Thursday, July 24, 2008

Putusan MK dan Kebingungan Pemahaman

Putusan MK dan Kebingungan Pemahaman

Kompas, Senin, 28 Agustus 2006 (versi cetak 29 Agustus 2006)

"Some conduct is immoral, harmful, or both. Some conduct is criminal and punishable. The fact that conduct is immoral or harmful does not mean, however, that is criminal and punishable." (Dressler: 2001)

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) agaknya akan terus jadi bahan berita dan perdebatan. Di samping putusan terbaru uji materi Undang-Undang Komisi Yudisial yang "memotong" kewenangan badan itu, uji materi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih relevan dibincangkan.

Terutama setelah munculnya tanggapan kontra yang sesungguhnya lahir dari kekurangpahaman tentang di mana rumusan suatu tindak pidana ditentukan dan diletakkan. Di undang-undangkah atau di norma kehidupan sosial dan rasa keadilan dalam masyarakat atau keduanya. Juga tentang merumuskan suatu tindak pidana dalam kalimat perundang-undangan (drafting).

Menempatkan delik
Di Belanda, sebelum akhir abad ke-18, Apeldoorn menyatakan, "Hakim dapat menjatuhkan hukuman atas peristiwa (pidana) yang oleh undang-undang tidak dengan tegas dinyatakan dapat dikenai hukuman," (Apeldoorn; 2001 cet 29). Model ini usai setelah diadopsinya prinsip pemisahan kekuasaannya Montesquieu. Tugas hakim membuat hukum digantikan legislator. Hakim tinggal memutuskan lewat interpretasinya, apakah dugaan tindak pidana yang diajukan sesuai dengan perbuatan pidana yang dapat dihukum menurut hukum yang dibuat oleh legislator sebelumnya.

Lewat KUHP, prinsip ini masuk ke Indonesia. Mahasiswa hukum semester II pasti tahu Pasal 1 Ayat 1 KUHP: "Sesuatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali atas ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya." Jadi, lewat asas ini suatu tindak pidana diletakkan dan ditentukan hanya lewat undang-undang.

Ketentuan Pasal 2 Ayat 1 undang-undang itu tidak bertentangan dengan asas legalitas dimaksud. Problem muncul di penjelasan pasal itu ketika memaknai frase "melawan hukum". Tertulis: "Yang dimaksud melawan hukum mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formal dan dalam arti materiil, yakni meski perbuatan itu tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun jika perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai rasa keadilan atau norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan itu dapat dipidana."
Berdasarkan penjelasan ini, pembuat undang-undang menyuruh penyidik (dalam rangka penyidikan serta penuntutan) dan hakim (dalam rangka memeriksa dan memutus perkara), selain yang sudah disebut dalam ketentuan undang-undang, untuk menentukan sendiri apa itu perbuatan melawan hukum menurut rasa keadilan atau norma kehidupan sosial.

Kalimat di penjelasan ini membawa norma hukum pidana kita ke abad ke-18. Bedanya, sekarang diotorisasi oleh legislature. Pantaslah para hakim MK memenggalnya. Bukan karena mereka konservatif (Donny G Adian, Kompas, 7/8/2006) atau centengnya koruptor (Denny Indrayana, Tempo edisi 23/2006), melainkan karena asas legalitas itu. Asas universal sistem hukum pidana nasional maupun pidana internasional.

Merumuskan delik
Dari rumusan pasal dan penjelasannya, tak lain terefleksi pertama, kegagalan perancang (drafter) dan pembuat undang-undang dalam merumuskan delik korupsi yang baik. Bandingkanlah dengan rumusan delik Undang-Undang Anti Korupsi Sierra Leone Tahun 2000, misalnya, yang secara detail merumuskan beragam delik korupsi. Kedua, rumusan pasal dan penjelasannya itu sesungguhnya cermin dari kebingungan dalam membedakan "hukum" dan "sumber hukum". Juga, dalam memilah "hukum tertulis" dan "hukum kebiasaan" (customary law).

"Rasa keadilan" (masyarakat) bukan hukum, tetapi sumber hukum. Dalam konteks pasal ini dan penjelasannya "rasa keadilan masyarakat" sebagai perbuatan melawan hukum tidaklah mungkin menjadi unsur pidana dalam rumusan suatu delik. Terbayang tidak, bagaimana penyidik atau penuntut umum menanggung beban pembuktian (burden of proof) untuk menentukan suatu unsur tindak pidana, yakni "rasa keadilan masyarakat" terbukti telah terpenuhi? Dan bagaimana pula hakim bisa memutuskan bahwa klaim penuntut umum itu secara sah dan meyakinkan (beyond reasonable doubt) telah terbukti? Model hukum acara pidana seperti apa yang bisa mengakomodasi proses pembuktian seperti ini?

Sementara itu, "norma kehidupan sosial dalam masyarakat" bukanlah norma yang negara harus tegakkan. Masuk dalam norma kategori ini adalah norma agama dan adat. Ini adalah hukum kebiasaan. Norma ini bisa ditegakkan oleh negara hanya setelah diadopsi menjadi norma hukum negara lewat proses legislasi. Jadi, kalau seorang melakukan perbuatan tercela untuk memperkaya diri atau orang lain atau korporasi sepanjang itu tidak dinyatakan sebagai perbuatan pidana yang dapat dipidana seperti yang ditulis Dressler di atas, perbuatan itu tidak dapat dipidana atas dasar Pasal 2 Ayat 1.

Akankah perburuan koruptor lebih sulit sebagaimana disinyalir oleh Jaksa Agung? Umumnya kejahatan kerah putih sulit diungkap. Tetapi, seperti disebutkan di atas, buruknya perumusan delik juga mengontribusi. Namun, ada kekhawatiran lain sesungguhnya. Jangan-jangan komentar petinggi hukum itu adalah excuse atas ketidakmampuan atau keengganan aparat untuk menangkap koruptor. Pun, dengan mensinyalir putusan MK mempersulit penangkapan koruptor, ada instrumen bagus untuk tebang pilih bukan?

IRFAN R. HUTAGALUNG

No comments: