Sunday, June 21, 2020

Hukum Indonesia Tentang Kekuasaan Mengikatkan Negara Kepada Perjanjian Internasional dan Perjanjian Perdagangan Internasional


Irfan R. Hutagalung
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Prodi Hubungan Internasional

Abstrak: Indonesia is bound or is negotiating to bind itself into international treaties on international trade, it is essential to examine whether laws and legislation on the powers to bind country to international treaties including international trade agreements have been established on the basis of the principle of popular sovereignty. In other words, do the law and legislation allocate sufficient power to the people's representative body to control the government's actions in binding the state to international treaties and international trade agreements. This paper aims to answer that question. It is done by exposing and analyzing how national law places international law in its legal system; how national law regulates the involvement of the representative body of the people in deciding whether or not to be bound by international treaties and international trade agreements and procedures to be followed. Exposures and reviews are laid in the principle that government action should be controlled by the representative institutions of the people and the judiciary in certain respects in accordance with its function.

Selengkapnya bisa baca di sini 


Sunday, April 19, 2020

TREATMENT OF CIVILIANS AND PERSONS HORS DE COMBAT


Part V TREATMENT OF CIVILIANS AND PERSONS
HORS DE COMBAT of
CUSTOMARY
INTERNATIONAL
HUMANITARIAN LAW
VOLUME I 

RULES
Jean-Marie Henckaerts and Louise Doswald-Beck
With contributions by Carolin Alvermann,
Knut D¨ ormann and Baptiste Rolle

2009

Ringkasan Oleh Irfan R. Hutagalung

TREATMENT/PROTECTION
PERSONS

Fundamental Guarantees


Civilians (in general); Captured Combatants/Prisoners of War;Captured Mercenaries and Captured Spionage; Captured Combatants that fail to distinguish themselves from civilians during the attack; The Wounded, Sick, Shipwrecked; Persons Deprived Of Their Liberty; Displaced Persons, Other Persons (civilians in spesific): Elderly, Women with Spesific Needs, Disable, Infirm, and Children

To search for, collect, evacuate and care without  adverse distinction. Pillage of their personal property prohibited


The Wounded, Sick, Shipwrecked

To search for, collect and evacuate, return the deceased and personal effects, record information for identification, mark the location of graves and respected, prevent being despoiled, no mutilation

The Dead

To account for, to provide their family members with any information it has on their fate

Missing Persons

Prisoner of  war status


Captured Combatants/Prisoners of war

No prisoner of war status, fair trail


Captured Mercenaries, Captured Spionage, and Captured Combatants that fail to distinguish themselves from civilians during the attack

Must be recorded, pillage of their personal property prohibited, provide adequate food, water shelter (remove from combat zone),  clothing,medical and hygiene attention, religious practices respected, separate man-women, child –adult except where family accomodated, allowed to receive visitor, correspond to family, release when no longer reason to be deprived

Persons Deprived Of Their Liberty

Special respect and protection

Other persons (civilians in specific): elderly, women with spesific needs, kids, disable, infirm

Not be allowed to recruit, to take part hostilities

Children

Right to return, shelter satisfactory conditions, property respected, no separation of family members.

Displaced Persons

Friday, April 3, 2020

Kesalahan Fundamantal Tulisan Prof. Ichlasul Amal


Prof Ichlasul Amal membuat opini berjudul “Aung San Suu Kyi dan Mahkamah Internasional” di Kompas pada tanggal 24-03 2020. Tulisan itu patut dikomentari karena mengandung banyak kekeliruan hukum dan fakta yang mengganggu dan dapat memberikan pemahaman yang keliru tentang ICJ dan ICC,  tentang gugatan Gambia terhadap Myanmar bagi khalayak luas.

Tentang  ICJ
Prof Amal menuliskan, “Jaksa Penuntut Umum membawa bukti-bukti gambar yang menunjukkan bagaimana tentara Myanmar membunuh, memerkosa, dan membakar rumah penduduk Rohingya.” Ini kekeliruan fundemental tentang hakekat dan fungsi International Court of Justice (ICJ). ICJ bukanlah mahkamah pidana internasional yang memiliki jaksa penuntut umum (prosecutor) dimana ada penuntut yang mendakwa si terdakwa dengan menujukkan bukti-bukti  pelanggaran hukum (pidana) internasional yang dilakukan terdakwa. ICJ tidak demikian. ICJ adalah mahkamah yang mengadili gugatan  antarnegara (Pasal 34 (1) Statuta ICJ) atas apa saja perselisihan yang timbul di antara negara terutama yang dimungkinkan (provided for) oleh Piagam PBB, konvensi, dan traktat yang berlaku saat itu (Pasal 36 (1) ICJ Statuta).

