Thursday, July 24, 2008

Status Perjanjian Dengan GAM

Status Perjanjian Dengan GAM

Kompas, Kamis - 11 Agustus 2005

Sebentar lagi perunding RI dan GAM akan bertemu kembali untuk menandatangani perjanjian (agreement) atas kesepakatan yang telah mereka buat di Helsinki, Finlandia, Juli lalu. Sementara itu, karena cemas akan isi perjanjian, sebagian anggota DPR mengingatkan pemerintah untuk meminta persetujuan DPR seperti yang diperintahkan Pasal 11 UUD 1945 (Kompas, 20 Juli 2005).

Menurut pasal ini, tanpa persetujuan DPR perjanjian dimaksud tidak akan berlaku. Pun, Wakil Presiden, sebelum ia ralat sendiri, sempat berujar, kesepakatan itu memerlukan ratifikasi DPR layaknya perjanjian internasional (Kompas, 26 Juli 2005).

UUD 1945 tidak mendefinisikan perjanjian internasional. Namun, UU No 24/2000 tentang Perjanjian Internasional mengatur hal itu. Pasal 1 menyebutkan: Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis.... Pasal ini belum tuntas menjelaskan apa itu perjanjian internasional. Siapa para pihak belum disebut. Pengertian perjanjian internasional, menurut undang-undang ini, lebih lengkap setelah membaca Pasal 4 (1): Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih, organisasi internasional, atau subyek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan;....

Terlepas klaim GAM atas tanah Aceh dan klaim pimpinan GAM di Swedia sebagai pemerintahan di pengasingan dari sebuah negara bernama Neugara Atjeh, tak perlu repot berargumentasi bahwa Aceh bukanlah sebuah negara dan GAM bukanlah suatu pemerintahan di pengasingan. Pun, GAM bukanlah organisasi internasional layaknya International Committee of the Red Cross (ICRC), World Bank, dan organisasi-organisasi intergovernmental sejenis. Namun, tak mudah untuk segera mengatakan GAM juga bukan subyek hukum internasional.

Kelompok perlawanan

Kita tahu GAM adalah organisasi yang hendak memutus kedaulatan Indonesia atas Aceh dan ingin mendirikan pemerintahan sendiri di sana layaknya sebuah negara. Untuk itu, GAM berpuluh tahun memanggul senjata melawan TNI/Polri. GAM sering kali diberitakan terpukul dan terdesak. Tapi harus diakui, sampai detik ini mereka tak pernah pupus tuntas. Tak tersanggah GAM adalah kelompok perlawanan (insurgent). Tetapi, untuk dapat memperoleh status sebagai subyek hukum internasional, kelompok perlawanan harus memperoleh pengakuan (recognition) dari negara yang ia lawan atau dari negara ketiga.

Indonesia tentu tak akan memberi pengakuan kepada GAM sebagai belligerent, kelompok perlawanan yang memperoleh pengakuan. Negara ketiga juga tidak mau repot mengakui GAM, walaupun beberapa realitas cukup dijadikan alasan bahwa GAM pantas disebut belligerent, setidaknya de facto; resistensi, organisasi, dan kontrol sebagian kawasan. Bahkan, GAM berhasil memaksa Indonesia sekali lagi datang ke meja perundingan. GAM mampu secara substantif memainkan fungsi sebagai subyek hukum internasional.

Lalu, apakah perjanjian itu merupakan perjanjian internasional? Dalam praktik hukum internasional, perjanjian yang dibuat oleh pemerintah yang sah dengan kelompok perlawanan biasa disebut perjanjian internasional. Sebutlah misalnya perjanjian antara Pemerintah Sandinista Nikaragua dan pemberontak Kontra tahun 1988; Lome Accord antara Pemerintah Sierra Leone dan Front Persatuan Revolusioner Sierra Leone (Revolutionary United Front of Sierra Leone) tahun 1999. Justifikasi kelompok perlawanan untuk membuat perjanjian (internasional) dengan negara yang ia lawan juga tersedia di Common Article 3 Konvensi-Konvensi Geneva 1949.

Namun, perjanjian itu bukanlah perjanjian internasional menurut dua norma di atas. GAM memang berkapasitas memainkan fungsi layaknya subyek hukum internasional, tapi secara formal ia tak pernah diakui sebagai belligerent. Perjanjian COHA dan perjanjian yang akan datang pun tak mengubah statusnya dari insurgent ke belligerent. Ini ditegaskan juga di Common Article 3 bahwa perjanjian yang dibuat antara pihak-pihak yang berkonflik tidak mengubah status mereka sehubungan dengan konflik dimaksud. Singkatnya, menurut hukum internasional, GAM bukan subyek hukum internasional dan oleh karena itu, perjanjian ini tidak dalam yurisdiksi dua norma hukum itu. Ratifikasi DPR atas perjanjian itu tentu tak relevan.

Namun, apa pun kualifikasinya, begitu perjanjian disepakati, para pihak harus patuh pada isi perjanjian, pacta sunt servanda. Ini adalah kebiasaan hukum internasional yang mengikat. Perbedaan status antara GAM dan Pemerintah RI terhadap isi perjanjian tidak relevan lagi. Bahkan, sebagian ketentuan Vienna Convention on Law of Treaties tahun 1969 terlepas konvensi ini hanya berlaku bagi perjanjian yang dibuat antarnegara dan terlepas Indonesia peserta konvensi atau bukan tetap perlu dicermati, mengingat sebagian normanya berkualifikasi sebagai kebiasaan hukum internasional.

Pada kasus Sipadan dan Ligitan misalnya, hakim Mahkamah Internasional memberlakukan Pasal 31 dan 32 Vienna Convention tentang pedoman interpretasi isi perjanjian padahal pada saat itu Indonesia bukanlah peserta konvensi. (ICJ, case concerning sovereignty over Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan, Indonesia/Malaysia, 2002).DPR patut mencermati perjanjian dimaksud. Apalagi perjanjian itu kelak dapat mengubah Undang-Undang Otonomi Khusus NAD No 18/2001 menyangkut partai lokal misalnya. Persetujuan DPR dalam manifestasi berbeda tak terelakkan. Belum lagi tentang amnesti.
IRFAN R. HUTAGALUNG

No comments: