Thursday, November 22, 2018

Saudi’s International State Responsibility


“Consular functions consist in:
a.  protecting in the receiving State the interest of the sending State and of its nationals, both individuals and bodies corporate within the limits permitted by international law;
....”
(Vienna Convention on Consular Relations 1963 Article 5)    

After 18 days of denial of Jamal Khashoggi’s disappearance, and persistently informed the world that he left the consulate building alive, Saudi Arabia’s authority finally declared that the Saudi citizen, Washington Post columnist and the US resident had been died inside the Saudi consulate premises in Istanbul, Turkey.  Initially, Saudi’s official said that Khashoggi died due to fist fight inside the building. But having realized the cause of death seemed unconvincing, later, Saudi Foreign Affairs Minister, Adel bin Ahmed Al-Jubeir when interviewed by Fox News Channel changed the story.  He told Fox that the cause of death yet to be known. Nonetheless, he further stated that the Saudis had no idea where the body was.  

Based on these Saudi’s recognized facts alone, there is a sufficient evidence to accuse Saudi breaching international law, namely Vienna Convention on Consular Relations 1963 (VCCR) to which that state is a state party.  First, Saudi acknowledged that Khashoggi had been died meaning that it had been lied before and failed to inform the immediate family about his death. Under VCCR, the consulate of the sending State (Saudi) shall function to “protect in the receiving State the interest of the sending State and of its nationals.…”

Second, whatever the cause of his death and for the fact that he died inside the consulate building, consulate officials should maintain and respect the body and deliver it to the family. It is blatantly weird when a high ranking official of that country said that the country did not know where the body was. As the building is under Saudi jurisdiction and its full control, of course it is fully under its responsibility for whatever happens to the body.  

Therefore, international outcry has been growing not only because somebody died inside the building but also because all circumstance evidences and facts provided by Turkey press sourcing from Turkey authorities that are basically saying that Khashoggi was intentionally tortured, murdered, and dismembered by allegedly state officials who had flown from Saudi. Later, these facts were stated officially by Turkey President, Recep Tayyip Erdogan. However, Saudi consistently lies and changes the story over time without providing any prove corroborating its story.

If it is the case, how does international law deal with this situation? Article 1 of Responsibility of States for Internationally Wrongful Act says, “(e)very internationally wrongful act of a State entails the international responsibility of that State.” Thus, two elements required to trigger the international responsibility of Saudi under this customary international law are satisfied. First element is aggravated wrongful acts under international law that is grave breaches of human rights like torture or cruel treatment, summary killing, and the other one is ordinary wrongful act that is using consulate premises contrary to the function stipulated in the VCCR. The second element is the wrongful acts are attributable to a state. In this sense, the wrongdoers are allegedly Saudi’s officials or at least persons ordered by state official. 

While there is no circumstance that precludes the wrongfulness such as force majeure, self defense etc., thus the elements for international responsibility of a state are established. The next question is what is the consequence? First of all, the violating state should stop the wrongful acts. Although the torture and the killing already stopped but the cause of the death seems to be concealed. It says that Saudi is now making investigation. If so, it should be genuinely conducted to reveal the truth not a way of covering up. The violating state owes not only to Turkey but also to international communities the truth about what happened inside the consulate that led to the Khashoggi’s death, the motives behind the killing, revealing the body whereabouts and so forth. International fact finding should be welcome. Then, it should prosecute and punish the perpetrators including the mastermind.

Second, the violating state offers assurance that the wrongful act never happens again. It includes making changes of state policy that gives opportunity to the wrongful act to happen. Third, international law requires the violating state to make reparation including offering condolences and appropriate compensation to the Khashoggi’s family.

May Jamal Khashoggi rest in peace.

Monday, April 30, 2018

Keterangan Ahli Irfan R. Hutagalung, S.H., LL.M Yang Disampaikan di Persidangan MK atas Permintaan Pemohon


Keterangan Ahli Ini Disampaikan Pada Sidang Mahkamah Konstitusi Terhadap Permohonan Uji Materi UU No. 24 Tahun 2000 Tanggal 30 April 2018
Yang Mulia Hakim Ketua dan Yang Mulia Para Anggota Mejelis, yang terhormat para wakil Termohon dan Pemohon. Para hadirin sekalian. Terimakasih atas kesempatan dan waktu yang diberikan. Izinkan saya untuk memulai memberikan keterangan ini. Pada prinsipnya keterangan ini akan terbagi ke dalam dua bagian. Bagian pertama tentang permasalahan perundang-undanan dan konstitusionalitas UU a quo dan bagian kedua tentang hak dan kerugian konstitusionalitas yang diakibatkan oleh UU yang diujimaterikan.

