Sunday, December 7, 2008

Pelajaran Dari Vonis Salah

Oleh: Irfan R. Hutagalung
Dimuat 3/12/08 di http://www.legalitas.org/?q=content/pelajaran-dari-vonis-salah
Devid Eko Prianto dan Imam Hambali a.k.a Kemat meringkuk di penjara karena vonis hakim menyatakan mereka terbukti membunuh Asrori yang mayatnya ditemukan di kebun tebu, Jombang. Maman Sugianto alias Sugik, teman mereka, tengah menjalani peradilan untuk kasus yang sama. Ternyata, mayat yang tercampak di kebun tebu itu bukan Asrori. Mayat Asrori sendiri belakangan diketahui terkubur di luar rumah orang tua Very Idham Heniansyah a.k.a Ryan di Jombang. Ryan mengakui membunuhnya. Polisi, yang mengawali penyidikan pembunuhan ini, dengan uji DNA, telah pula memastikan Asrorilah salah satu mayat yang berhasil diangkat dari belakang rumah orang tua Ryan itu.

Lalu, polisi akhirnya mampu mengidentifikasi mayat di kebun tebu. Itu adalah mayat Ahmad Fauzin Suyanto alias Antonius. Tersangka pembunuhnya (kalau polisi tidak salah lagi) pun sudah tertangkap: Rudi Hartono yang bernama lain Rangga.

Cerita Devid-Kemat-Sugik ini adalah ulangan terkini dari beberapa ihwal serupa sejak pertama kali terekspos pada kasus Sengkon-Karta lebih dari tiga puluh tahun lampau. Terungkapnya kasus salah mengadili (wrongful conviction) ini merupakan kegagalan sistemik peradilan pidana untuk mengantisipasi: kesimpulan penyidikan suatu perkara, pembuktian di pengadilan sampai kesimpulan hakim bisa keliru.

Akibatnya tragis. Pertama, ketika diketahui bahwa persidangan atau putusannya galat, para korban peradilan ini tidak segera terpulihkan statusnya sebagai orang yang tidak bersalah. Apalagi pasti dan lekas mendapat ganti rugi atas penderitaan akibat kecerobohan peradilan itu. Sampai tulisan ini dibuat dan setelah lebih dua bulan sejak dipastikannya mayat di kebun tebu bukan Asrori, Devid dan Kemat masih mendekan di penjara, sementara Sugik masih disidang di PN Jombang.

Untuk mendapat pemulihan status (exoneration), Devid dan Kemat harus mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK). Suatu upaya hukum yang tidak pro korban karena korbanlah yang harus aktif menyediakan dan memaparkan fakta baru (novum) kepada suatu peradilan baru untuk menunjukkan keteledoran proses peradilan sebelumnya. Sementara bagi Sugik, agaknya dia harus tabah menunggu jaksa penuntut umum dan majelis hakim mampu keluar dari jerat interpretasi mereka atas KUHAP. Uji DNA sebagai salah satu cara identifikasi untuk mendukung pembuktian, mungkin masih asing buat mereka. Karenanya, mereka masih ngotot melanjutkan peradilan.

Kedua, munculnya korban putusan keliru diketahui bukan lewat mekanisme yang tersedia dalam sistem peradilan pidana, melainkan oleh faktor kebetulan. Andaikan Ryan tak pernah tertangkap dan mengaku membunuh Asrori! Atau, mayat Asrori tak pernah ditemukan sehingga uji DNA tak mungkin bisa dilakukan atasnya. Bayangkan jika Gunel tak pernah mengaku sebagai pembunuh sesungguhnya pada kasus Sengkon-Karta! Dan, Risman Lakoro dengan istrinya Rostin Mahadji, korban serupa dari Gorontalo, pasti akan mendekam di penjara selama masa hukuman jika Alta Lakoro, anaknya, yang menurut hakim telah mereka bunuh tak pernah pulang ke rumah.

Terkait dengan tragedi pertama, sistem peradilan pidana harus mampu memformulasikan suatu strategi hukum jalan keluar guna segera memulihkan korban ke keadaan semula. Termasuk memberikan kompensasi. Upaya hukum yang ada tidak memihak korban. Di samping prosesnya memakan waktu, upaya hukum ini meletakkan beban penganuliran putusan peradilan yang salah itu kepada korban. Bukan pada pihak yang telah melakukan kesalahan itu sendiri: penyidik, penuntut umum, atau majelis hakim.

