Tuesday, May 28, 2019

Soal Kewenangan Mahkamah Internasional


Amien Rais hendak mengadukan Wiranto ke Mahkamah Internasional (MI) karena Wiranto dianggapnya menyalahgunakan kekuasaan. Setelahnya, Priyo Budi Santoso juga mengatakan, lewat tweet-nya, tidak hanya akan membawa kasus Pilpres 2019 ke Mahkamah Konstitusi tapi juga pantas untuk dibawa ke MI. Terakhir,  dalam suatu konferensi pers, relawan MER-C  Joserizal Jurnalis mengatakan bahwa perlakuan aparat kepada pihak petugas medis Dompet Dhuafa (DD) bertentangan dengan Konvensi Jenewa.

Q: Hukum Internasional dan Perjanjian Internasional disebut dalam rangkaian peristiwa pasca Pilpres 2019. Apakah itu tepat?

A: Sayang sekali tidak. Mari kita mulai dari soal MI atau International Court of Justice (ICJ). MI hanya memiliki yurisdiksi (kewenangan hukum) untuk mengadili sengketa antarnegara dimana masing-masing negara yang bersengketa terlebih dahulu bersepakat bahwa sengketa mereka akan dibawa ke MI atau negara bersedia digugat di MI

Q: Hanya sengketa antarnegara saja? Bukan sengketa antara negara dengan warga negaranya?   

A: Betul. Hanya sengketa antarnegara saja. Ini diatur di dalam Pasal 34 (1) Statuta ICJ yang berbunyi: Only States may be parties in cases before the Court.    

Q: Ok. Lalu, bahwa negara-negara yang berkonflik harus terlebih dahulu sepakat membawa kasus mereka ke MI atau bahwa negara harus terlebih dahulu bersedia digugat di MI maksudnya bagaimana?

A: Indonesia dan Malaysia pernah berkonflik soal kedaulatan atas pulau Sipadan dan Ligitan. Lalu, keduanya kemudian membuat persetujuan untuk menyelesaikan kasus itu ke MI. Indonesia dan Malaysia menuangkan kesepakatan itu ke dalam suatu perjanjian internasional.  Namanya:  “Special Agreement for Submission to the International Court of Justice of the Dispute between the Republic of Indonesia and Malaysia concerning Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan” yang ditandatangani keduanya di Kuala Lumpur tanggal 31 Mei 1997.

Q: Jadi, jika salah satu pihak, baik Indonesia atau Malaysia tidak setuju untuk membawa kasus dimaksud ke MI, maka kasus itu tidak pernah disidangkan di MI?

A: Tepat sekali.

Q: Apakah kesepakatan para pihak yang bersengketa itu harus dibuat terlebih dahulu sebelum mereka dapat berpekara di depan Mahkamah?

A: Tidak. Kesepakatan para pihak tidak harus dituangkan dalam suatu perjanjian yang khusus dibuat untuk itu, tapi bisa dalam bentuk lain yang menunjukkan bahwa para pihak sepakat perkara mereka disidangkan di MI sebagaimana disebut di dalam Pasal 36 (1) Statuta ICJ

Q: Maksudnya?

A: Misalkan dua negara punya perjanjian bilateral tentang perdamaian (treaty of amity). Dalam perjanjian itu, diatur tentang penyelesaian sengketa yang mungkin timbul akibat  interpretasi atau implementasi dari perjanjian itu. Jika dikemudian hari timbul sengketa di antara mereka dan tidak dapat diselesaikan dengan cara diplomasi, pihak yang merasa dirugikan dapat membawa kasus itu ke MI. Hal yang sama juga berlaku dalam suatu perjanjian multilateral seperti Vienna Convention on the Law of Treaty, Rome Statute dan banyak treaty lainnya.  Melalui perjanjian-perjanjian  internasional itu negara-negara sepakat bahwa masing-masing mereka dapat digugat di MI hanya terhadap materi terkait perjanjian yang sudah disepakati. Itu pun jika negara terkait tidak melakukan reservasi (menyatakan tidak mau terikat) terhadap ketentuan penyelesaian sengketa dimaksud.