Maksud Dan Tujuan Pembentukan
1.      Maksud dan tujuan pembentukan UU ini yang terlihat secara normatif termaktub dalam konsiderannya bahwa: pertama, ketentuan tentang kekuasaan pembuatan dan prosedur internal pengikatan (atau dalam bahasa UU a quo disebut pengesahan)  kepada perjanjian internasional dalam UUD 45 sangat singkat. Kedua, Surat Presiden Republik Indonesia No. 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960 tentang "Pembuatan Perjanjian‑Perjanjian dengan Negara Lain" yang dijadikan pedoman bahkan hukum kebiasaan pada waktu itu dinilai “tidak sesuai lagi dengan semangat reformasi” dan ketiga,  sifat pedoman tadi yang berupa surat presiden dari segi bentuk hukumnya atau dari segi perundang-undangan dianggap kurang kuat dan tidak jelas. Padahal, pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional adalah hal yang sangat penting. Sehingga, perlu dibuat UU a quo. Juga, dalam bagian Penjelasan Umum UU ini disebutkan bahwa Undang‑undang a quomerupakan pelaksanaan Pasal 11 Undang‑Undang Dasar 1945 yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk membuat perjanjian internasional dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Ketentuan Pasal 11 Undang‑undang Dasar 1945 bersifat ringkas sehingga memerlukan penjabaran lebih lanjut. Semua alasan ini dapat diterima. Persoalan kemudian adalah apakah maksud dan tujuan tadi terwujud dalam keseluruhan norma yang termaktub dalam UU itu atau tidak bukan? Paparan di bawah ini akan menjawab pertanyaan itu.

Tidak Menjabarkan Malah Mengganti Persetujuan Menjadi Pengesahan

2.      Seperti disebutkan, UU a quo bertujuan menjabarkan ketentuan Pasal 11 UUD. Namun, alih-alih menjabarkan, UU a quo malah membuat ketentuan yang berbeda dan menimbulkan pertentangan dengan Pasal 11 UUD itu sendiri. Seperti yang dapat dibaca, Pasal 11 UUD menentukan kewenangan DPR untuk menyetujui atau tidak menyetujui tindakan presiden dalam membuat perjanjian internasional (baca: mengikatkan diri kepada perjanjian internasional). Tetapi, sebagaimana dapat dilihat dalam batang tubuh UU a quo, persetujuan DPR tidak ada lagi disebut-sebut. UU a quo malah menentukan kewenangan lain bagi DPR yakni kewenangan untuk mengesahkan suatu perjanjian internasional tertentu sebagaimana diatur di dalam Pasal 9 Ayat (2). Uniknya, kekuasaan itu harus pula dibagi dengan Presiden karena kekuasan mengesahkan itu harus diwujudkan dalam bentuk UU. Sebagaimana kita semua tahu, UU adalah produk bersama antara Presiden dengan DPR.  Sementara itu, tentang kekuasaaan pengesahan sebagaimana dimuat di dalam Pasal 9 Ayat (2) dan Pasal-Pasal setelahnya terkait pengesahan juga menimbulkan persoalan lain. Persoalan ini akan dibahas dalam paragrap 4.

Pengesahan Tidak Dapat Disamakan Dengan Persetujuan
3.      Sebagian pihak mengatakan bahwa Pasal 9 Ayat (2) yang menyebutkan pengesahan perjanjian tertentu yang dilakukan dengan UU harus dibaca sebagai bentuk permintaan persetujuan yang diajukan Presiden (pemerintah) kepada DPR sebagaimana dikehendaki Pasal 11 UUD. Saya menolak pandangan ini. Berikut alasannya. Pertama, persetujuan DPR patutlah tidak diwujudkan dalam bentuk UU karena persetujuan haruslah produk tindakan sepihak DPR bukan tindakan dua belah pihak sebagaimana UU. Kedua, sebagian pihak mungkin mengatakan bahwa UU dalam konteks ini harus dibaca sebagai UU formal (lawan dari UU materil). Pandangan ini juga tidak tepat karena secara normatif dan praktik, proses pembuatan UU dimaksud sama saja dengan proses pembuatan UU materil. Ketiga, jika dibaca secara seksama, walau dirumuskan secara keliru, Pasal 9 UU a quo itu sesungguhnya mengatur tentang cara pengikatan (consent to be bound) terhadap perjanjian internasional. Ini karena di dalam Pasal itu mengatur tentang ‘pengesahan perjanjian internasional. Sementara kata ‘pengesahan’ sendiri artinya menurut Pasal 1 butir 2 UU a quo adalah: “perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification) aksesi (accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval).” Sehingga, sekali lagi, Pasal 9 Ayat (2) adalah tentang pernyataan pengikatan diri kepada perjanjian internasional bukan permintaan persetujuan pemerintah kepada DPR. Namun, pernyataan pengikatan diri itu dirumuskan secara keliru karena mencampuradukkan proses internal yang tunduk pada hukum nasional dengan proses eksternal yang tunduk pada hukum internasional.
           
