Thursday, July 24, 2008

Ahmadiyah dan Beleid Problematis

Koran Tempo, Sabtu, 17 Mei 2008


Ahmadiyah dan Beleid Problematis

Dua menteri dan Jaksa Agung direpotkan oleh para penentang Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Terutama setelah Badan Koordinasi Pengawas KepercayaanMasyarakat (Bakorpakem) memaklumatkan sangkaan: JAI telah menyimpang dari ajaran pokok Islam dan diminta agar dilarang. Lalu, Menteri Agama, MenteriDalam Negeri, dan Jaksa Agung direncanakan menerbitkan surat keputusan bersama (SKB) tentang kegiatan dan mungkin nasib JAI. Namun, SKB tak jua kunjung dirilis dari rencana yang sudah ditentukan. Kelihatan pemerintah jadi kesulitan sendiri.

Sesungguhnya pemerintahlah yang mempersulit dirinya sendiri. Pemerintah mau direpotkan oleh penentang JAI, dan sudi memelihara undang-undang yang mengandung problem yuridis akut. Seperti yang diberitakan, Bakorpakem menghadapkan JAI pada ancaman runyam: melanggar Penetapan Presiden Nomor 1Tahun 1965, yang kemudian dijadikan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 TentangPencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Aturan yang dilanggar ituada pada Pasal 1, yang pada pokoknya melarang melakukan penafsiran dan kegiatan keagamaan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. Lalu, badan ini merekomendasikan agar pemerintah menjalankan perintah Pasal 2 ayat1 dan 2 undang-undang dimaksud: beri peringatan keras lewat SKB; jikamembangkang, bubarkan.

Telah disebutkan, UU Nomor 1/PNPS/1965 berpangkal dari penetapan presiden (penpres). Penpres bukanlah bentuk perundang-undangan yang diakui UUD 1945, melainkan suatu bentuk hukum "jadi-jadian" yang pembentukannya diklaim Soekarno menjadi wewenangnya. Lewat Surat Presiden Nomor 2262/Hk/59, 20Agustus 1959, kepada DPR, disusul dengan Surat Nomor 3639/Hk59, 26 November1959, Soekarno mendalilkan klaimnya itu sebagai buah dari kewenangan luar biasa yang ia tuai berkat Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Karena menyimpangdari UUD, oleh Orde Baru, lewat UU Nomor 5 Tahun 1969, bentuk hukum penpres ini dihapuskan.

Namun, mengingat antara lain materi muatannya, beberapa penpres dijadikan undang-undang penuh. Sebagian lainnya, seperti Penpres No. 1/1965 ini,termasuk juga Penpres No. 11/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi yang termasyhur itu, dinyatakan sebagai undang-undang namun bersyarat. Masing-masing menjadi UU No. 1/PNPS/1965 dan UU No. 11/PNPS/1963. Penggalan Penjelasan Umum UU No. 5/1969 menyebutkan, "Harus diadakan perbaikan/penyempurnaan dalam arti bahwa materi daripada penetapan-penetapan presiden dan peraturan-peraturan presiden tersebut ditampung atau dijadikan bahan bagi penyusunan undang-undang yang baru."

Alih-alih undang-undang ini dipermak, belakangan Orde Baru--termasuk Orde Reformasi--malah acap mencema orang dengan UU No.1/PNPS/1965 ini. Terutama lewat Pasal 4 tentang penodaan agama, yang disisipkan ke dalam KUHP menjadi Pasal 156a (di Koran Tempo saya sebut Pasal 156b seharusnya Pasal 156a). Berbeda dengan UU Pemberantasan Kegiatan Subversi, yang akhirnya dikubur dengan UU No. 26/1999, sampai sepuluh tahun Orde Baru khatam, undang-undang ini tetap lestari, tak berubah. Malah sekarang dipersiapkan menunggu korban baru.

Sementara itu, terlepas apakah substansinya tepat atau tidak, Penjelasan UU No. 1/PNPS/1965 menunjukkan bahwa ia dibentuk pada pokoknya untuk mengatasi banyaknya kelompok aliran kebatinan/kepercayaan yang dinilai melanggar hukum dan memecah kesatuan nasional masa itu. JAI disebutkan sudah ada sejak zaman revolusi. Mereka kasat mata bagi hamba hukum zaman Soekarno dan Soeharto. Jika JAI masuk gerombolan ini, tentu sudah dari dulu undang-undang ini menumpas mereka. Jadi, tuduhan itu tidak hanya kasep, tapi juga salah sasaran.