Sehubungan dengan petaka kedua, aparat penegak sistem peradilan pidana harus berani menangkap pesan bahwa adanya korban sejenis yang belum terungkap sangat mungkin. Bahkan, para korban disebut di atas mungkin saja fenomena puncak gunung es.
Sistem peradilan pidana jangan membiarkan para korban dimaksud menunggu berputus asa akan datangnya kebenaran yang entah kapan. Untuk itu, suatu aksi hukum semacam penyidikan ulang atas para tersangka atau terpidana yang ketika disidik diduga menabrak KUHAP misalnya, mendesak dikerjakan. Seperti absennya penasehat hukum tersangka; intimidasi; penyiksaan -pola umum yang diduga menimpa Devid-Kemat-Sugik, Sengkon-Karta, Risman-Rostin- saat dimintai keterangan oleh penyidik. Kepolisian berani meminta maaf atas kesalahan penyidikan yang dilakukan aparatnya. Keberanian ini harusnya diimplementasikan dalam aksi hukum nyata seperti disebut di atas.

Langkah merumuskan strategi hukum untuk lekas memulihkan status korban dan menemukan dugaan korban vonis salah, harus diletakkan dalam paradigma baru: sistem peradilan pidana termasuk KUHAP tidak selalu bisa memastikan setiap output-nya pasti benar. Rencana revisi KUHAP juga harus berawal dari pola pikir ini.

Friday, August 22, 2008

Ulangan Polemik Syarat Calon Presiden

Irfan R. Hutagalung
LEGALITAS .ORG 18 Agustus 2008
http://www.legalitas.org/?q=content/ulangan-polemik-syarat-calon-presiden

A politician thinks of the next election; A stateman thinks of the next generation” James Freeman Clarke 4 April 1810 – 8 Juni 1888

Serupa lima tahun lampau, kualifikasi calon presiden (capres) kembali disoal. Di tahun 2003 media melaporkan perdebatan seputar syarat capres ini: pendidikan minimal; status hukum; dan prosentase perolehan minimal kursi DPR (threshold) partai politik/gabungan partai politik agar dapat mengusung pasangan calon. Kini, di tahun 2008 polemik ini diputar ulang. Syarat pendidikan minimal masih disengketakan, sementara status hukum bukan terdakwa nampaknya tidak lagi menjadi isu. Tetapi, muncul preferensi baru: capres sebaiknya berusia kurang dari lima puluh tahun. Reaksipun muncul. (“Megawati Tantang Presiden PKS”, Koran Tempo, 23/07/2008).

Polemik syarat capres teranyar seperti terungkap lewat berita itu, sesungguhnya ekstensi dari perdebatan sama yang tengah berlangsung di Senayan. DPR memang tengah membahas RUU Pilpres baru menggantikan UU Pilpres buatan 2003. Seperti lima tahun silam, Panitia Khusus (Pansus) RUU Pilpres DPR bersilang paham lagi tentang syarat pendidikan minimal dan threshold parpol/gabungan parpol untuk dapat mengajukan pasangan capres. Fraksi PDIP memilih cukup khatam SLTA plus threshold tinggi. Sementara Fraksi PKS meminta sarjana dan threshold rendah. (“Syarat Capres Bakal Alot” Kompas, 7/7 2008). Nanti, di tahun 2013 bukan mustahil perdebatan serupa terulang kembali.

Begitu pelikkah topik persyaratan capres ini? Sama sekali tidak. Anggota DPR tahu: Beberapa yang tak sarjana pantas jadi presiden dan sebaliknya bukan sedikit sarjana yang dungu. Sarjana atau bukan sesungguhnya tidak soal. Dan tinggi-rendah threshold hanya berkolerasi dengan jumlah kandidat yang akan berlaga. Bukan pada kualitas calon. Usia? Ronald Reagan salah satu presiden AS terpopuler terpilih kedua kali pada usia 74 tahun. Dan John McCain, 72 tahun, adalah kandidat tertua yang terpilih sebagai capres AS dari Partai Republik.