Pengesahan Merupakan Pernyataaan Pengikatan Diri
4.      Dalam Paragrap 2, saya telah menyebutkan bahwa kekuasaan mengesahkan perjanjian internasional bermasalah. Berikut penjelasannya. Jika diperhatikan, Pasal 1 butir 2 UU a quo tentang pengertian  ‘pengesahan’, pengesahan adalah suatu perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification) aksesi (accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval). Namun, pengertian pengesahan yang dijelaskan dalam Pasal 1 butir 2 ini berubah maknanya ketika diaplikasikan dalam pasal-pasal yang termaktub dalam Bab 3 Tentang Pengesahan. Misalnya,  Dalam Pasal 9 Ayat (1) disebutkan: Pengesahan perjanjian internasional oleh Pemerintah Republik Indonesia dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut. Lalu, Ayat (2) berbunyi “Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilakukan dengan undang‑undang atau keputusan presiden.” Penjelasan Pasal Demi Pasal terkait ayat ini meneguhkan norma Pasal 9 Ayat (2) itu bahwa perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dilakukan dengan UU atau Kepres (sekarang Perpres). Jika pengertian kata ‘pengesahan’ sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 butir 2 di atas diterapkan dalam Pasal 9 Ayat (2) ini, maka Pasal 9 Ayat (2) ini menjadi tidak masuk akal dan tidak mungkin dilaksanakan karena tidak pernah dan tidak mungkin pemerintah menggunakan UU, Kepres, atau Perpres sebagai suatu bentuk perbuatan hukum untuk mengikatkan diri kepada perjanjian internasional sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 11 Vienna Convention on the Law of Treaties atau Konvensi Wina 1969 terkait aturan tentang consent to be bound. Dengan pengertian ini berarti, peran DPR yang seharusnya menyetujui atau menolak tindakan pemerintah yang akan mengikatkan negara kepada suatu kesepakatan internasional tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 UUD berubah perannya menjadi pembuat pernyataan pengikatan (consent to be bound) bersama-sama dengan Presiden (pemerintah) melalui suatu undang-undang. Ini tentu membingungkan dan tidak mungkin diaplikasikan karena memang DPR dan Presiden tidak mungkin melakukan itu dan rasanya tidak pula lembaga perwakilan manapun di dunia ini melakukannya. Menyatakan terikat (meratifikasi) kepada perjanjian internasional adalah pekerjaannya pemerintah semata sebagaimana disebut dalam Pasal 9 Ayat (1) UU a quo  yang dilakukan dengan mendepositkan atau mempertukarkan kepada pihak peserta perjanjian apa yang disebut sebagai instrumen ratifikasi (instrument of ratification). Instrumen ini bukan undang-undang, bukan pula produk DPR.

Kesalahan Menentukan Wilayah Hukum Nasional dengan Wilayah Hukum Internasional
5.      Ketentuan Pasal 9 Ayat (2) UU a quo ini berbunyi demikian patut diduga karena ketidaktepatan dalam meletakkan dan menentukan mana wilayah keberlakuan hukum nasional -dalam hal ini hukum administrasi negara dan hukum tata negara- di satu sisi, dengan wilayah keberlakuan hukum internasional di sisi lain dalam rentang proses tindakan meminta persetujuan untuk mengikatkan diri sebagaimana dikehendaki Pasal 11 UUD dan tindakan mengikatkan diri itu sendiri sebagaimana diatur di dalam Konvensi Wina. Persetujuan atau penolakan DPR adalah tindakan atau perbuatan hukum dalam lingkup hukum nasional yang diatur menurut hukum nasional, sementara pernyataan pengikatan yang dilakukan oleh pemerintah -berdasarkan persetujuan DPR tadi, adalah tindakan atau perbuatan hukum internasional yang dilakukan berdasarkan hukum internasional pula.[1] Sehingga, prase “pengesahan perjanjian internasional dengan undang-undang” tidak seharusnya ada, melainkan seharusnya prase “DPR menyetujui (tidak menyetujui) pengikatan kepada perjanjian internasional” agar sejalan dengan Pasal 11 UUD. Lalu, setelah disetujui DPR barulah kemudian pemerintah memiliki dasar untuk menyatakan keterikatannya dengan perjanjian itu.

Masih Tentang Kesalahan Menentukan Wilayah Hukum Nasional dengan Wilayah Hukum Internasional
6.      Kembali ke persoalan penjabaran dan kekeliruan menentukan wilayah keberlakukan hukum nasional dan internasional. UU a quo menjabarkan Pasal 11 UUD dengan membuat ketentuan tentang aspek-aspek sebagai berikut:
a.       pembuatan perjanjian internasional seperti: siapa pejabat atau kementerian yang berwenang untuk membuat perjanjian dan panduan bagi mereka dalam membuat perjanjian itu;
b.      pengesahan perjanjian internasional;
c.       pemberlakuan perjanjian internasional;
d.      penyimpanan perjanjian internasional; dan
e.       pengakhiran perjanjian internasional.      
Dari beberapa substansi aturan yang dijabarkan itu, UU a quo telah  mencampuradukkan dimensi wilayah keberlakukan hukum nasional dan wilayah keberlakuan hukum internasional di luar dari apa yang saya sebut di paragrap sebelumnya.  Hal ini misalnya terlihat pada aspek pengaturan tentang pengakhiran perjanjian. Dalam UU a quo Pasal 18 butir huruf ‘h’ disebutkan: Perjanjian internasional berakhir apabila terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional. Penentuan tentang kapan berakhirnya perjanjian internasional bukanlah wilayah hukum nasional alias bukan wilayah UU a quo, melainkan wilayah hukum internasional alias wilayah hukum perjanjian internasional yang tersebut di dalam Konvensi Wina 1969 (Vienna Convention on the Law of Treaties). Hal yang sama ditemukan juga pada bagian Penjelasan Pasal Demi Pasal terkait Penjelasan Pasal  9 Ayat (1) UU a quo Disebutkan: “ .... Perjanjian internasional yang memerlukan pengesahan akan mulai berlaku setelah terpenuhinya prosedur pengesahan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.” Sebagaimana ketentuan tentang saat dimulai berlakunya perjanjian internasional, hukum internasional juga mengatur saat berakhirnya perjanjian internasional. Hukum nasional tidak dapat mengatur sepihak kapan mulai berlakunya perjanjian internasional. Hukum nasional hanya dapat memilih atau menentukan kapan perjanjian internasional mengikat dirinya dengan menentukan kapan suatu negara mau mengikatkan diri kepada perjanjian internasional. Hukum nasional atau UU a quo bisa saja menulis ulang isi konvensi itu tetapi tidak bisa mengatur berbeda dan bertentangan dengan konvensi dimaksud, apalagi mengatur objek yang masuk dalam wilayah hukum internasional.

