

Saturday, October 21, 2017

Perppu No. 1 Tahun 2017 dan Perjanjian Internasional

 IRFAN R HUTAGALUNG

Dosen Hukum Internasional FISIP UIN Jakarta dan Mengajar di Sekolah Tinggi Hukum Jentera 
(Dimuat dalam Rubrik Opini Konstitusi pada Majalah Konstitusi Terbitan Mahkamah Konstitusi Nomor 126 Agustus 2017) 
Pemerintah kembali menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Kali ini Perppu berjudul Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan yang bernomor 1 Tahun 2017. Perppu ini memberikan kewenangan kepada otoritas perpajakan untuk mendapatkan dan menerima informasi keuangan guna kepentingan perpajakan dari lembaga jasa keuangan yang melaksanakan kegiatan perbankan, pasar modal, perasuransian, atau lembaga/entitas jasa keuangan lainnya. Setelah informasi ini diperoleh, Menteri Keuangan berwenang mempertukarkannya dengan otoritas keuangan negara atau yurisdiksi lain. Ini dilakukan sebagai bagian dari upaya Indonesia dalam kerangka kerjasama internasional untuk memerangi penghindaran/penggelapan pajak termasuk penyucian uang. Juga untuk memaksimalkan penerimaan pajak nasional. Sebelum Perppu ini lahir, Direktorat Jenderal Pajak secara umum tidak berwenang untuk meminta dan memperoleh informasi keuangan dimaksud karena informasi itu dilindungi atau dirahasiakan oleh Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang Perbankan Syariah, Undang-Undang Pasar Modal, Undang-Undang Perdagangan Berjangka Komoditi. Dan bagi mereka yang mengungkapkan informasi itu tanpa alas hukum dapat dikenai sanksi pidana.

Persoalannya,  mengapa pemerintah menerbitkan Perppu? Mengapa tidak mengajukan suatu rancangan undang-undang (RUU) atau rancangan perubahan undang-undang yang menganulir kerahasian informasi perbankan, pasar modal, dan bidang lain? Jawabannya adalah pemerintah terikat kepada suatu perjanjian internasional, yakni “Convention On Mutual Administrative Assistance In Tax Matters dan “The Multilateral Competent Authority Agreement” (MCAA). Konvensi itu meminta negara pihak membuat legislasi yang memungkikan terjadinya perolehan dan pertukaran informasi keuangan terkait perpajakan. Dan melalui MCAA, Indonesia berkomitmen merealisasikan pertukaran itu pada September 2018. Lalu, untuk mengimplementasikan kedua komitmen hukum internasional ini, pemerintah menerbitkan Perppu. Karena jika dengan undang-undang, tenggat implementasi diyakini tidak akan tercapai.

Tulisan ini tidak membahas apakah penerbitan Perppu  memenuhi kegentingan memaksa atau tidak. Melainkan,  menunjukkan praktik pengikatan Indonesia kepada perjanjian internasional dalam kasus perjanjian internasional di atas bermasalah serius. 

Ratifikasi dengan Perpres     
Sebagaimana hukum di negara lain pada umumnya, setelah ditandatangani pemerintah dan sebelum perjanjian internasional yang penting mengikat negara, suatu bentuk persetujuan yang lajim disebut ratifikasi perlu dilakukan. Untuk perjanjian yang sangat penting, persetujuan diberikan parlemen atau lembaga perwakilan rakyat. Sementara untuk perjanjian yang kurang penting, persetujuan cukup diberikan oleh kepala negara atau kepala pemerintahan. Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Dasar antara lain mengatur, jika presiden (pemerintah) membuat suatu perjanjian internasional yang mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang, persetujuan (ratifikasi) DPR harus diminta sebelum Indonesia menyatakan keterikatannya kepada perjanjian internasional dimaksud. Senada dengan itu, Pasal 10 UU Perjanjian Internasional juga mensyaratkan perlunya pengesahan atau ratifikasi DPR terhadap perjanjian internasional yang mengakibatkan pembentukan kaidah hukum baru.

Konvensi dan persetujuan tersebut di atas memaksa Indonesia membentuk hukum baru dan mengubah setidaknya lima undang-undang sebagaimana terbaca di dalam Pasal 8 Perppu itu. Tetapi, Konvensi itu sendiri ternyata diratifikasi hanya dengan peraturan presiden, yakni Perpres Nomor 159 Tahun 2014. Lalu, tahun berikutnya, Menteri Keuangan ketika itu menandatangani “The Multilateral Competent Authority Agreement”.

Apakah ini bentuk keteledoran pemerintah ketika itu yang tidak menyadari bahwa Konvensi dan  Persetujuan dimaksud mengakibatkan perlunya perubahan atau pembentukan undang-undang baru sehingga seharusnya diratifikasi dengan undang-undang?

Fait Accompli DPR
Sekarang,  Perppu telah di tangan DPR. Bagaimana jika DPR menolaknya karena misalnya menganggap pertukaran informasi tidak membawa manfaat justru malah merugikan kepentingan nasional? Menurut Pasal 22 UUD, pemerintah harus mencabutnya. Namun, Perppu ini bukan sembarang Perppu. Jika DPR tidak menyetujui Perppu dimaksud, Indonesia berpotensi melanggar hukum internasional karena Indonesia tidak memenuhi komitmennya sebagaimana termaktub di dalam Konvensi dan Persetujuan tersebut di atas. Pemerintah tidak bisa menyatakan kepada para pihak bahwa Indonesia tidak menjalankan janji terhadap Konvensi dan Persetujuan itu karena DPR tidak sependapat dengannya. Pasal 27 Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional melarang negara mendalilkan hukum nasional sebagai dasar kealpaannya melaksanakan perjanjian internasional. Memang, Indonesia dimungkinkan untuk mundur dari Konvensi dan Persetujuan itu. Tapi, itu pasti langkah yang sangat sulit karena akan mempermalukan diri sendiri.

Walaupun besar kemungkinan DPR tidak akan menolak Perppu itu, tapi jelas pemerintah telah mem-fait accompli-nya. Artinya, Pasal 11 UUD telah dikebiri. Praktik ini hanya dapat dihindari jika DPR sendiri aktif dalam menjalankan fungsi kontrol dan menyelia setiap perjanjian internasional yang dilakukan pemerintah serta menilai apakah bentuk ratifikasi yang dilakukan dengan peraturan presiden telah sesuai dengan prinsip yang diatur di dalam Pasal 11 Ayat (2) UUD sebelum ratifikasi itu dilakukan. Untuk itu, langkah pertama yang harus dilakukan DPR adalah menuntaskan perubahan UU Perjanjian Internasional yang walaupun sudah dijadikan program legislasi nasional (Prolegnas) tahun 2015-2019 tetapi belum dimasukkan ke dalam Prolegnas Prioritas tahun ini. Salah satu kelemahan dari UU Perjanjian Internasional adalah dominannya peran pemerintah dalam menentukan mana perjanjian internasional yang perlu persetujuan DPR dan mana yang tidak. Kelemahan ini sebagian sudah ditambal melalui UU Perdagangan Nomor 7 Tahun 2014 yang mewajibkan pemerintah mengirimkan kepada DPR setiap perjanjian internasional di bidang perdagangan yang ditandatanganinya. Lalu, DPR yang akan menentukan mana perjanjian yang memerlukan pengesahan dengan perpres dan mana yang dengan undang-undang.