Lalu, para pihak yang bersengketa terlebih dahulu harus sepakat sengketa mereka dibawa ke ICJ atau mereka menyepakati suatu konvensi atau traktat dimana di sana diatur ICJ punya kewenangan untuk mengadili sengketa yang timbul diantara mereka (Pasal 36 (2) (6) Statuta ICJ ). Negara juga bisa menyatakan kesediaannya digugat oleh negara lain tanpa syarat atau dengan syarat negara yang menggugatnya juga menyatakan hal yang sama.  

Gambia menggugat Myanmar karena mereka sebelumnya telah menyepakati dan meratifikasi Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida 1948 . Lebih jauh lagi, keduanya tidak menolak (tidak mereservasi) Pasal 9 Konvensi itu yang mengatur tentang jika ada perselisihan para peratifikasi Konvensi tentang interpretasi dan implementasi Konvensi, diselesaikan di ICJ.  Jadi, Gambia-lah yang mengajukan bukti-bukti untuk mendukung permohonannya atau gugatannya, bukan Jaksa.

Kemudian, Prof Amal mengugkapkan, “ Hakim ICJ yang terdiri dari lima belas orang ... ” Hakim yang mengadili kasus ini tidak berjumlah lima belas melainkan tujuh belas orang. Memang, hakim tetap ICJ berjumlah lima belas (Pasal 3 Statuta ICJ), namun jika negara yang bersengketa tidak memiliki hakim pada saat sengketa diperiksa, para pihak dapat memasukkan hakim ad-hoc untuk ikut mengadili kasus itu (Pasal 31 Statuta ICJ). Karena Gambia dan Myanmar tidak memiliki hakim di ICJ saat ini, Gambia kemudian memasukkan Navi Pillay, tokoh hukum internasional dari Afrika Selatan dan Myanmar datang dengan Klauss Kress, punggawa hukum internasional dari Jerman.     

Lalu, Prof Amal menyatakan pula, “ICJ adalah badan hukum tertinggi PBB dan telah diratifikasi oleh semua anggota PBB kecuali Amerika Serikat. Pihak AS melepaskan diri dari ICJ setelah keterlibatan tentara AS di Nicaragua.”  Semua negara yang telah menyepakati Piagam PBB alias menjadi anggota PBB juga sekaligus menjadi peserta dari Statuta ICJ. Statuta ICJ adalah bagian yang tidak dipisahkan dari Piagam PBB.  

Jadi, sampai hari ini, Amerika Serikat masih peserta ICJ karena AS masih anggota PBB, dedengkot-nya malah. Memang, AS pernah digugat Nikaragua di ICJ. Pada awal proses persidangan, AS hadir dan menyampaikan argumennya bahwa ICJ tidak berwenang memeriksa gugatan Nikaragua. ICJ dalam putusan awalnya menyatakan sebaliknya. Sejak keluar putusan itu, AS ogah hadir lagi ke persidangan. ICJ kemudian pada putusan akhir memenangkan Nikaragua, namun AS menolak putusan itu. Tapi, sampai hari ini, AS tidak keluar dari ICJ.

Tentang Gugatan dan Putusan
Prof Amal menuliskan, “Untuk mengusulkan supaya persoalan bisa masuk ke ICJ harus negara anggota PBB. Usulan harus terlebih dahulu ke Majelis Umum (General Assembly dan diterima bila tidak ada keberatan dari Dewan Keamanan (Security Council).”  No way, tentang ini sudah saya singgung di bagian awal tulisan. Bahwa negara dapat mengajukan gugatan kepada negara lain asalkan negara yang digugat sepakat untuk digugat. Tidak diperlukan proses di Majelis Umum dan di Dewan Kemanan.

Prof Amal mengatakan, “Keputusan Sela ICJ masih lama menunggu sidang PBB, termasuk Dewan Keamanan kemungkinan besar akan diveto oleh Rusia dan China.” Mungkin maksud beliau adalah putusan akhir karena di bagian awal tulisannya dia menyebut putusan sela telah keluar. Betul putusan sela telah keluar dan jika yang dimaksudkannya adalah putusan akhir ICJ, putusan itu tidak dapat diveto oleh siapapun anggota tetap PBB. Anggota tetap hanya dapat mem-veto keputusan Dewan Keamanan bukan putusan ICJ.    

Tentang Perbedaan ICJ dan ICC
Prof Amal juga membahas perbedaan ICJ dan International Criminal Court (ICC) bahwa ICJ dan ICC adalah dua mahkamah tinggi PBB. Tidak. Hanya ICJ yang merupakan mahkamah PBB karena dia adalah satu dari enam organ utama PBB. Sementara ICC bukan organ PBB. Beliau juga menyebutkan bahwa bekas Presiden Sudan Omar Al Bashir diajukan oleh negaranya sendiri ke ICC. Tidak. Omar Al Bashir dijadikan tersangka di ICC karena hasil penyidikan (investigasi) jaksa ICC yang diminta (refer) oleh Dewan Keamanan PBB (Pasal 13b Statuta ICC).