Di sisi lain, sebagai manifestasi dari besarnya kekuasaan Presiden Soekarno dan pengaruh suasana pembentukannya, UU No. 1/PNPS/1965 sengaja memberi pemerintah--termasuk dalam konteks sekarang Bakorpakem--kekuasaan yang eksesif bermuatan kekuasaan yudisial. Menentukan pengertian kegiatan agama yang menyimpang; memvonis ada-tidaknya penyimpangan; dan mengeksekusinya sekaligus. Bakorpakem mungkin saja dipenuhi para agamawan yang mumpuni, berilmu tinggi, serta dilimpahi makrifat paripurna. Lalu mereka menyimpulkan praktek keagamaan JAI menyimpang dan meminta agar hal itu ditindak.

Namun, dasar hukum sangkaannya tidak bersumber dari suatu undang-undang yangberlaku di negara ini. Belum pernah ada undang-undang yang menafsirkan, memerinci ajaran-ajaran pokok Islam, dan mendeskripsi praktek-praktek keagamaan menyimpang. Dan sudah barang tentu pendapat mereka ini bukanlah undang-undang yang harus ditegakkan lewat SKB itu.

Kalaupun "pelanggar" diproses di peradilan atas tuduhan dimaksud, pada undang-undang apa penyidik dan penuntut umum mendalilkan sangkaannya? Dan pada undang-undang yang mana pula hakim menyandarkan postulat yuridisnya dalam mengadili cemaan dan tuntutan tersebut? Sebab, seperti disebutkan, tidak ada undang-undang yang bisa dirujuk untuk membuat penyidik, penuntut, dan hakim dapat menentukan apakah terdakwa telah melakukan praktek agama menyimpang.

Dengan demikian, pemerintah tak perlu menerbitkan SKB baru, tapi undang-undang baru untuk merevisi--jika tidak mencabut--undang-undang problematis ini.

Putusan MK dan Kebingungan Pemahaman

Putusan MK dan Kebingungan Pemahaman

Kompas, Senin, 28 Agustus 2006 (versi cetak 29 Agustus 2006)

"Some conduct is immoral, harmful, or both. Some conduct is criminal and punishable. The fact that conduct is immoral or harmful does not mean, however, that is criminal and punishable." (Dressler: 2001)

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) agaknya akan terus jadi bahan berita dan perdebatan. Di samping putusan terbaru uji materi Undang-Undang Komisi Yudisial yang "memotong" kewenangan badan itu, uji materi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih relevan dibincangkan.

Terutama setelah munculnya tanggapan kontra yang sesungguhnya lahir dari kekurangpahaman tentang di mana rumusan suatu tindak pidana ditentukan dan diletakkan. Di undang-undangkah atau di norma kehidupan sosial dan rasa keadilan dalam masyarakat atau keduanya. Juga tentang merumuskan suatu tindak pidana dalam kalimat perundang-undangan (drafting).

Menempatkan delik
Di Belanda, sebelum akhir abad ke-18, Apeldoorn menyatakan, "Hakim dapat menjatuhkan hukuman atas peristiwa (pidana) yang oleh undang-undang tidak dengan tegas dinyatakan dapat dikenai hukuman," (Apeldoorn; 2001 cet 29). Model ini usai setelah diadopsinya prinsip pemisahan kekuasaannya Montesquieu. Tugas hakim membuat hukum digantikan legislator. Hakim tinggal memutuskan lewat interpretasinya, apakah dugaan tindak pidana yang diajukan sesuai dengan perbuatan pidana yang dapat dihukum menurut hukum yang dibuat oleh legislator sebelumnya.

Lewat KUHP, prinsip ini masuk ke Indonesia. Mahasiswa hukum semester II pasti tahu Pasal 1 Ayat 1 KUHP: "Sesuatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali atas ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya." Jadi, lewat asas ini suatu tindak pidana diletakkan dan ditentukan hanya lewat undang-undang.

Ketentuan Pasal 2 Ayat 1 undang-undang itu tidak bertentangan dengan asas legalitas dimaksud. Problem muncul di penjelasan pasal itu ketika memaknai frase "melawan hukum". Tertulis: "Yang dimaksud melawan hukum mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formal dan dalam arti materiil, yakni meski perbuatan itu tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun jika perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai rasa keadilan atau norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan itu dapat dipidana."
Berdasarkan penjelasan ini, pembuat undang-undang menyuruh penyidik (dalam rangka penyidikan serta penuntutan) dan hakim (dalam rangka memeriksa dan memutus perkara), selain yang sudah disebut dalam ketentuan undang-undang, untuk menentukan sendiri apa itu perbuatan melawan hukum menurut rasa keadilan atau norma kehidupan sosial.