Karenanya, sulit dipercaya keseriusan politisi dalam mempolemikkan dan membahas kualifikasi calon kepala negara ini. Mudah ditebak, politisi sedang menegosiasi ulang kesepakatan lama karena berubahnya variabel-variabel dan konfigurasi politik. Masyarakat mafhum calon parpol/gabungan parpol yang satu bergelar sarjana dan muda. Namun, diperkirakan jumlah perolehan kursi DPR pengusungnya sedikit. Sementara itu, calon dari poros lain sebaliknya. Syarat bukan terdakwa kali ini tak lagi diributkan karena parpol pengusung punya jago baru.
Perilaku politisi ini nampaknya membenarkan ungkapan James F. Clarke di atas. Di sisi lain, dari perspektif legislative drafting , sesungguhnya ada persoalan di aturan dasar tentang pengaturan syarat capres ini.

UUD ‘45 Perubahan Ketiga Pasal 6 (1) hanya menentukan tiga syarat: WNI sejak lahir dan tak pernah berkewarganegaraan lain; tak pernah menghianati negara; serta mampu rohani dan jasmani. Memang, ini saja tentu tidak cukup. Namun, UUD Amandemen berhenti mengatur hanya pada tiga hal itu. Lalu, menentukan pengaturan lebih lanjut syarat-syarat dimaksud kepada UU lewat Pasal 6 (2). Pengaturan lanjutan seharusnya diartikan sebagai pembentukan norma turunan guna menunjang terpenuhinya norma utama. Misalnya aturan apa yang harus disusun untuk memastikan capres dapat dinilai mampu secara rohani dan jasmani menjalankan tugas. Tetapi, Pasal 6 (2) itu dipahami sebagai pendelegasian kewenangan dari UUD ke UU untuk mengatur kekurangan syarat-syarat yang diatur di dalam konstitusi itu.

Jadi, materi syarat-syarat capres yang seharusnya diletakkan utuh di hukum dasar, digeser ke materi UU. Pemindahan sebagian syarat capres dari norma UUD ke UU, berarti UUD telah dengan keliru memfasilitasi pembuat UU untuk dengan mudah menegosiasi ulang syarat-syarat ini ketika kepentingan pragmatis lima tahunan menuntut. Akibatnya, penentuan syarat capres dimaksud digantungkan sepenuhnya di forum lobi politisi pembentuk UU demi semata-mata proyeksi pilpres akan datang. Maka, seperti disebut di awal, bermunculanlah pilihan kualifikasi versi masing-masing pengusung disesuaikan dengan kualifikasi calonnya, sembari menolak kriteria lain jika itu akan mendiskualifikasi jagonya. Lalu, tersebutlah dua puluh syarat capres di Pasal 6 UU Pilpres No. 23/2003. Tiga ditulis ulang dari UUD. Tujuh belas hasil kreasi pembuat UU. Mulai dari syarat berpendidikan minimal SLTA, sampai keharusan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan dihapusnya syarat bukan terdakwa.

Dari polemik dan pembahasan RUU Pilpres baru seperti yang diberitakan, terang sudah ketentuan final syarat capres untuk pilpres 2009 tak akan bebas dari kepentingan pragmatis seperti dulu. Akhirnya serupa UU pemilu legislatif, UU No. 10/2008, tak mustahil UU pilpres baru ini bakalan di-mahkamah konstitusikan pula. Padahal, sesungguhnya problem dasarnya dikontribusi justru oleh konstitusi itu sendiri, yang alpa membedakan mana materi muatan UUD dan mana materi UU, serta ketentuan pendelegasian suatu norma UUD ke norma UU.

Thursday, July 24, 2008

Ahmadiyah dan Beleid Problematis

Koran Tempo, Sabtu, 17 Mei 2008


Ahmadiyah dan Beleid Problematis

Dua menteri dan Jaksa Agung direpotkan oleh para penentang Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Terutama setelah Badan Koordinasi Pengawas KepercayaanMasyarakat (Bakorpakem) memaklumatkan sangkaan: JAI telah menyimpang dari ajaran pokok Islam dan diminta agar dilarang. Lalu, Menteri Agama, MenteriDalam Negeri, dan Jaksa Agung direncanakan menerbitkan surat keputusan bersama (SKB) tentang kegiatan dan mungkin nasib JAI. Namun, SKB tak jua kunjung dirilis dari rencana yang sudah ditentukan. Kelihatan pemerintah jadi kesulitan sendiri.

