Wednesday, December 12, 2012

Implikasi Hukum Status Baru Palestina

(Dimuat Di Harian Waspada Medan, Rabu, 12 Desember 2012)



Palestina menapak babak baru dalam perjuangannya menjadi negara yang berdaulat penuh. Majelis Umum PBB menerima peningkatkan status Peninjau (Observer) menjadi Negara Peninjau Bukan Anggota (Non-Member Observer State) di PBB dengan Resolusi A/RES/67/19, November 2012. 

Apa arti peningkatan status ini? Dalam hukum internasional, pengakuan suatu entitas untuk dapat dikategorikan sebagai subjek hukum internasional utama adalah semacam lisensi untuk mengemban hak dan kewajiban dalam masyarakat internasional secara penuh. Hanya negara berdaulatlah yang dapat berstatus subjek hukum demikian. Perjuangan menuntut kemerdekaan bangsa Palestina, adalah juga perjuangan guna mendapatkan status subjek hukum internasional utama itu.

Di forum PBB, Palestina mulai meraih status subjek hukum terbatas ketika dianugerahinya PLO status Peninjau dan diakui sebagai satu-satunya perwakilan rakyat Palestina melalui Resolusi Majelis Umum 3237 (XXIX) November 1974.

November 1988, Dewan Nasional Palestina, legislatifnya PLO, memproklamirkan negara Palestina. Namun, status sebagai subjek hukum internasional utama tidak serta merta diraih. Dalam hukum internasional, legalitas suatu negara lajim diuji dengan empat kriteria faktual dirumuskan oleh Konvensi Montevideo 1933: berwilayah tertentu; berpenduduk permanen; berpemerintahan; dan berkemampuan untuk menjalin hubungan internasional. Satu kriteria tidak terpenuhi. Teritori yang diakui sebagai wilayahnya masih diduduki Israel. Pemerintahanpun dilangsungkan di pengasingan. Namun, ini tidak menghambat negara-negara secara bilateral mengakui Palestina sebagai negara dan berhubungan dengannya. Walau pengakuan bilateral ini penting, itu tidak membuat Palestina setara statusnya dengan negara pada umumnya.

Perkembangan berikutnya muncul lewat Perjanjian Oslo I dan II 1993. Walau tidak membicarakan status negara Palestina, lewat Perjanjian ini lahirlah Palestinian National Authority (Otoritas Palestina) suatu pemerintahan administratif atas sebagian wilayah Palestina. Israel pun hengkang dari Gaza dan Jericho. Pemerintahan Palestina dilangsungkan dari wilayahnya sendiri dan sampai taraf tertentu memiliki kontrol terhadap penduduk dan teritori walau masih tetap berstatus wilayah pendudukan. Tetapi, status Palestina di PBB belum berubah. Setahun lalu, upaya mendapatkan pengakuan sebagai negara anggota penuh kandas. Ini karena Amerika Serikat yang duduk di Dewan Keamanan PBB, pemilik otoritas untuk menerima atau menolak pengakuan dimaksud, berjanji akan menentangnya. 

Sampai kemudian lahirlah status Negara Peninjau Bukan Anggota itu. Sesungguhnya sebutan itu tidak banyak mengubah peran Palestina dari status sebelumnya di PBB: Palestina tetap tidak punya hak suara dan mencalonkan kandidat untuk jabatan di sana. Namun -walau harus dibuktikan kelak- pengakuan ini adalah jalan baru bagi Palestina untuk mewujudkan statusnya sebagai subjek hukum internasional penuh. Jalan itu mulai terlihat.

Sehari setelah Palestina dianugerahi gelar itu, Associated Press melaporkan Kantor Jaksa Penuntut (The Office of the Prosecutor) Mahkamah Kejahatan International (International Criminal Court, ICC) mengeluarkan statemen bahwa Jaksa Penuntut akan mempertimbangkan implikasi hukum dari resolusi itu.