Dua negara atau lebih bisa juga membuat perjanjian internasional yang isinya memuat jika ada perselisihan di antara mereka terkait hal-hal tertentu dapat dibawa ke MI. Jadi, jika misalnya antara Indonesia dan Malaysia ada perjanjian internasional yang demikian dan kasus Sipadan/Ligitan masuk dalam perselisihan yang dapat dibawa ke MI, maka tanpa perlu membuat perjanjian khusus, Indonesia atau Malaysia dapat saling menggugat di MI.

Q: Adakah cara lain?

A: Ada. Selain yang disebut di atas, persetujuan atau kesediaan untuk digugat di MI dapat juga dideklarasikan. Suatu negara dapat mendeklarasikan kesediaannya untuk digugat oleh negara lain di MI asalkan negara yang menggugatnya telah juga melakukan deklarasi yang sama bahwa negara tersebut bersedia digugat oleh negara lain di MI. Ketentuan ini diatur di dalam Pasal 36 (2) Statuta ICJ. Jadi, misalnya jika Indonesia dan Malaysia sama-sama pernah membuat deklarasi yang demikian, maka keduanya bisa saling menggugat di MI tanpa perlu perjanjian khusus.

Q: Jadi, suatu negara hanya dapat diseret atau digugat ke MI jika: Pertama ada suatu kesepakatan khusus yang dibuat oleh para pihak untuk membawa kasusnya ke MI. Kedua, jika ditentukan dalam suatu perjanjian internasional dimana negara penggugat atau tergugat terikat kepada suatu perjanjian internasional dimana para pihak sama-sama menerima ketentuan bahwa penyelesaian sengketa yang timbul terkait interpretasi dan implementasi perjanjian tadi dilakukan melalui MI. Ketiga, jika dua negara atau lebih membuat perjanjian internasional yang isinya jika timbul perselisihan di antara mereka maka akan dibawa ke MI. Dan keempat, jika negara penggugat atau tergugat sama-sama mendeklarasikan kesediaannya untuk digugat ke MI?

A: Tepat sekali. 

Q: Baik. Sekarang bagaimana dengan dugaan pelanggaran Konvensi Jenewa?

A: Dalam hukum, baik hukum nasional maupun hukum internasional, penting sekali untuk tahu kapan suatu aturan applicable. Empat Konvensi Jenewa 1949 hanya berlaku (applicable) pada waktu perang atau konflik bersenjata (armed conflict) tidak berlaku pada masa damai.

Q: Maksudnya waktu perang atau konflik bersenjata itu bagaimana?Bukankah kerusuhan kemarin itu merupakan konflik bersenjata?

A: Perang atau konflik bersenjata yang dimaksud Konvensi Jenewa ada dua yakni: Pertama, perselisihan dua negara atau lebih yang melibatkan senjata disebut juga konflik bersenjata internasional (international armed conflict). Kedua, konflik bersenjata yang tidak berkarakter internasional atau disebut juga non-international armed conflict. Jelas, kerusuhan yang lalu bukan perang atau konflik bersenjata kategori pertama.

Q: Lalu, apakah masuk dalam kategori kedua?

A: Juga tidak. Karena untuk dapat disebut perang atau konflik bersenjata non-internasional selain konflik harus berlangsung di wilayah suatu negara, juga konflik harus terjadi antara tentara negara dengan kelompok pemberontak bersenjata atau kelompok bersenjata terorganisir lain yang ditandai dengan adanya sistem komando, kemampuan menguasai sebagian wilayah di negara itu sehingga mereka mampu melakukan perang yang berlangsung lama (sustain), juga termasuk kemampuan menjalankan ketentuan hukum humaniter. Ini diatur di dalam Pasal 1 Protokol Tambahan II Konvensi Jenewa (Additional Protocol II to Geneva Conventions) 1977.

Jadi, konflik kemaren itu tidak termasuk perang atau konflik bersenjata non –internasional apalagi konflik bersenjata internasional karena tidak memenuhi kriteria untuk disebut demikian.  Yang berlangsung 21-22 Mei kemaren hanyalah kerusuhan (riot) belaka.