Sesungguhnya pemerintahlah yang mempersulit dirinya sendiri. Pemerintah mau direpotkan oleh penentang JAI, dan sudi memelihara undang-undang yang mengandung problem yuridis akut. Seperti yang diberitakan, Bakorpakem menghadapkan JAI pada ancaman runyam: melanggar Penetapan Presiden Nomor 1Tahun 1965, yang kemudian dijadikan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 TentangPencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Aturan yang dilanggar ituada pada Pasal 1, yang pada pokoknya melarang melakukan penafsiran dan kegiatan keagamaan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. Lalu, badan ini merekomendasikan agar pemerintah menjalankan perintah Pasal 2 ayat1 dan 2 undang-undang dimaksud: beri peringatan keras lewat SKB; jikamembangkang, bubarkan.

Telah disebutkan, UU Nomor 1/PNPS/1965 berpangkal dari penetapan presiden (penpres). Penpres bukanlah bentuk perundang-undangan yang diakui UUD 1945, melainkan suatu bentuk hukum "jadi-jadian" yang pembentukannya diklaim Soekarno menjadi wewenangnya. Lewat Surat Presiden Nomor 2262/Hk/59, 20Agustus 1959, kepada DPR, disusul dengan Surat Nomor 3639/Hk59, 26 November1959, Soekarno mendalilkan klaimnya itu sebagai buah dari kewenangan luar biasa yang ia tuai berkat Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Karena menyimpangdari UUD, oleh Orde Baru, lewat UU Nomor 5 Tahun 1969, bentuk hukum penpres ini dihapuskan.

Namun, mengingat antara lain materi muatannya, beberapa penpres dijadikan undang-undang penuh. Sebagian lainnya, seperti Penpres No. 1/1965 ini,termasuk juga Penpres No. 11/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi yang termasyhur itu, dinyatakan sebagai undang-undang namun bersyarat. Masing-masing menjadi UU No. 1/PNPS/1965 dan UU No. 11/PNPS/1963. Penggalan Penjelasan Umum UU No. 5/1969 menyebutkan, "Harus diadakan perbaikan/penyempurnaan dalam arti bahwa materi daripada penetapan-penetapan presiden dan peraturan-peraturan presiden tersebut ditampung atau dijadikan bahan bagi penyusunan undang-undang yang baru."

Alih-alih undang-undang ini dipermak, belakangan Orde Baru--termasuk Orde Reformasi--malah acap mencema orang dengan UU No.1/PNPS/1965 ini. Terutama lewat Pasal 4 tentang penodaan agama, yang disisipkan ke dalam KUHP menjadi Pasal 156a (di Koran Tempo saya sebut Pasal 156b seharusnya Pasal 156a). Berbeda dengan UU Pemberantasan Kegiatan Subversi, yang akhirnya dikubur dengan UU No. 26/1999, sampai sepuluh tahun Orde Baru khatam, undang-undang ini tetap lestari, tak berubah. Malah sekarang dipersiapkan menunggu korban baru.

Sementara itu, terlepas apakah substansinya tepat atau tidak, Penjelasan UU No. 1/PNPS/1965 menunjukkan bahwa ia dibentuk pada pokoknya untuk mengatasi banyaknya kelompok aliran kebatinan/kepercayaan yang dinilai melanggar hukum dan memecah kesatuan nasional masa itu. JAI disebutkan sudah ada sejak zaman revolusi. Mereka kasat mata bagi hamba hukum zaman Soekarno dan Soeharto. Jika JAI masuk gerombolan ini, tentu sudah dari dulu undang-undang ini menumpas mereka. Jadi, tuduhan itu tidak hanya kasep, tapi juga salah sasaran.

Di sisi lain, sebagai manifestasi dari besarnya kekuasaan Presiden Soekarno dan pengaruh suasana pembentukannya, UU No. 1/PNPS/1965 sengaja memberi pemerintah--termasuk dalam konteks sekarang Bakorpakem--kekuasaan yang eksesif bermuatan kekuasaan yudisial. Menentukan pengertian kegiatan agama yang menyimpang; memvonis ada-tidaknya penyimpangan; dan mengeksekusinya sekaligus. Bakorpakem mungkin saja dipenuhi para agamawan yang mumpuni, berilmu tinggi, serta dilimpahi makrifat paripurna. Lalu mereka menyimpulkan praktek keagamaan JAI menyimpang dan meminta agar hal itu ditindak.

Namun, dasar hukum sangkaannya tidak bersumber dari suatu undang-undang yangberlaku di negara ini. Belum pernah ada undang-undang yang menafsirkan, memerinci ajaran-ajaran pokok Islam, dan mendeskripsi praktek-praktek keagamaan menyimpang. Dan sudah barang tentu pendapat mereka ini bukanlah undang-undang yang harus ditegakkan lewat SKB itu.

