Saturday, October 21, 2017

Perppu No. 1 Tahun 2017 dan Perjanjian Internasional

 IRFAN R HUTAGALUNG

Dosen Hukum Internasional FISIP UIN Jakarta dan Mengajar di Sekolah Tinggi Hukum Jentera 
(Dimuat dalam Rubrik Opini Konstitusi pada Majalah Konstitusi Terbitan Mahkamah Konstitusi Nomor 126 Agustus 2017) 
Pemerintah kembali menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Kali ini Perppu berjudul Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan yang bernomor 1 Tahun 2017. Perppu ini memberikan kewenangan kepada otoritas perpajakan untuk mendapatkan dan menerima informasi keuangan guna kepentingan perpajakan dari lembaga jasa keuangan yang melaksanakan kegiatan perbankan, pasar modal, perasuransian, atau lembaga/entitas jasa keuangan lainnya. Setelah informasi ini diperoleh, Menteri Keuangan berwenang mempertukarkannya dengan otoritas keuangan negara atau yurisdiksi lain. Ini dilakukan sebagai bagian dari upaya Indonesia dalam kerangka kerjasama internasional untuk memerangi penghindaran/penggelapan pajak termasuk penyucian uang. Juga untuk memaksimalkan penerimaan pajak nasional. Sebelum Perppu ini lahir, Direktorat Jenderal Pajak secara umum tidak berwenang untuk meminta dan memperoleh informasi keuangan dimaksud karena informasi itu dilindungi atau dirahasiakan oleh Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang Perbankan Syariah, Undang-Undang Pasar Modal, Undang-Undang Perdagangan Berjangka Komoditi. Dan bagi mereka yang mengungkapkan informasi itu tanpa alas hukum dapat dikenai sanksi pidana.

Persoalannya,  mengapa pemerintah menerbitkan Perppu? Mengapa tidak mengajukan suatu rancangan undang-undang (RUU) atau rancangan perubahan undang-undang yang menganulir kerahasian informasi perbankan, pasar modal, dan bidang lain? Jawabannya adalah pemerintah terikat kepada suatu perjanjian internasional, yakni “Convention On Mutual Administrative Assistance In Tax Matters dan “The Multilateral Competent Authority Agreement” (MCAA). Konvensi itu meminta negara pihak membuat legislasi yang memungkikan terjadinya perolehan dan pertukaran informasi keuangan terkait perpajakan. Dan melalui MCAA, Indonesia berkomitmen merealisasikan pertukaran itu pada September 2018. Lalu, untuk mengimplementasikan kedua komitmen hukum internasional ini, pemerintah menerbitkan Perppu. Karena jika dengan undang-undang, tenggat implementasi diyakini tidak akan tercapai.

Tulisan ini tidak membahas apakah penerbitan Perppu  memenuhi kegentingan memaksa atau tidak. Melainkan,  menunjukkan praktik pengikatan Indonesia kepada perjanjian internasional dalam kasus perjanjian internasional di atas bermasalah serius. 

Ratifikasi dengan Perpres     
Sebagaimana hukum di negara lain pada umumnya, setelah ditandatangani pemerintah dan sebelum perjanjian internasional yang penting mengikat negara, suatu bentuk persetujuan yang lajim disebut ratifikasi perlu dilakukan. Untuk perjanjian yang sangat penting, persetujuan diberikan parlemen atau lembaga perwakilan rakyat. Sementara untuk perjanjian yang kurang penting, persetujuan cukup diberikan oleh kepala negara atau kepala pemerintahan. Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Dasar antara lain mengatur, jika presiden (pemerintah) membuat suatu perjanjian internasional yang mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang, persetujuan (ratifikasi) DPR harus diminta sebelum Indonesia menyatakan keterikatannya kepada perjanjian internasional dimaksud. Senada dengan itu, Pasal 10 UU Perjanjian Internasional juga mensyaratkan perlunya pengesahan atau ratifikasi DPR terhadap perjanjian internasional yang mengakibatkan pembentukan kaidah hukum baru.

Konvensi dan persetujuan tersebut di atas memaksa Indonesia membentuk hukum baru dan mengubah setidaknya lima undang-undang sebagaimana terbaca di dalam Pasal 8 Perppu itu. Tetapi, Konvensi itu sendiri ternyata diratifikasi hanya dengan peraturan presiden, yakni Perpres Nomor 159 Tahun 2014. Lalu, tahun berikutnya, Menteri Keuangan ketika itu menandatangani “The Multilateral Competent Authority Agreement”.

Apakah ini bentuk keteledoran pemerintah ketika itu yang tidak menyadari bahwa Konvensi dan  Persetujuan dimaksud mengakibatkan perlunya perubahan atau pembentukan undang-undang baru sehingga seharusnya diratifikasi dengan undang-undang?

Fait Accompli DPR
Sekarang,  Perppu telah di tangan DPR. Bagaimana jika DPR menolaknya karena misalnya menganggap pertukaran informasi tidak membawa manfaat justru malah merugikan kepentingan nasional? Menurut Pasal 22 UUD, pemerintah harus mencabutnya. Namun, Perppu ini bukan sembarang Perppu. Jika DPR tidak menyetujui Perppu dimaksud, Indonesia berpotensi melanggar hukum internasional karena Indonesia tidak memenuhi komitmennya sebagaimana termaktub di dalam Konvensi dan Persetujuan tersebut di atas. Pemerintah tidak bisa menyatakan kepada para pihak bahwa Indonesia tidak menjalankan janji terhadap Konvensi dan Persetujuan itu karena DPR tidak sependapat dengannya. Pasal 27 Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional melarang negara mendalilkan hukum nasional sebagai dasar kealpaannya melaksanakan perjanjian internasional. Memang, Indonesia dimungkinkan untuk mundur dari Konvensi dan Persetujuan itu. Tapi, itu pasti langkah yang sangat sulit karena akan mempermalukan diri sendiri.

Walaupun besar kemungkinan DPR tidak akan menolak Perppu itu, tapi jelas pemerintah telah mem-fait accompli-nya. Artinya, Pasal 11 UUD telah dikebiri. Praktik ini hanya dapat dihindari jika DPR sendiri aktif dalam menjalankan fungsi kontrol dan menyelia setiap perjanjian internasional yang dilakukan pemerintah serta menilai apakah bentuk ratifikasi yang dilakukan dengan peraturan presiden telah sesuai dengan prinsip yang diatur di dalam Pasal 11 Ayat (2) UUD sebelum ratifikasi itu dilakukan. Untuk itu, langkah pertama yang harus dilakukan DPR adalah menuntaskan perubahan UU Perjanjian Internasional yang walaupun sudah dijadikan program legislasi nasional (Prolegnas) tahun 2015-2019 tetapi belum dimasukkan ke dalam Prolegnas Prioritas tahun ini. Salah satu kelemahan dari UU Perjanjian Internasional adalah dominannya peran pemerintah dalam menentukan mana perjanjian internasional yang perlu persetujuan DPR dan mana yang tidak. Kelemahan ini sebagian sudah ditambal melalui UU Perdagangan Nomor 7 Tahun 2014 yang mewajibkan pemerintah mengirimkan kepada DPR setiap perjanjian internasional di bidang perdagangan yang ditandatanganinya. Lalu, DPR yang akan menentukan mana perjanjian yang memerlukan pengesahan dengan perpres dan mana yang dengan undang-undang.