Memang, di Januari 2009, dengan mengacu pada Pasal 12 (2) juncto Pasal 13 (a) Statuta ICC (Statuta Roma), Menteri Kehakiman Otoritas Palestina meminta Jaksa Penuntut menyelidiki dugaan terjadinya kejahatan internasional dalam yurisdiksi ICC yang terjadi wilayah Palestina sejak 1 Juli 2002. Dalam pasal dimaksud dimungkinkan suatu negara -walau bukan negera pihak (state party) Statuta ICC- menerima yurisdiksi ICC untuk memeriksa dan mengadili dugaan kejahatan genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan aggresi yang terjadi di wilayahnya dalam suatu waktu tertentu.

Jaksa menjawab, ia tidak bisa menyelidiki dugaan kejahatan dimaksud karena -sebagaimana disyaratkan oleh pasal itu- yang meminta haruslah negara dan Palestina bukanlah negara.

Dengan gelar baru ini, walau tidak ada jaminan diterima, Palestina memiliki justifikasi baru untuk menjadi anggota negara pihak ICC. Atau, Palestina bisa juga memperbarui permintaannya kepada Jaksa ICC sebagaimana dilakukannya dulu tanpa menjadi negara pihak.

Jika ini berhasil, Jaksa Penuntut dapat mulai menyelidiki dugaan kejahatan yang dilakukan warga negara Israel dalam lingkup yurisdiksi ICC terutama kejahatan perang lewat berbagai aksi militernya di Palestina. Ini dikhawatirkan oleh Israel dan sekutu Baratnya. Menteri Luar Negeri Inggris, William Hague, seperti dilaporkan BBC secara khusus meminta jaminan dari Mahmoud Abbas untuk tidak membuat aksi ke ICC setelah berstatus baru kelak. Ganjarannya Inggris akan memberikan suara ‘Ya’ bagi gelar baru Palestina di PBB, namun Abbas menolak dan Inggris akhirnya abstain.    

Tentu, predikat baru itu bukan dimaksudkan semata-mata untuk menyeret petinggi Israel ke ICC. Tetapi ini perlu digunakan dan diuji manfaatnya guna terciptanya negara Palestina berdaulat. Jika Palestina memajukan kembali permintaannya ke ICC atau diijinkan meratifikasi statuta ICC, secara de-jure dan de facto ICC menganggap Palestina adalah negara yang setara dengan negara pihak pada umumnya. Situasi ini tentu tidak menguntungkan Israel.

Palestina tidak punya banyak pilihan kecuali menekan Israel dengan sumber daya terbatas yang ia punya untuk menghidupkan kembali perjanjian damai yang mandek sejak dua tahun lalu. Dengan predikat baru, ICC bisa digunakan.

Tuesday, December 4, 2012

Menjadi Tawanan atau Menawan Undang-undang?



(Tanggapan terhadap Suteki)
Tulisan Suteki, Guru Besar Hukum dan Masyarakat dari Universitas Diponegoro, “Menjadi Tawanan Undang-undang” di Kompas, 19 Oktober 2012 perlu ditanggapi. Tulisannya itu terkait dengan pandangan Menteri Dalam Negeri bahwa seseorang bekas narapidana dimungkinkan untuk menjabat kembali di pemerintahan karena tidak ada undang-undang yang melarang.  Suteki mempertanyakan pandangan hukum demikian.  Walau tidak dilarang dalam undang-undang atau peraturan lain, “apakah patut, pantas, dan tak memalukan”  seorang bekas narapidana kembali menjabat, begitu dia menggugat. Dengan beretorika Suteki menyampaikan bahwa “[s]ebagai bangsa Timur, rakyat Indonesia sangat mengedepankan “rasa”, termasuk rasa malu (shaming sense) selain logika-penalaran.” Lalu, mengapa dalam berhukum menurutnya, “kita hanya mengagungkan aspek undang-undang yang notabene hanya merupakan bangkainya hukum…”  

Lebih jauh lagi, penilaiannya terhadap pandangan Menteri di atas mencerminkan ketertawanan oleh undang-undang. Menurutnya, yang diperlukan adalah memahami hukum tidak semata-mata undang-undang “melainkan juga living law, kearifan lokal seperti rasa malu… dan sebagainya.” Karena di sinilah, sekali lagi menurut hematnya, “ditemukan aspek moralitas yang dulu membalut hukum perundang-undangan.”  Dia lalu menghubungkan pandangan Menteri itu dengan pemahaman rule of law, perlunya terobosan hukum, dan seterusnya.   