Sekali Lagi: Tidak Menjabarkan Malah Membuat Ketentuan Yang Bertentangan Dengan UUD
7.      Selain dari kesalahkaprahan Pasal 9 Ayat (2) terkait penjabaran konsep persetujuan yang berubah menjadi pengesahan atau pernyataan pengikatan diri kepada perjanjian internasional sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, Pasal 10 UU a quo melahirkan kontradiksi lain dengan UUD, walaupun pengesahan perjanjian internasional itu dimaknai sebagai permintaan persetujuan pemerintah kepada DPR. Pasal 10 UU a quo menyebutkan:  Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang‑undang apabila berkenaan dengan :
1)      masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
2)      perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia;
3)      kedaulatan atau hak berdaulat negara;
4)      hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
5)      pembentukan kaidah hukum baru;
6)      pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

Sekali lagi, walaupun pengesahan dimaknai persetujuan, Pasal 10 ini telah menyimpangi UUD Pasal 11. Berikut alasannya: Pasal 10 UU a quo telah membuat kriteria atau kualifikasi yang tertutup (exhaustive) terbatas pada enam aspek dimaksud, sementara Pasal 11 Ayat (2) UUD membuat kriteria yang terbuka. Pasal 11 Ayat (2) UUD menyebutkan: “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” Memang, Pasal 10 UU a quo ini lahir terlebih dahulu dari Pasal 11 Ayat (2) UUD. Sehingga, sebagian pihak mungkin mengatakan tidaklah tepat untuk menghadapkan Pasal 10 UU a quo dengan Pasal 11 Ayat (2) UUD. Baiklah, untuk sementara saya akan kesampingkan menghadap-hadapkan Pasal 10 UU a quo dengan Pasal 11 Ayat (2) UUD.
Dengan demikian, Pasal 10 ini harus dihadapkan pada Pasal 11 lama yang sekarang menjadi Pasal 11 Ayat (1). Artinya, sesuai dengan maksud pembentukannya,  Pasal 10 UU a quo akan menjabarkan lebih lanjut ketentuan Pasal 11 Ayat (1) ini, bukan? Pertanyaannya kemudian adalah, apakah Pasal 10 berhasil mencapai maksudnya untuk menjabarkan ketentuan Pasal 11 Ayat (1). Untuk menjawab ini saya perlu kembali ke Surat Presiden Soekarno yang disebutkan di awal. Surat ini punya maksud yang sama dengan UU a quo yakni bagaimana menjabarkan atau mengimplementasikan Pasal 11 Ayat (1) itu karena jika semua perjanjian internasional harus memerlukan persetujuan DPR maka akan merepotkan pemerintah sendiri dan dapat menggangu kefektifitasan hubungan luar negeri sebagaimana pernah disampaikan oleh Soekarno dalam suratnya itu. Lalu, dalam surat itu juga Presiden Sokarno membuat kriteria perjanjian internasional yang memerlukan persetujuan DPR yakni:

 “... Soal-soal politik atau soal-soal yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri Negara,... Ikatan-ikatan yang sedemikian rupa sifatnya sehingga bisa mempengaruhi haluan politik luar negeri Negara....  dan Soal-soal yang menurut Undang-Undang Dasar atau menurut sistem perundang-undangan kita harus diatur dengan undang-undang....”[2]

Jelas terlihat bahwa kualifikasi yang dibuat oleh Presiden waktu itu sama karakternya dengan Pasal 11 Ayat (2) yang dibuat 42 tahun kemudian, yakni sama-sama bersifat terbuka. Dengan demikian, Surat Presiden itu lebih berhasil melaksanakan Pasal 11 (1) UUD.
Sekarang, izinkan saya untuk kembali membicaran Pasal 11 Ayat (2). Mengingat bahwa Pasal 11 Ayat (2) ini lahir belakangan dibandingkan dengan Surat Presiden itu dan bahkan muncul setelah lahirnya Pasal 10 UU a quo, sangatlah fair untuk mengatakan Pasal 11 Ayat (2) UUD lebih memilih kriteria yang digunakan oleh Surat Presiden dibandingkan dengan kriteria yang digunakan oleh Pasal 10 UU a quo. Artinya, jika norma UUD yang lahir belakangan menyimpangi norma UU a quo yang lahir lebih dahulu, dapatlah dipastikan norma UU itu bertentangan dengan norma UUD. Jadi, andaipun dimungkinkan untuk menghindari menilai Pasal 10 UU a quo dengan Pasal 11 Ayat (2) UUD karena Pasal 10 itu lahir terlebih dahulu, tetapi mutlak tidak dapat dihindari untuk menghadapkan Pasal 11 Ayat (2) UUD dengan Pasal 10 UU itu. Selain  adanya dimensi pertentangan ini, mungkin timbul pertanyaan: Apa masalahnya jika Pasal 10 UU a quo membuat kriteria atau kualifikasinya tertutup?  Penjelasannya berikut ini.