Kalaupun "pelanggar" diproses di peradilan atas tuduhan dimaksud, pada undang-undang apa penyidik dan penuntut umum mendalilkan sangkaannya? Dan pada undang-undang yang mana pula hakim menyandarkan postulat yuridisnya dalam mengadili cemaan dan tuntutan tersebut? Sebab, seperti disebutkan, tidak ada undang-undang yang bisa dirujuk untuk membuat penyidik, penuntut, dan hakim dapat menentukan apakah terdakwa telah melakukan praktek agama menyimpang.

Dengan demikian, pemerintah tak perlu menerbitkan SKB baru, tapi undang-undang baru untuk merevisi--jika tidak mencabut--undang-undang problematis ini.

Putusan MK dan Kebingungan Pemahaman

Putusan MK dan Kebingungan Pemahaman

Kompas, Senin, 28 Agustus 2006 (versi cetak 29 Agustus 2006)

"Some conduct is immoral, harmful, or both. Some conduct is criminal and punishable. The fact that conduct is immoral or harmful does not mean, however, that is criminal and punishable." (Dressler: 2001)

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) agaknya akan terus jadi bahan berita dan perdebatan. Di samping putusan terbaru uji materi Undang-Undang Komisi Yudisial yang "memotong" kewenangan badan itu, uji materi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih relevan dibincangkan.

Terutama setelah munculnya tanggapan kontra yang sesungguhnya lahir dari kekurangpahaman tentang di mana rumusan suatu tindak pidana ditentukan dan diletakkan. Di undang-undangkah atau di norma kehidupan sosial dan rasa keadilan dalam masyarakat atau keduanya. Juga tentang merumuskan suatu tindak pidana dalam kalimat perundang-undangan (drafting).

Menempatkan delik
Di Belanda, sebelum akhir abad ke-18, Apeldoorn menyatakan, "Hakim dapat menjatuhkan hukuman atas peristiwa (pidana) yang oleh undang-undang tidak dengan tegas dinyatakan dapat dikenai hukuman," (Apeldoorn; 2001 cet 29). Model ini usai setelah diadopsinya prinsip pemisahan kekuasaannya Montesquieu. Tugas hakim membuat hukum digantikan legislator. Hakim tinggal memutuskan lewat interpretasinya, apakah dugaan tindak pidana yang diajukan sesuai dengan perbuatan pidana yang dapat dihukum menurut hukum yang dibuat oleh legislator sebelumnya.

Lewat KUHP, prinsip ini masuk ke Indonesia. Mahasiswa hukum semester II pasti tahu Pasal 1 Ayat 1 KUHP: "Sesuatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali atas ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya." Jadi, lewat asas ini suatu tindak pidana diletakkan dan ditentukan hanya lewat undang-undang.

Ketentuan Pasal 2 Ayat 1 undang-undang itu tidak bertentangan dengan asas legalitas dimaksud. Problem muncul di penjelasan pasal itu ketika memaknai frase "melawan hukum". Tertulis: "Yang dimaksud melawan hukum mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formal dan dalam arti materiil, yakni meski perbuatan itu tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun jika perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai rasa keadilan atau norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan itu dapat dipidana."
Berdasarkan penjelasan ini, pembuat undang-undang menyuruh penyidik (dalam rangka penyidikan serta penuntutan) dan hakim (dalam rangka memeriksa dan memutus perkara), selain yang sudah disebut dalam ketentuan undang-undang, untuk menentukan sendiri apa itu perbuatan melawan hukum menurut rasa keadilan atau norma kehidupan sosial.

Kalimat di penjelasan ini membawa norma hukum pidana kita ke abad ke-18. Bedanya, sekarang diotorisasi oleh legislature. Pantaslah para hakim MK memenggalnya. Bukan karena mereka konservatif (Donny G Adian, Kompas, 7/8/2006) atau centengnya koruptor (Denny Indrayana, Tempo edisi 23/2006), melainkan karena asas legalitas itu. Asas universal sistem hukum pidana nasional maupun pidana internasional.