Kalimat di penjelasan ini membawa norma hukum pidana kita ke abad ke-18. Bedanya, sekarang diotorisasi oleh legislature. Pantaslah para hakim MK memenggalnya. Bukan karena mereka konservatif (Donny G Adian, Kompas, 7/8/2006) atau centengnya koruptor (Denny Indrayana, Tempo edisi 23/2006), melainkan karena asas legalitas itu. Asas universal sistem hukum pidana nasional maupun pidana internasional.

Merumuskan delik
Dari rumusan pasal dan penjelasannya, tak lain terefleksi pertama, kegagalan perancang (drafter) dan pembuat undang-undang dalam merumuskan delik korupsi yang baik. Bandingkanlah dengan rumusan delik Undang-Undang Anti Korupsi Sierra Leone Tahun 2000, misalnya, yang secara detail merumuskan beragam delik korupsi. Kedua, rumusan pasal dan penjelasannya itu sesungguhnya cermin dari kebingungan dalam membedakan "hukum" dan "sumber hukum". Juga, dalam memilah "hukum tertulis" dan "hukum kebiasaan" (customary law).

"Rasa keadilan" (masyarakat) bukan hukum, tetapi sumber hukum. Dalam konteks pasal ini dan penjelasannya "rasa keadilan masyarakat" sebagai perbuatan melawan hukum tidaklah mungkin menjadi unsur pidana dalam rumusan suatu delik. Terbayang tidak, bagaimana penyidik atau penuntut umum menanggung beban pembuktian (burden of proof) untuk menentukan suatu unsur tindak pidana, yakni "rasa keadilan masyarakat" terbukti telah terpenuhi? Dan bagaimana pula hakim bisa memutuskan bahwa klaim penuntut umum itu secara sah dan meyakinkan (beyond reasonable doubt) telah terbukti? Model hukum acara pidana seperti apa yang bisa mengakomodasi proses pembuktian seperti ini?

Sementara itu, "norma kehidupan sosial dalam masyarakat" bukanlah norma yang negara harus tegakkan. Masuk dalam norma kategori ini adalah norma agama dan adat. Ini adalah hukum kebiasaan. Norma ini bisa ditegakkan oleh negara hanya setelah diadopsi menjadi norma hukum negara lewat proses legislasi. Jadi, kalau seorang melakukan perbuatan tercela untuk memperkaya diri atau orang lain atau korporasi sepanjang itu tidak dinyatakan sebagai perbuatan pidana yang dapat dipidana seperti yang ditulis Dressler di atas, perbuatan itu tidak dapat dipidana atas dasar Pasal 2 Ayat 1.

Akankah perburuan koruptor lebih sulit sebagaimana disinyalir oleh Jaksa Agung? Umumnya kejahatan kerah putih sulit diungkap. Tetapi, seperti disebutkan di atas, buruknya perumusan delik juga mengontribusi. Namun, ada kekhawatiran lain sesungguhnya. Jangan-jangan komentar petinggi hukum itu adalah excuse atas ketidakmampuan atau keengganan aparat untuk menangkap koruptor. Pun, dengan mensinyalir putusan MK mempersulit penangkapan koruptor, ada instrumen bagus untuk tebang pilih bukan?

IRFAN R. HUTAGALUNG

Status Perjanjian Dengan GAM

Status Perjanjian Dengan GAM

Kompas, Kamis - 11 Agustus 2005

Sebentar lagi perunding RI dan GAM akan bertemu kembali untuk menandatangani perjanjian (agreement) atas kesepakatan yang telah mereka buat di Helsinki, Finlandia, Juli lalu. Sementara itu, karena cemas akan isi perjanjian, sebagian anggota DPR mengingatkan pemerintah untuk meminta persetujuan DPR seperti yang diperintahkan Pasal 11 UUD 1945 (Kompas, 20 Juli 2005).

Menurut pasal ini, tanpa persetujuan DPR perjanjian dimaksud tidak akan berlaku. Pun, Wakil Presiden, sebelum ia ralat sendiri, sempat berujar, kesepakatan itu memerlukan ratifikasi DPR layaknya perjanjian internasional (Kompas, 26 Juli 2005).

UUD 1945 tidak mendefinisikan perjanjian internasional. Namun, UU No 24/2000 tentang Perjanjian Internasional mengatur hal itu. Pasal 1 menyebutkan: Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis.... Pasal ini belum tuntas menjelaskan apa itu perjanjian internasional. Siapa para pihak belum disebut. Pengertian perjanjian internasional, menurut undang-undang ini, lebih lengkap setelah membaca Pasal 4 (1): Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih, organisasi internasional, atau subyek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan;....