Kriteria Problematis
8.      Enam kualifikasi substantif perjanjian internasional yang disebut pada Pasal 10 UU a quo memiliki makna implisit bahwa enam kriteria perjanjian internasional itu adalah jenis-jenis perjanjian internasional yang penting karena memerlukan UU dalam pengesahannya (jika dimaknai pengesahan adalah permintaan persetujuan DPR sebagaimana saya singgung di atas). Sementara secara a contrario perjanjian internasional di luar enam kualifikasi itu adalah kurang penting. Sehingga, cukuplah pengesahannya dengan Perpres. Persoalannya adalah apakah perjanjian internasional yang penting terbatas hanya pada enam kualifikasi tersebut? Jawabannya:  Tidak. Bukan saya yang bilang ‘tidak’, tetapi UU Perdagangan yang bilang. UU Nomor 7 tahun 2014 Tentang Perdagangan dalam Pasal 84 Ayat (3) Huruf a dan b menyebutkan:
a.     Dalam hal perjanjian Perdagangan internasional menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang, pengesahannya dilakukan dengan undang-undang.
b.    Dalam hal perjanjian Perdagangan internasional tidak menimbulkan dampak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, pengesahannya dilakukan dengan Peraturan Presiden.
Dari ketentuan ini, jelas terlihat bahwa selain enam kriteria itu, ada kriteria lain yang juga penting. Yakni, perjanjian yang mengatur tentang perdagangan internasional yang substansinya “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang ....” Sehingga, pengesahannya harus dilakukan dengan UU.
Bercermin dari UU Perdagangan ini, dapat diketahui bahwa substansi perjanjian internasional yang “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang” pasti banyak atau tidak terbatas pada enam kriteria yang disebut di dalam Pasal 10 UU a quo dan Pasal 84 Ayat (3) huruf a UU Perdagangan. Dari UU Perdagangan ini pula, secara sangat meyakinkan kita harus mengatakan bahwa kriteria Pasal 10 UU a quo yang bersifat tertutup tidak bisa diterima. UU Perdagangan menggunakan kriteria Pasal 11 Ayat (2) UUD yang bersifat terbuka. Jangankan terhadap perjanjian internasional yang spektrum substansinya sangat luas, bahkan terhadap perjanjian perdagangan yang sangat spesifikpun substansi aturannya bisa sangat terbuka: “ada yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang” ada yang tidak- sehingga cukup disahkan dengan Peraturan Presiden. Sementara itu, dari sisi kewenangan DPR, enam kriteria tertutup ini jelas telah mengebiri lembaga perwakilan rakyat itu mengontrol tindakan pemerintah dalam mengikatkan diri kepada perjanjian internasional dan ini adalah persoalan yang sangat serius.