Merumuskan delik
Dari rumusan pasal dan penjelasannya, tak lain terefleksi pertama, kegagalan perancang (drafter) dan pembuat undang-undang dalam merumuskan delik korupsi yang baik. Bandingkanlah dengan rumusan delik Undang-Undang Anti Korupsi Sierra Leone Tahun 2000, misalnya, yang secara detail merumuskan beragam delik korupsi. Kedua, rumusan pasal dan penjelasannya itu sesungguhnya cermin dari kebingungan dalam membedakan "hukum" dan "sumber hukum". Juga, dalam memilah "hukum tertulis" dan "hukum kebiasaan" (customary law).

"Rasa keadilan" (masyarakat) bukan hukum, tetapi sumber hukum. Dalam konteks pasal ini dan penjelasannya "rasa keadilan masyarakat" sebagai perbuatan melawan hukum tidaklah mungkin menjadi unsur pidana dalam rumusan suatu delik. Terbayang tidak, bagaimana penyidik atau penuntut umum menanggung beban pembuktian (burden of proof) untuk menentukan suatu unsur tindak pidana, yakni "rasa keadilan masyarakat" terbukti telah terpenuhi? Dan bagaimana pula hakim bisa memutuskan bahwa klaim penuntut umum itu secara sah dan meyakinkan (beyond reasonable doubt) telah terbukti? Model hukum acara pidana seperti apa yang bisa mengakomodasi proses pembuktian seperti ini?

Sementara itu, "norma kehidupan sosial dalam masyarakat" bukanlah norma yang negara harus tegakkan. Masuk dalam norma kategori ini adalah norma agama dan adat. Ini adalah hukum kebiasaan. Norma ini bisa ditegakkan oleh negara hanya setelah diadopsi menjadi norma hukum negara lewat proses legislasi. Jadi, kalau seorang melakukan perbuatan tercela untuk memperkaya diri atau orang lain atau korporasi sepanjang itu tidak dinyatakan sebagai perbuatan pidana yang dapat dipidana seperti yang ditulis Dressler di atas, perbuatan itu tidak dapat dipidana atas dasar Pasal 2 Ayat 1.

Akankah perburuan koruptor lebih sulit sebagaimana disinyalir oleh Jaksa Agung? Umumnya kejahatan kerah putih sulit diungkap. Tetapi, seperti disebutkan di atas, buruknya perumusan delik juga mengontribusi. Namun, ada kekhawatiran lain sesungguhnya. Jangan-jangan komentar petinggi hukum itu adalah excuse atas ketidakmampuan atau keengganan aparat untuk menangkap koruptor. Pun, dengan mensinyalir putusan MK mempersulit penangkapan koruptor, ada instrumen bagus untuk tebang pilih bukan?

IRFAN R. HUTAGALUNG

Status Perjanjian Dengan GAM

Status Perjanjian Dengan GAM

Kompas, Kamis - 11 Agustus 2005

Sebentar lagi perunding RI dan GAM akan bertemu kembali untuk menandatangani perjanjian (agreement) atas kesepakatan yang telah mereka buat di Helsinki, Finlandia, Juli lalu. Sementara itu, karena cemas akan isi perjanjian, sebagian anggota DPR mengingatkan pemerintah untuk meminta persetujuan DPR seperti yang diperintahkan Pasal 11 UUD 1945 (Kompas, 20 Juli 2005).

Menurut pasal ini, tanpa persetujuan DPR perjanjian dimaksud tidak akan berlaku. Pun, Wakil Presiden, sebelum ia ralat sendiri, sempat berujar, kesepakatan itu memerlukan ratifikasi DPR layaknya perjanjian internasional (Kompas, 26 Juli 2005).

UUD 1945 tidak mendefinisikan perjanjian internasional. Namun, UU No 24/2000 tentang Perjanjian Internasional mengatur hal itu. Pasal 1 menyebutkan: Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis.... Pasal ini belum tuntas menjelaskan apa itu perjanjian internasional. Siapa para pihak belum disebut. Pengertian perjanjian internasional, menurut undang-undang ini, lebih lengkap setelah membaca Pasal 4 (1): Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih, organisasi internasional, atau subyek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan;....

Terlepas klaim GAM atas tanah Aceh dan klaim pimpinan GAM di Swedia sebagai pemerintahan di pengasingan dari sebuah negara bernama Neugara Atjeh, tak perlu repot berargumentasi bahwa Aceh bukanlah sebuah negara dan GAM bukanlah suatu pemerintahan di pengasingan. Pun, GAM bukanlah organisasi internasional layaknya International Committee of the Red Cross (ICRC), World Bank, dan organisasi-organisasi intergovernmental sejenis. Namun, tak mudah untuk segera mengatakan GAM juga bukan subyek hukum internasional.