Terlepas klaim GAM atas tanah Aceh dan klaim pimpinan GAM di Swedia sebagai pemerintahan di pengasingan dari sebuah negara bernama Neugara Atjeh, tak perlu repot berargumentasi bahwa Aceh bukanlah sebuah negara dan GAM bukanlah suatu pemerintahan di pengasingan. Pun, GAM bukanlah organisasi internasional layaknya International Committee of the Red Cross (ICRC), World Bank, dan organisasi-organisasi intergovernmental sejenis. Namun, tak mudah untuk segera mengatakan GAM juga bukan subyek hukum internasional.

Kelompok perlawanan

Kita tahu GAM adalah organisasi yang hendak memutus kedaulatan Indonesia atas Aceh dan ingin mendirikan pemerintahan sendiri di sana layaknya sebuah negara. Untuk itu, GAM berpuluh tahun memanggul senjata melawan TNI/Polri. GAM sering kali diberitakan terpukul dan terdesak. Tapi harus diakui, sampai detik ini mereka tak pernah pupus tuntas. Tak tersanggah GAM adalah kelompok perlawanan (insurgent). Tetapi, untuk dapat memperoleh status sebagai subyek hukum internasional, kelompok perlawanan harus memperoleh pengakuan (recognition) dari negara yang ia lawan atau dari negara ketiga.

Indonesia tentu tak akan memberi pengakuan kepada GAM sebagai belligerent, kelompok perlawanan yang memperoleh pengakuan. Negara ketiga juga tidak mau repot mengakui GAM, walaupun beberapa realitas cukup dijadikan alasan bahwa GAM pantas disebut belligerent, setidaknya de facto; resistensi, organisasi, dan kontrol sebagian kawasan. Bahkan, GAM berhasil memaksa Indonesia sekali lagi datang ke meja perundingan. GAM mampu secara substantif memainkan fungsi sebagai subyek hukum internasional.

Lalu, apakah perjanjian itu merupakan perjanjian internasional? Dalam praktik hukum internasional, perjanjian yang dibuat oleh pemerintah yang sah dengan kelompok perlawanan biasa disebut perjanjian internasional. Sebutlah misalnya perjanjian antara Pemerintah Sandinista Nikaragua dan pemberontak Kontra tahun 1988; Lome Accord antara Pemerintah Sierra Leone dan Front Persatuan Revolusioner Sierra Leone (Revolutionary United Front of Sierra Leone) tahun 1999. Justifikasi kelompok perlawanan untuk membuat perjanjian (internasional) dengan negara yang ia lawan juga tersedia di Common Article 3 Konvensi-Konvensi Geneva 1949.

Namun, perjanjian itu bukanlah perjanjian internasional menurut dua norma di atas. GAM memang berkapasitas memainkan fungsi layaknya subyek hukum internasional, tapi secara formal ia tak pernah diakui sebagai belligerent. Perjanjian COHA dan perjanjian yang akan datang pun tak mengubah statusnya dari insurgent ke belligerent. Ini ditegaskan juga di Common Article 3 bahwa perjanjian yang dibuat antara pihak-pihak yang berkonflik tidak mengubah status mereka sehubungan dengan konflik dimaksud. Singkatnya, menurut hukum internasional, GAM bukan subyek hukum internasional dan oleh karena itu, perjanjian ini tidak dalam yurisdiksi dua norma hukum itu. Ratifikasi DPR atas perjanjian itu tentu tak relevan.

Namun, apa pun kualifikasinya, begitu perjanjian disepakati, para pihak harus patuh pada isi perjanjian, pacta sunt servanda. Ini adalah kebiasaan hukum internasional yang mengikat. Perbedaan status antara GAM dan Pemerintah RI terhadap isi perjanjian tidak relevan lagi. Bahkan, sebagian ketentuan Vienna Convention on Law of Treaties tahun 1969 terlepas konvensi ini hanya berlaku bagi perjanjian yang dibuat antarnegara dan terlepas Indonesia peserta konvensi atau bukan tetap perlu dicermati, mengingat sebagian normanya berkualifikasi sebagai kebiasaan hukum internasional.

Pada kasus Sipadan dan Ligitan misalnya, hakim Mahkamah Internasional memberlakukan Pasal 31 dan 32 Vienna Convention tentang pedoman interpretasi isi perjanjian padahal pada saat itu Indonesia bukanlah peserta konvensi. (ICJ, case concerning sovereignty over Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan, Indonesia/Malaysia, 2002).DPR patut mencermati perjanjian dimaksud. Apalagi perjanjian itu kelak dapat mengubah Undang-Undang Otonomi Khusus NAD No 18/2001 menyangkut partai lokal misalnya. Persetujuan DPR dalam manifestasi berbeda tak terelakkan. Belum lagi tentang amnesti.
IRFAN R. HUTAGALUNG