Contoh Perjanjian Internasional Yang Membawa Akibat Yang Luas dan Mendasar
9.      Sejak berlaku tahun 2000 dan dengan segala permasalahan yang telah saya paparkan di atas, UU a quo dan secara spesifik Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 telah menjadi dasar bagi Presiden (pemerintah) dan juga DPR dalam mengikatkan diri kepada perjanjian internasional. Sejak tahun 2000 itu pula, pemerintah telah membuat ratusan perjanjian internasional. Di antara sekian banyak perjanjian itu ada perjanjian internasional “yang menimbulkan dampak yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang” tetapi pengesahannya dilakukan dengan Peraturan Presiden seperti perjanjian-perjanjian tersebut di atas. Saya tidak akan merinci satu persatu perjanjian-perjanjian dimaksud. Namun jelas, hampir semua perjanjian kemitraan ekonomi selalu diratifikasi setelah terbit Perpres atau dalam bahasa UU a quo disahkan melalui Perpres.
Dalam lingkup ASEAN misalnya, Indonesia terikat pada perjanjian perdagangan/investasi bebas melalui ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) 1995 yang disahkan dengan Keputusan Presiden No. 88 Tahun 1995 (untuk perjanjian ini, UU a quo memang belum lahir); ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA) 2009 yang disahkan pada tahun 2010 dengan Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2010; ASEAN Comprehensive Investment Agreement (ACIA) tahun 2009 yang sahkan Indonesia pada tahun 2011 dengan Peraturan Presiden No. 49 Tahun 2011. Semua perjanjian dalam rangka mewujudkan masyarat ekonomi ASEAN alias pasar bebas ASEAN itu -menurut bahasa UU a quo- disahkan dengan Peraturan Presiden bukan dengan UU. Yang lain adalah perjanjian internasional yang bernama: Agreement Between The Republic of Indonesia and Japan For An Economic Partnership 2007 atau yang biasa disebut Indonesia-Japan Economic Partnership (IJEPA), yang disahkan lewat Perpres No. 36 Tahun 2008.
Perjanjian ini adalah suatu perjanjian internasional tentang kemitraan ekonomi antara Indonesia dengan Jepang. Perjanjian yang terdiri dari tidak kurang 154 pasal mengatur kerjasama ekonomi dua negara yang sangat luas. Mulai dari aturan perdagangan berbagai jenis produk dan jasa, kepabeanan dan bea masuk, pajak, investasi, hak atas kekayaan intelektual (hak cipta, merek dagang, disain industri, paten) persaingan usaha, penyediaan barang pemerintah (government procurement) pergerakan orang, sampai dengan penyelesaian sengketa. Luasnya cakupan perjanjian dan mengingat besarnya nilai dan volume kerjasama ekonomi antara Indonesia dan Jepang, terlihat jelas bahwa perjanjian ini memiliki dampak yang luas bagi Indonesia dan oleh karenanya sangat penting. Jepang sendiri menganggap perjanjian ini penting. Sehingga, Pemerintah Jepang memerlukan persetujuan parlemennya terlebih dahulu sebelum menyatakan terikat dengan perjanjian ini.[3] Namun, seperti disebutkan sebelumnya, Indonesia menyatakan keterikatannya dengan perjanjian ini setelah diterbitkannya Perpres. Pemerintah tidak meminta persetujuan dari DPR.
Contoh lain adalah berbagai Perjanjian Perdagangan bebas ASEAN-China yang mulai dibentuk pada tahun 2002 melalui perjanjian internasional bernama Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation Between The Association Of South East Asia Nations and The People's Republic Of China (Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh Antara Negara-Negara Anggota Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Republik Rakyat China tahun 2002 yang disahkan melalui Keppres No. 48 Tahun 2004. Ada banyak perjanjian internasional lain yang dibuat antara negara-negara ASEAN termasuk Indonesia dengan China ini  dalam mengimplementasikan framework agreement itu seperti Agreement on Trade in Goods of the Frameworks Agreement on Comprehensive Economic Co-operation Between The Association Of South East Asia Nations and The People's Republic Of China  (Perpres No. 25/2011), Agreement on Investment of the Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation Between The Association Of South East Asia Nations and The People's Republic Of China (Perpres No. 57/2010), dan Agreement on Trade in Services of the Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation Between The Association Of South East Asia Nations and The People's Republic Of China (Perpres No. 18/2008) plus amandemen dan protokol-protokolnya. Indonesia ikut menjadi pihak dalam paket perjanjian internasional pasar bebas di bidang perdagangan dan investasi ini dan pengesahannya dilakukan tidak dengan UU walau dampak dari rangkaian perjanjian-perjanjian ini sangat besar. Menurut Serikat Petani Indonesia (SPI), pasar bebas antara ASEAN dengan China dimana Indonesia ikut di dalamnya membuat pertanian Indonesia terancam. Petani bawang putih kita misalnya adalah salah satu pihak yang paling terkena dampak buruk dari perjanjian internasional ini. [4] 
Sementara itu, banyak kalangan menilai Perjanjian Kemitraan Ekonomi dengan Jepang itu merugikan Indonesia. Ini dikatakan antara lain oleh Menteri Perindustrian MS Hidayat sebagaimana dilaporkan oleh media Bisnis Indonesia yang ditulis ulang pada situs Kementerian Perindustrian RI.[5] Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Menteri Perindustrian setelahnya yakni Saleh Husin sebagaimana dilaporkan oleh CNN Indonesia.[6] Memang, ada juga laporan yang menyebutkan bahwa IJEPA menguntungkan Indonesia. Namun, tidak dapat dibantah bahwa ketika Indonesia menunda bea masuk mobil impor utuh completely build up (CBU) dari Jepang karena Indonesia menilai penurunan bea masuk ini akan menghambat investasi industri mobil -padahal penurunan itu telah disepakati dalam IJEPA- itu berarti bahwa perjanjian IJEPA ini merugikan Indonesia.[7] Overall, secara umum, perjanjian ini dinilai tidak menguntungkan Indonesia sehingga muncul keinginan dari pihak Indonesia untuk mengkaji ulang atau mengamendamennya.[8] Pertanyaannya kemudian adalah mengapa pemerintah mengesahkan perjanjian internasional yang penting ini dengan Perpres? Jawabannya jelas. Ini karena kategori atau kualifikasi perjanjian internasional dimaksud di luar kriteria perjanjian internasional yang pengesahannya dilakukan dengan UU sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 UU a quo. Sehingga, bentuk pengesahan perjanjian itu masuk dalam kategori Pasal 11 UU a quo yakni dengan Kepres (Perpres).

