Monday, January 22, 2018

Tentang Masuk Ke Negara Asing

Beberapa waktu lalu, Ustad Abdul Somad kembali membuat berita. Kali ini tentang ditolaknya beliau masuk ke Hong-Kong Special Administration Region (SAR). Padahal, yang bersangkutan diyakini telah memenuhi persyaratan masuk ke wilayah khusus Tiongkok itu. Ketua MPR dan Pimpinan DPR bereaksi keras terhadap penolakan itu. Bahkan disebutkan, larangan masuk itu sebagai bentuk pelecehan kepada warga negara Indonesia dan seharusnya Konsulat Jenderal Indonesia di sana memberikan perlindungan. Tulisan ini tidak akan membicarakan isi dakwah  Sang Ustad, melainkan soal aspek hukum tentang larangan/izin masuk warga negara asing ke suatu negara atau teritori khusus seperti Hong Kong.

Izin Masuk Adalah Rezim Hukum Nasional
Kecuali dalam situasi transit dan pencari suaka atau berstatus pengungsi, sebelum masuk ke suatu negara asing, setiap warga negara asing harus memiliki visa atau sejenisnya yang diberikan oleh negara yang dikunjungi. Ini tidak terkecuali bagi para duta besar dan diplomat perwakilan negara atau organisasi internasional seperti PBB atau ASEAN. Bahkan, kepala negara pun dalam kunjungan ke negara asing memerlukan visa.  Tidak ada satu orang asing pun secara otomatis dapat masuk ke negara lain tanpa izin masuk. Memang,  dalam beberapa perjanjian internasional, seperti Konvensi tentang Hak-Hak Istimewa dan Kekebalan PBB 1946 (Convention on the Priveleges and Immunities of the United Nations) dan perjanjian internasional antara PPB dengan negara anggota (headquarter agreement) diatur tentang kemudahan pemberian visa dari negara anggota kepada para perwakilan PBB dan organisasi afiliasinya. Demikian juga bagi utusan PBB seperti Pelapor Khusus yang memiliki mandat untuk mengunjungi suatu negara. Bagi negara yang menjadi tuan rumah peristiwa internasional seperti olahraga dan pertemuan organisasi internasional, kemudahan perolehan visa juga diberikan kepada para delegasi.

Terkait kemudahan pemberian visa, negara baik secara unilateral, multilateral, atau timbal balik dapat membuat kemudahan atau pembebasan visa kepada warganegara dari negara tertentu. Sehingga, warga negara dari negara yang dikehendaki dapat masuk ke negara asing tanpa visa atau pemberian visa itu dilakukan pada saat kedatangan. Hong Kong juga memberikan kebebasan visa ini bagi warga negara Indonesia yang datang ke sana untuk maksud kunjungan, bukan bekerja, berusaha, atau studi.
Tidak seperti yang dipahami awam, perolehan visa dan pemenuhan kelengkapan dokumen perjalanan bukanlah berarti suatu jaminan masuk ke negara pemberi visa. Visa adalah prasyarat untuk masuk. Pemegang visa dapat ditolak masuk untuk alasan yang sepenuhnya diserahkan pada negara yang dikunjungi.

Dalam Ordonansi Imigrasi Hong Kong (Immigration Ordinance)  Bab 115 Bagian 3 Pasal 7 (1) diatur  bahwa tidak seorang pun dapat masuk ke sana tanpa izin dari pejabat atau assisten pejabat imigrasi kecuali bagi orang yang menurut Ordinance itu berhak tinggal di Hong Kong.  Jadi,  kelengkapan dokumen perjalanan dan visa bukanlah jaminan masuk ke wilayah itu. Memutuskan menolak atau menerima merupakan bentuk kewenangan negara berdaulat atau teritori seperti Hong Kong. Senada dengan itu, dalam Undang-Undang Keimigrasian RI Nomor 6 Tahun 2011 misalnya menyebutkan bahwa orang asing yang memasuki Indonesia harus memiliki dokumen perjalanan dan visa (Pasal 8). Orang asing yang memenuhi ketentuan dimaksud pada Pasal 8, hanya bisa masuk jika telah diberikan Tanda Masuk (Pasal 10). Sehingga, dalam hukum Indonesiapun, orang asing yang sudah berada di bandar udara atau pelabuhan kedatangan  internasional (port of entry) dengan dokumen yang lengkap tidak dapat masuk ke Indonesia karena tidak mendapatkan Tanda Masuk. Penolakan dapat dilakukan dengan atau tanpa didahului pemeriksaan terhadap yang bersangkutan. Persis seperti posisi Ustad Abdul Somad di Hong Kong.

Dalam hukum internasionalpun, seperti Kerangka Persetujuan ASEAN tentang Pembebasan Visa  Tahun 2006 (ASEAN Framework Agreement on Visa Exemption),  juga diakui hak negara anggota ASEAN untuk menolak masuk warga negara anggota ASEAN peratifikasi persetujuan itu walau sudah mendapat pembebasan visa. Penolakan bisa didasarkan hanya karena yang bersangkutan tidak diinginkan (undesirable) untuk masuk ke negara itu sebagaimana diatur di dalam Pasal 3 (2).

Mengingat izin masuk suatu negara adalah kewenangan dari suatu negara maka, penolakan pemberian izin masuk bagi Ustad Abdul Somad bukanlah obyek yang dapat digugat atau dipersoalkan oleh negara lain sepanjang tindakan negara atau teritori itu tidak bertentangan dengan hukum internasional. Dan oleh karena itu, penolakan pemberian izin masuk bukanlah tindakan pelecehan kepada yang bersangkutan. Sehingga, tidaklah tepat meminta konsul Indonesia di sana untuk memberikan perlindungan kepada yang bersangkutan. Memang, dalam Konvensi Wina Tentang Hubungan Konsulat 1963 (Viena Convention on Consular Relations) diatur tentang kewenangan perwakilan negara asing untuk memberikan bantuan kepada warganegaranya jika warga negara dimaksud menghadapi permasalahan hukum. Tetapi, membuat negara asing untuk menerima kedatangan seorang warga negara dari negara yang diwakilinya bukanlah tugas dari konsul atau perwakilan diplomatik.