Sayangnya, analisis Suteki ini bisa jadi berlebihan dan salah sasaran. Ini karena tulisan itu berasumsi bahwa Menteri dimaksud memang dibelenggu undang-undang untuk mencegah mantan narapidana korupsi menjabat kembali di pemerintahan berhubung alpanya larangan di perundang-undangan.  Lalu, penulis mempertanyakan sikap itu dan menguraikan panjang lebar gugatannya sebagaimana dikutip di atas.  
Bagaimana jika sesungguhnya pembuat undang-undang dengan secara sengaja mengambil pilihan membolehkan  bekas narapidana koruptor menjabat kembali seusai menjalani hukuman? Bagaimana jika asumsi Suteki itu keliru dan terburu-buru percaya bahwa tidak ada undang-undang yang terlanggar dengan pemangkuan jabatan itu? Atau bagaimana jika UU dan peraturan lain sesungguhnya telah mencegah kemungkinan narapidana korupsi menjabat kembali, namun pelaksana undang-undang enggan menjalankannya?

Untuk kasus ini, pembuat UU memang tidak mengambil pilihan yang disinggung pertama.Walau itu dimungkinkan mengingat fungsi lembaga pemasyarakatan bertujuan untuk mengembalikan narapidana agar dapat berkiprah kembali di masyarakat seperti sedia kala. Namun, untuk kasus ini yang terjadi adalah situasi yang kedua dan terakhir.

Demikianlah memang adanya. Pasal 23 ayat (5) huruf c UU No 43/1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang mengubah UU No. 8 tahun 1974 mengatur bahwa: Pegawai Negeri Sipil (PNS) diberhentikan tidak dengan hormat karena dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan.

Azirwan, mantan narapidana yang dimaksudkan Menteri itu, adalah PNS. Dia divonis bersalah karena melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf A UU No. 20/2001 yang mengubah UU No. 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Pasal ini tentang kejahatan penyuapan kepada PNS yang asal mula rumusan deliknya diambil dari Bab Kejahatan Jabatan di KUHP. Azirwan, jika tidak dapat disebut melakukan kejahatan jabatan, jelas dia melakukan kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan, baik itu berhubungan dengan jabatannya atau berhubungan dengan jabatan orang yang dia suap.

Nah, seharusnya menurut UU Pokok-Pokok Kepawaian pada pasal tersebut di atas, Azirwan sudah harus diberhentikan dengan tidak hormat dari PNS. Bahkan dengan Peraturan Disiplin tentang PNS sendiripun -yang mengatur derajat ‘kejahatan’ yang lebih rendah dari kejahatan pidana- Azirwan patut telah diberhentikan dengan tidak hormat sebagaimana dituangkan dalam PP No. 53 tahun 2010. Ini karena PNS dimaksud sangat patut diduga telah melakukan pelanggaran disiplin berat yang ancaman hukumannya diberhentikan dengan tidak hormat seperti “menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan/atau orang lain dengan menggunakan kewenangan orang lain”. Ini disebut dalam Pasal 13 angka 2. Keadaan ini dikuatkan pula dengan adanya vonis pengadilan dimaksud. Jika UU dan Peraturan Disiplin itu dilaksanakan, tentu tidak mungkin dia bisa memegang jabatan kepala dinas seperti yang diberitakan.

Hal yang kurang lebih sama juga terjadi kisruh kasus simulator SIM KPK-Polri. UU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi sudah jelas mengatur soal siapa yang patut menangani kasus itu, namun pejabat terkait mengingkarinya. Jadi, isunya bukan tentang pejabat tertawan oleh undang-undang sebagaimana diargumentasikan oleh Suteki, melainkan pejabat yang menawan undang-undang sehingga tidak berjalan sebagaimana mestinya. Baru setelah didesak publik, seperti pada kasus Azirwan ini, Menteri kemudian menganulir pandangannya. Inilah realita sesungguhnya perang terhadap korupsi di sini: tidak satunya kebijakan pejabat -yang sebagian tercermin dalam undang-undang- dengan tindakan. Bahkan, sebagian malah ingin menghentikan perang ini, ironisnya justru dengan menggunakan undang-undang seperti pada kasus usulan revisi UU KPK itu.