Hak Konstitusionalitas Yang Diberikan UUD
10.  Akhirnya, sampailah saya pada bagian-bagian akhir keterangan ini. Pada bagian ini, saya akan sampaikan pendapat terkait hak dan kerugian konstitusionalitas akibat berlakunya UU a quo. Pertanyaan fundamentalnya adalah: Apa hak konstitusionalitas yang dimiliki warga negara dan kerugian konstitusionalitas sehubungan dengan UU a quo? Baiklah. Saya mulai dengan menjelaskan hak konstitusionalitas terlebih dahulu.
Negara Republik Indonesia adalah negara yang dalam konstitusinya memberikan perhatian yang serius terhadap sistem perekonomiannya termasuk menentukan bentuk usaha perekonomian yang berasaskan kekeluargaan. Sehingga, dalam hubungan ini, cabang-cabang produksi penting termasuk air dan kekayaan yang terkandung di dalam bumi pertiwi dikuasai negara dan dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat. Ini termaktub jelas dalam Pasal 33 UUD. Bahkan, pada perubahan UUD tahun 2002, komitmen konstitusionalitas dipertegas dan diperluas lagi dengan menyebut bahwa: “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”, sebagaimana dapat dibaca pada Ayat (4) dalam Pasal 33 UUD itu.
Dengan demikian, UUD mewajibkan pemerintah untuk menjamin terciptanya sistem perekenomian sebagaimana disebut di dalam Pasal 33 Ayat( 4) UUD itu. Melalui Pasal 33 (Ayat (4) ini pula, warga negara Republik Indonesia secara konstitusional berhak untuk mendapatkan kesejahteraan dan kemakmuran atau setidak-tidaknya berhak melakukan berbagai aktivitas perekonomian untuk memperoleh kesejahteraan dan kemakmuran dalam suatu sistem perekonomian yang harus pemerintah ciptakan sesuai dengan kehendak Pasal 33 itu.
Jika pemerintah belum mampu mewujudkan sistem perekonomian ke arah sana, setidak-tidaknya pemerintah tidak membuat -baik secara keseluruhan atau sebagian- atau setidak-tidaknya pemerintah tidak memfasilitasi suatu sistem perekonomian atau praktik usaha, industri, perdagangan, investasi atau aktivitas perekonomian lain yang justru bertentangan dengan sistem yang diperintahkan untuk dibentuk oleh UUD itu.