Kelompok perlawanan

Kita tahu GAM adalah organisasi yang hendak memutus kedaulatan Indonesia atas Aceh dan ingin mendirikan pemerintahan sendiri di sana layaknya sebuah negara. Untuk itu, GAM berpuluh tahun memanggul senjata melawan TNI/Polri. GAM sering kali diberitakan terpukul dan terdesak. Tapi harus diakui, sampai detik ini mereka tak pernah pupus tuntas. Tak tersanggah GAM adalah kelompok perlawanan (insurgent). Tetapi, untuk dapat memperoleh status sebagai subyek hukum internasional, kelompok perlawanan harus memperoleh pengakuan (recognition) dari negara yang ia lawan atau dari negara ketiga.

Indonesia tentu tak akan memberi pengakuan kepada GAM sebagai belligerent, kelompok perlawanan yang memperoleh pengakuan. Negara ketiga juga tidak mau repot mengakui GAM, walaupun beberapa realitas cukup dijadikan alasan bahwa GAM pantas disebut belligerent, setidaknya de facto; resistensi, organisasi, dan kontrol sebagian kawasan. Bahkan, GAM berhasil memaksa Indonesia sekali lagi datang ke meja perundingan. GAM mampu secara substantif memainkan fungsi sebagai subyek hukum internasional.

Lalu, apakah perjanjian itu merupakan perjanjian internasional? Dalam praktik hukum internasional, perjanjian yang dibuat oleh pemerintah yang sah dengan kelompok perlawanan biasa disebut perjanjian internasional. Sebutlah misalnya perjanjian antara Pemerintah Sandinista Nikaragua dan pemberontak Kontra tahun 1988; Lome Accord antara Pemerintah Sierra Leone dan Front Persatuan Revolusioner Sierra Leone (Revolutionary United Front of Sierra Leone) tahun 1999. Justifikasi kelompok perlawanan untuk membuat perjanjian (internasional) dengan negara yang ia lawan juga tersedia di Common Article 3 Konvensi-Konvensi Geneva 1949.

Namun, perjanjian itu bukanlah perjanjian internasional menurut dua norma di atas. GAM memang berkapasitas memainkan fungsi layaknya subyek hukum internasional, tapi secara formal ia tak pernah diakui sebagai belligerent. Perjanjian COHA dan perjanjian yang akan datang pun tak mengubah statusnya dari insurgent ke belligerent. Ini ditegaskan juga di Common Article 3 bahwa perjanjian yang dibuat antara pihak-pihak yang berkonflik tidak mengubah status mereka sehubungan dengan konflik dimaksud. Singkatnya, menurut hukum internasional, GAM bukan subyek hukum internasional dan oleh karena itu, perjanjian ini tidak dalam yurisdiksi dua norma hukum itu. Ratifikasi DPR atas perjanjian itu tentu tak relevan.

Namun, apa pun kualifikasinya, begitu perjanjian disepakati, para pihak harus patuh pada isi perjanjian, pacta sunt servanda. Ini adalah kebiasaan hukum internasional yang mengikat. Perbedaan status antara GAM dan Pemerintah RI terhadap isi perjanjian tidak relevan lagi. Bahkan, sebagian ketentuan Vienna Convention on Law of Treaties tahun 1969 terlepas konvensi ini hanya berlaku bagi perjanjian yang dibuat antarnegara dan terlepas Indonesia peserta konvensi atau bukan tetap perlu dicermati, mengingat sebagian normanya berkualifikasi sebagai kebiasaan hukum internasional.

Pada kasus Sipadan dan Ligitan misalnya, hakim Mahkamah Internasional memberlakukan Pasal 31 dan 32 Vienna Convention tentang pedoman interpretasi isi perjanjian padahal pada saat itu Indonesia bukanlah peserta konvensi. (ICJ, case concerning sovereignty over Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan, Indonesia/Malaysia, 2002).DPR patut mencermati perjanjian dimaksud. Apalagi perjanjian itu kelak dapat mengubah Undang-Undang Otonomi Khusus NAD No 18/2001 menyangkut partai lokal misalnya. Persetujuan DPR dalam manifestasi berbeda tak terelakkan. Belum lagi tentang amnesti.
IRFAN R. HUTAGALUNG