Wednesday, August 13, 2014

Mengadili Penjahat Perang Gaza

Dimuat di Harian Waspada, Medan. Senin, 11 Agustus 2014


Konflik Palestina–Israel kembali menyita perhatian dan keprihatinan dunia.  Kutukan dan kecaman bertubi-tubi diarahkan kepada Israel yang telah melakukan bombardemen terhadap objek-objek sipil di Jalur Gaza, Palestina. Ini termasuk pemukiman penduduk, sekolah PBB, dan tempat ibadah. Perempuan dan anak-anak palestina kemudian menjadi korban terbesar dari ribuan korban jiwa dan luka serius dari konflik ini. Navi Pillay, Komisioner Tinggi  HAM PBB menuduh Israel (walau dia juga menyebut  Hamas) melanggar hukum humaniter internasional.  Dulu hukum ini disebut hukum perang. 

Israel, sebagai negara, selama ini selalu lepas dari pertanggung-jawaban atas dugaan kuat pelanggaran hukum perang setiap kali berkonflik dengan Palestina dan negara lain. Demikian juga para serdadu dan pengambil keputusan baik sipil maupun militer -yang secara pribadi juga dapat dimintai pertanggung-jawaban menurut hukum pidana nasional dan  internasional- hampir tidak pernah diadili. Sebagaimana dugaan pelanggaran-pelanggaran sebelumnya, terhadap pelanggaran yang dilakukan pada konflik kali ini, hampir mustahil mengharapkan Israel mengadili sendiri para pelakunya. Impunitas tidak dapat dibiarkan, keadilan harus ditegakkan. Untuk itu, banyak kalangan mendesak agar dugaan kejahatan perang Israel di Jalur Gaza segera diadili di Mahkamah Kejahatan Internasional (ICC) di Belanda. 

Persyaratan

Namun, mungkinkah mengadili para penjahat perang di Gaza itu? Secara umum, untuk dapat diadili di ICC, perlu memenuhi persyaratan: (1) dari sisi kejahatan, tuduhan  kejahatan yang dapat diperiksa adalah kejahatan genosida, kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, dan kejahatan agresi; (2) dari sisi pelaku, pelaku yang dapat diadili adalah pelaku yang negaranya peratifikasi (setuju mengikatkan diri) statuta ICC atau si pelaku melakukan kejahatan di wilayah suatu negara peratifikasi statuta ICC; dan (3) dari sisi waktu kejadian kejahatan, kejadian kejahatan yang dapat diperiksa adalah kejahatan yang terjadi sejak ICC berlaku, yakni sejak Juli 2002 atau sejak saat negara si pelaku atau negara tempat kejahatan berlangsung meratifikasi ICC (kecuali negara dimaksud menentukan berlaku surut ke Juli 2002).

Bagaimana jika kejahatan dimaksud berlangsung tidak di wilayah negara peratifikasi ICC dan oleh pelaku yang bukan dari warga negara peratifikasi statuta ICC seperti Israel? Kejahatan masih bisa diperiksa di ICC jika: (1) Dewan Keamanan PBB memintanya dan (2) Negara yang tidak meratifikasi secara sukerela meminta ICC untuk mengadili kejahatan dalam lingkup yurisdiksi ICC dalam rentang waktu tertentu sejak statuta ICC mulai berlaku.

Bagaimana jika suatu kejahatan itu tidak terjadi di suatu wilayah yang bukan merupakan wilayah suatu negara berdaulat seperti di Jalur Gaza, Palestina? Pada tahun 2009, Otoritas Palestina pernah meminta Penuntut (Prosecutor) ICC menyelidiki dugaan terjadinya kejahatan internasional dalam yurisdiksi ICC yang terjadi wilayah Palestina sejak  Juli 2002.  Namun, permintaan ini ditolak. Penuntut menjawab, ia tidak bisa menyelidiki dugaan kejahatan dimaksud karena yang meminta adalah Palestina yang bukan merupakan negara.

Sekitar tiga tahun kemudian, terjadi perkembangan baru atas status negara Palestina.  Pada tahun 2012, lewat suatu resolusi, Majelis Umum PBB  menerima peningkatkan status Otoritas Palestina yang semula sebagai Peninjau (Observer) menjadi Negara Peninjau Bukan Anggota (Non-Member Observer State) di PBB. Artinya, Palestina dalam hukum internasional mulai dapat disetarakan dengan negara-negara pada umumnya. Lembaga PBB seperti UNESCO misalnya telah memberi status keanggotaan penuh sebagaimana layaknya negara kepada Palestina.

Sejak status baru ini, Palestina belum memperbarui kembali permintaannya di tahun 2009 itu. Namun, 5 Agustus lalu, Menteri Luar Negeri Palestina, Riyad al-Malki, telah berkonsultasi dengan Penuntut ICC, Fatou Bensouda tentang mekanisme  yang memungkinkan ICC dapat mengimplementasikan yurisdiksinya pada konflik di Gaza. Artinya, Palestina siap mengajukan kembali permintaannya agar Penuntut ICC menyelidiki dugaan pelanggaran hukum perang dan kejahatan lain di dalam yurisdiksi ICC yang terjadi di wilayah Palestina untuk diajukan ke persidangan.

Jika permintaan ini jadi diajukan kembali, Penuntut ICC masih akan melakukan pemeriksaan pendahuluan sebelum melakukan investigasi (penyidikan). Ini mencakup: menilai besar dan seriusnya pelanggaran, ada tidaknya penyelidikan yang sedang berlangsung terhadap dugaan kejahatan itu oleh otoritas lain terutama oleh Israel, dan ada tidaknya desakan kepentingan pemenuhan keadilan. Kemudian, setelah penyidikan dilakukan, barulah  dibawa ke persidangan.

Dengan demikian, secara hukum internasional sangat terbuka kemungkinan untuk menyeret pelaku yang diduga melakukan kejahatan perang dan kejahatan lain di Gaza, mengingat syarat dimaksud dapat dipenuhi. Namun, harus diakui menuntut dugaan kejahatan perang seperti di Gaza bukanlah soal hukum semata. Ini juga soal politik internasional. Jika secara hukum telah memenuhi syarat, secara politik pertanyaannya adalah mampukah ICC menghadapi tekanan dari Israel dan sekutunya?