Kerugian Konstitusionalitas
11.  Tidak mudah untuk menentukan apakah sistem perdagangan bebas merugikan atau menguntungkan negara-negara yang terlibat. Banyak pro-kontra seputar ini. Walaupun demikian, secara spesifik masih bisa ditentukan apakah suatu jenis perjanjian kemitraan tertentu merugikan atau menguntungkan negara peserta dalam suatu kurun waktu tertentu seperti perjanjian-perjanjian yang saya sebut di atas. Dalam konteks Indonesia dan IJEPA serta perjanjian dalam kerangka pasar bebas ASEAN dengan China, sebagaimana yang sudah saya kutipkan di atas, perjanjian-perjanjian itu merugikan perekonomian nasional secara umum. Jika dikaitkan dengan industri otomotif Indonesia misalnya, industri ini dapat terancam kemandiriannya, keberlangsungannya, atau setidaknya akan terganggu akibat adanya ketentuan penurunan bea masuk mobil dari Jepang sebagai konsekuensi perjanjian IJEPA itu. Serta, jika dikaitkan dengan petani Indonesia jelas petani kita merugi karena kalah bersaing dengan produk pertanian China akibat serangkaian perjanjian pasar bebas ASEAN-China. Lalu, pertanyaan kuncinya adalah apa hubungan antara hak yang diberikan konstitusi dalam Pasal 33 (Ayat 4) dan kerugian yang timbul dari perjanjian internasional seperti IJEPA dan perjanjian pasar bebas ASEAN-China dengan UU a quo yang dimohonkan untuk diuji materi? Bukankah kerugian itu berasal dari IJEPA dan perjanjian pasar bebas ASEAN-China bukan dari UU a quo? Lalu, mengapa yang diuji adalah UU a quo?
Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, izinkan saya untuk kembali mengingat suatu permohonan yang diajukan oleh pemohon -yang diantaranya saya pikir adalah juga pemohon pada hari ini- dan putusan Mahkamah Konsitusi terhadapnya. Pemohon mengajukan uji materi terhadap perjanjian internasional yang bernama Piagam ASEAN karena perjanjian internasional yang disahkan melalui UU Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Pengesahan Asean Charter itu, memuat Piagam ASEAN dalam lampirannya. Mengingat bahwa lampiran UU adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan UU, maka mereka memohon pengujiannya ke MK. Jika menggunakan logika ini dan jika IJEPA disahkan dengan UU misalnya maka yang diuji adalah IJEPA-nya karena IJEPA itu menjadi lampiran dari produk hukum yang mengesahkannya. Walau permohonan itu ditolak, namun MK sependapat dengan logika pemohon bahwa MK berwenang melakukan uji materi perjanjian internasional Piagam ASEAN karena Piagam itu merupakan lampiran dari UU No. 38 Tahun 2008 itu.[9] Saya mohon izin untuk tidak sependapat dengan putusan MK itu karena menurut saya dan sebagian sudah saya jelaskan sebelumnya, bahwa tindakan pengesahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat (2) UU a quo adalah tindakan hukum nasional, sehingga yang patut diuji oleh MK adalah tindakan hukum nasional itu. Sementara subtansi perjanjian internasional dan ketentuan keterikatan atau ketidakterikatan kepadanya adalah wilayah hukum internasional, sehingga hukum internasional pulalah yang harus digunakan.  Jadi, yang semestinya dilakukan MK dalam konteks uji materi tersebut adalah menyatakan persetujuan yang dibuat dalam bentuk UU No. 38 Tahun 2008 bertentangan atau tidak bertentangan dengan UUD. Dan jika MK menyatakan bertentangan, putusan MK itu harus menjadi dasar bagi pemerintah untuk mundur dari perjanjian dimaksud dan dilakukan menurut syarat-syarat yang diatur dalam hukum internasional. Dengan dasar argumen ini pulalah saya hendak menjawab pertanyaan hubungan antara hak yang diberikan UUD dan kerugian konstitusionalitas yang ditimbulkan oleh suatu perjanjian yang disahkan dengan Perpres seperti IJEPA dengan uji materi UU a quo. Bahwa tidak mungkin untuk mengajukan permohonan uji materi perjanjian internasional walau perjanjian internasional itu merupakan lampiran dari suatu UU yang mengesahkannya karena permohonan itu bukan wilayah hukum dan bukan wilayah peradilan nasional melainkan wilayah hukum internasional. Yang mungkin dilakukan adalah membatalkan atau menguji materi perundang-undangan yang mengesahkannya. Jika bentuk pengesahannya adalah UU maka bisa diuji ke MK atau jika Perpres, bisa diuji ke peradilan lain. Kemudian, terhadap pertanyaan bukankah yang merugikan itu adalah perjanjian internasionalnya tetapi mengapa yang diuji adalah UU a quo?
Semua perjanjian internasional sejak berlakunya UU a quo tahun 2000 dilakukan menurut UU ini. Walau memang, sejak berlakunya UU Perdagangan No. 7 Tahun 2014 sebagian pengesahan perjanjian internasional dilakukan menurut UU ini. Artinya, UU a quo lah –dalam hal ini ketentuan tentang pengesahan yakni Pasal 9 Ayat (2) Pasal 10 dan Pasal 11 Ayat (1)- yang menentukan berlakunya perjanjian-perjanjian internasional yang merugikan hak konstitusional itu. Ini dilakukan dengan memberikan kekuasaan pada pemerintah untuk menyatakan keterikatan Indonesia kepada perjanjian seperti perjanjian IJEPA dan perjanjian ASEAN China tanpa harus mendapat persetujuan DPR. Mungkin sebagian pihak akan bertanya, bukanlah kerugian itu bersifat tidak langsung?  Dan bukankah -walau pengikatannya disetujui DPR- kerugian atau potensi kerugian bisa saja terjadi?
Benar, kerugian yang ditimbulkan tidak langsung diciptakan oleh UU a quo tetapi oleh perjanjian internasional. Namun, bukankah satu-satunya cara membuat perjanjian internasional itu mengikat Indonesia karena Indonesia yang menginginkannya dan keingainan itu hanya dapat terwujud jika telah memenuhi ketentuan UU a quo?
Jika sifat kerugiannya harus bersumber langsung dari UU a quo, bayangkan bagaimana warga negara yang hak konstitusionalitasnya dirugikan atau berpotensi dirugikan menghentikan pemerintah untuk tidak mengikatkan diri kepada perjanjian internasional yang demikian?
Terhadap pertanyaan: Bukankah kerugian atau potensi kerugian bisa saja terjadi walau pengikatannya disetujui DPR? Memang benar, tidak ada jaminan jika suatu perjanjian internasional yang telah dibuat pemerintah lalu disetujui DPR pasti tidak akan merugikan Indonesia. Namun, jika UU a quo membuat kriteria yang sejalan dengan UUD warga negara pemilik hak lewat wakil-wakilnya di DPR -melalui proses yang ada di DPR yang perlu dibuat partisipatif dan transparan- punya kesempatan untuk menghentikan langkah pemerintah mengikatkan diri kepada perjanjian internasional yang berpotensi merugikan hak-hak konstitusionalitas warga negara dimaksud. Karena pemilik hak tidak mungkin menggugat atau memohon pembatalan suatu perjanjian internasional kepada hukum nasional melalui peradilan nasional, maka tidak ada jalan lain bagi rakyat kecuali mengharapkan DPR dapat menghentikan usaha pemerintah untuk mengikatkan diri kepada perjanjian internasional dengan meminta DPR untuk tidak menyetujuinya. UU a quo yang sekarang diuji materi menghilangkan harapan itu.
Oleh karena itu, jika majelis yang mulia biasanya memutuskan diterima atau tidaknya uji materil suatu UU karena ada kerugian langsung dari UU yang diujimaterilkan, izinkan saya mengundang majelis untuk sungguh-sungguh mempertimbangkan uji materi UU a qou yang sangat khas ini dengan melihat kerugian yang tidak langsung yang diciptakannya. Khas karena pada hakekatnya UU a quo hanya mengatur kewenangan Presiden (pemerintah) dan DPR serta tidak secara langsung mengatur hak dan kewajiban warga negara. Sehingga, dampak kerugiannya juga tidak langsung dirasakan oleh warga negara pemilik hak konstitusional. Namun, walau tidak langsung, kerugian yang dihasilkannya nyata.

Majelis yang mulia, wakil pemerintah, wakil DPR dan para wakil pemohon, Demikianlah paparan ini. Terimakasih atas kesempatan yangdiberikan.
Wassalam

Irfan R Hutagalung



[1] Persoalan ini pernah diintrodusir oleh Prof Muchtar Kusumaatmadja dalam bukunya: PENGANTAR HUKUM INTERNASIONAL, (1976) hal. 94 Saya berterimakasih kepada Dr. iur. Damos Dumoli Agusman yang  telah mengulas isu ini kembali dalam suatu diskusi menanggapi penelitian saya tentang UU Perjanjian Internasional.
[2]Surat Presiden Soekarno Kepada DPRGR Nomor: 2826/HK/60

[3] David Adam Stott, “The Japan-Indonesia Economic Partnership: Agreement Between Equal?” https://apjjf.org/-David-Adam-Stott/2818/article.pdf
[9] Putusan MK Nomor 33/PUU-IX/2011 hal. 180-181.